Keluarga terdiri atas dua jenis yakni keluarga luas dan keluarga inti. Keluarga luas terdiri atas lingkungan, sekolah, bangsa dan akhirnya semesta. Sementara keluarga inti tersusun atas Ayah, Ibu dan anak-anaknya. Dalam tulisan ini penekanan saya lebih pada keluarga inti.
Seorang Ibu muda, energik dan optimistis pernah membagikan pergulatannya dalam mengarungi bahtra keluarga, “Frater, saya heran melihat anak dan suami saya ini”, begitu ia mencoba membuka sharingnya, kemudian ia melanjutkan dengan wajah yang sedikit sayu “Setiap hari anak saya selalu melawan dan tidak mengindahkan apa yang saya katakan. Demikian juga suami, sering mencari alasan untuk keluar dari rumah. Alasannya kerap sibuk di kantor dan mencari tambahan uang untuk belanja dapur, pendidikan anak, jaminan kesehatan, rekreasi, dan untuk kebutuhan adat. Padahal saya sebagai istri sudah ikut bekerja keras demi membantu ekonomi keluarga dan memenuhi semua keinginan anak. Pembantu rumah tangga saya datangkan, aksesori rumah dilengkapi dengan tujuan agar mereka lebih nyaman tinggal di rumah. Hasilnya beginilah, tidak seperti yang saya bayangkan”. Demikian tuturan ibu muda ini.
Tak terbilang banyaknya keluarga mengalami perpecahan (broken home) dan akhirnya berujung pada perceraian resmi atau diam-diam. Bahkan akhir-akhir ini disinyalir perceraian makin trend di tengah masyarakat. Situasi seperti ini membuat miris hati. Dengan ini mau
dikatakan bahwa hidup keluarga inti diambang kehancuran. Korban ialah keluarga itu sendiri terutama anak kemudian istri lalu menyusul suami. Pertanyaan mendasar ialah mengapa hal ini bisa terjadi? Dan bagaimana menanggulanginya?
Gaya hidup modern memungkinkan masing-masing individu mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri tanpa terkait dengan orang lain. Hal yang sama bisa terjadi dalam keluarga. Seorang Ayah, Ibu dan masing-masing Anak bisa hidup sendiri-sendiri tanpa ada jadwal yang harus ditepati seketat mungkin seperti makan bersama, berdoa bersama dan rekreasi
bersama. Kerap mereka hanya satu atap tanpa ada ikatan emosional dan afeksi kekeluargaan. Si Ayah sibuk mencari nafkah dan mengejar karir, si Ibu sibuk dengan arisan, ngerumpi, window shooping dan lain-lain, sementara si Anak sibuk belajar di sekolah, kursus-kursus dan diskusi kelompok dengan temannya. Tinggallah pembantu yang mendiami rumah, membersihkan dan merawatnya dan menerima tamu yang datang. Situasi
hidup seperti ini merupakan contoh dari satu keluarga yang rapuh dan rentan terhadap perpecahan dan perceraian.
Almarhum Paus Yohanes Paulus II membuat seruan apostolik lewat Familiris Consortio pada tanggal 22 Nopember 1981. Dalam seruan apostolik ini, beliau menekankan pentingnya peran keluarga-keluarga kristiani dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Baginya keluarga merupakan komunitas hidup dan cinta yang mempunyai empat tugas penting: pertama, membentuk komunitas antarpribadi yang sederajat atas dasar cinta yang eksklusif dan berciri tak terceraikan. Kedua, mengabdi kepada kehidupan dalam kekayaan moral dan spiritual. Ketiga, ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Keempat, ikut serta dalam
hidup dan pengutusan Gereja dengan membentuk “Gereja mini” untuk merealisasikan tugas kenabian, pengudusan dan kegembalaan sesuai dengan tugas dan peran masing-masing.
