Enam tahun yang lalu, Peter Ho Son berusia 16 tahun melarikan diri dari rumahnya setelah orangtuanya memintanya berhenti sekolah dan menikah dengan seorang gadis 14 tahun.
Mengikuti tradisi, ayah dan ibunya menikah ketika mereka berusia 15 dan 14 tahun, dan empat saudaranya telah menikah pada usia yang sama.
“Saya menolak untuk menikah karena saya ingin melanjutkan studi saya untuk menjadi guru,” kata Son, dari Distrik Huong Hoa, Provinsi Quang Tri.
Son mendapat dukungan dari para biarawati dari Kongregasi Pecinta Salib Suci dan kini dia adalah mahasiswa tahun ketiga di sebuah perguruan tinggi di kota Hue.
Tapi, kasus Son adalah jarang terjadi di kalangan pemuda etnis minoritas di distrik itu.
Suster Anna Tran Thi Hien, yang mulai bekerja dengan tiga kelompok etnis lokal: Co Tu, Ta Oi dan Van Kieu sejak tahun 2002, mengatakan bahwa orang etnis lokal yang menikah muda, meningkatkan rantai buta huruf, gizi buruk dan kemiskinan.
Ini adalah upaya dia dan kongregasinya berusaha untuk memutuskan rantai tersebut.
Hampir 60 anak dari usia 5-17 tahun tinggal di sebuah asrama dekat biara Suster Hien di kota Dong Ha, 65 km dari rumah Son.
Para biarawati itu mengajarkan pendidikan dasar, katekese, etika, keterampilan komputer, musik dan kerajinan.
Mereka mengambil anak-anak itu dengan sepeda motor mereka, setiap bulan mengunjungi rumah mereka, dan memberikan pakaian dan makanan kepada keluarga mereka. Sejumlah siswa belajar di sekolah negeri.
Para biarawati menggunakan video untuk mengajar orang muda itu menghindari aborsi, penyalahgunaan alkohol, kekerasan dalam rumah tangga yang disebabkan oleh nikah muda dan seks pranikah.
“Banyak orang tua bersedia mengirim anak-anak mereka kepada kami dan tidak lagi meminta anak-anak mereka untuk menikah di usia remaja,” kata Suster Hien.
Etnis minoritas umumnya menikah ketika mereka berusia 14-16 tahun. Gadis yang lebih tua berusia 16 tahun dianggap sebagai perawan tua. Pendidikan seks dan pergaulan hampir tidak ada.
Son, yang menganut agama Katolik tahun 2011, mengatakan ia dan pacarnya menghadiri kursus persiapan perkawinan dan berencana untuk menikah setelah lulus kursus tersebut.
Sejauh ini 70 pasangan yang menghadiri program kongregasi itu telah menunggu sampai usia mereka sesuai peraturan hukum yang mengharuskan mereka menikah. Menurut undang-undang (UU), pria dan wanita dituntut masing-masing berusia 20 dan 18 tahun.
Mereka yang menikah tak sesuai UU akan didenda 100.000-200.000 dong dan tujuh hari kurungan. Tapi dalam prakteknya, peraturan itu jarang ditegakkan, kata Suster Hien.
Ho Van Phi, 18, seorang etnis Co Tu, menikah ketika ia berusia 16 tahun setelah ia menghamili pacarnya berusia 15 tahun.
Phi, yang berusia 18 tahun, kini memiliki dua anak. Dia mengatakan dia dan istrinya belum menerima pelayanan kesejahteraan karena mereka tidak memiliki akta nikah dan anak-anak mereka juga tidak memiliki akta kelahiran.
Dia mengatakan pemerintah daerah meminta mereka membayar 200.000 dong (US $ 10) karena mereka menikah di usia muda.
Suster Hien mengatakan kebiasaan menikah muda berdampak buruk bagi etnis minoritas yang secara tradisional ingin keluarga besar untuk bekerja menanam singkong, jagung atau pisang, beternak.
Tahun lalu, distrik A Luoi saja tercatat 250 pernikahan dari pasangan etnis antara usia 14 dan 16 tahun. Distrik ini memiliki populasi 41.000 orang minoritas etnik.
A Vit Lang, 46, seorang warga setempat yang hanya putranya menikah ketika ia berusia 16 tahun, juga mengatakan pemerintah daerah sering gagal memberikan denda wajib 100.000-200.000 dong bagi pasangan menikah di usia muda.
“Penduduk setempat mengatakan mereka tidak memiliki uang untuk membayar denda, sementara yang lain menyalahkan anak-anak mereka yang mengancam meninggalkan rumah mereka atau bunuh diri jika orang tua mereka tidak merestui mereka menikah,” tambahnya.
Sekitar 1.200 umat Katolik dari kelompok etnis minoritas tinggal di distrik itu, meskipun pemerintah membatasi kegiatan keagamaan demi alasan keamanan di daerah ini yang berbatasan dengan Laos dan merupakan rumah bagi lebih dari 100.000 orang etnis minoritas.
Sumber: Teen unions perpetuate poverty and illiteracy, say nuns
إرسال تعليق