Dalam Kitab Kejadian 1:28, Allah berfirman “Beranak-cuculah dan bertambah banyak…”. Allah memanggil manusia untuk membentuk keluarga harmonis dan mempunyai keturunan untuk ikutserta dalam karya Allah. Panggilan Allah ini bukan hanya sekedar memenuhi bumi dengan anak, cucu dan cicitnya melainkan juga untuk ikut serta memperbaiki dan menyempurnakan bumi ciptaan Allah dan lebih dari itu mengalahkan kejahatan, keserakahan dalam dirinya sendiri (manusia). Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa bumi ini mampu mencukupi kebutuhan segenap mahluk yang ada di dalamnya tetapi bumi ini tidak mampu memenuhi keserakahan manusia. Setiap keluarga dipanggil Allah untuk menunjukkan wajah Allah. Banyak contoh dalam Perjanjian Lama yang menampakkan
wajah Allah dalam keluarganya ke dunia sekitarnya seperti yang ditunjukkan oleh keluarga Abraham. Dalam Perjanjian Baru keluarga harmonis ditunjukkan oleh keluarga kudus Yoseph, Maria dan Yesus. Kelahiran anak dalam keluarga menunjukkan bahwa Allah tetap
menghendaki agar manusia tidak punah. Anak adalah titipan Allah untuk keluarga itu maka ia mesti dijaga, dirawat, dicintai dan dibebaskan dari segala marabahaya dan aneka tekanan. Dengan titipan ini orangtua mendapat kewajiban dari Tuhan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak dan anak mendapat hak seperti hak hidup yang wajar dan hak untuk
mendapat pendidikan yang memadai. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama anak untuk belajar. Dari Bapak dan Ibu anak belajar berbicara, makan, bertutur, ber-Tuhan dan bersosialisasi.
Gereja sendiri menetapkan perkawinan sebagai sakramen. Itu berarti satu keluarga merupakan salah satu jalan Allah untuk menunjukkan kasih-Nya melalui dua hati yang bersatu. Mereka bukan lagi dua melainkan satu dalam kasih. Karena itu mereka tidak akan terpisahkan kecuali lewat kematian. Apa yang dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Mereka harus sehati seperasaan dan sepenanggungan baik dalam untung terutama dalam malang. Perkawinan adalah suatu ziarah yang menarik dan juga berbahaya. Cinta manusia saja tidak dapat menjamin untuk berhasil. Perkawinan membutuhkan Allah
untuk menyokong dan menguatkan cinta. Bantuan Ilahi meluaskan dan mendalamkan cinta manusia, membaruinya dan memantapkannya. Apa saja yang berkabut menjadi cerah, apa saja yang kasar menjadi lembut bila Allah ada di sana. Keluarga mesti dihiasi dengan kesabaran, pengorbanan, dan saling pengertian. Keluarga mesti dihiasi juga dengan
senyum manis.
Ayah dan Ibu harus sama-sama menghidupi anak yang telah dipercayakan oleh Tuhan untuk dididik secara wajar. Bila hal ini dilihat, dialami dan dirasakan oleh anak maka kedamaian akan tercipta. Anak akan rindu pulang ke rumah. Orangtua dengan segenap hati perlu menciptakan bagaimana agar anggota keluarga rindu pulang ke rumah. Karena itu,
keluarga inti harus hidup, berkembang dengan wajar, harmonis, utuh dan integral. Dalam keluarga mesti ditemukan hubungan afektif yang memadai. Keluarga merupakan tempat perlindungan dan benteng pertahanan terakhir selain Tuhan dari serangan globalisasi, persaingan bebas dan kekejaman dunia. Dalam keluarga mesti terjamin dan terpelihara
solidaritas, keramahan, kelemah-lembutan dan kasih sayang. Rumahnya adalah istananya.
Untuk menunjang hidup keluarga yang harmonis sebaiknya ibadat untuk memuliakan Allah dan menguduskan manusia dilaksanakan dalam keluarga.
Ayah atau Ibu bertindak sebagai pemimpin untuk menguduskan keluarga. Tindakan ini juga merupakan salah satu sarana untuk memperkenalkan iman pada anak dan menumbuhkan religiositas anak dalam keluarga. Agama bersatu dengan masing-masing pribadi. Ibadat Ilahi dirayakan dalam keluarga.
Dengan semua ini segala bentuk halangan yang mengganggu keutuhan dan kekompakan dalam keluarga harus disingkirkan walaupun dengan alasan yang amat “suci”. Semoga dengan ini keluarga inti akan tetap utuh, terbebas dari perceraian dan lestari. Semoga….
Source :Portal Kapusin Indonesia
Seorang Ibu muda, energik dan optimistis pernah membagikan pergulatannya dalam mengarungi bahtra keluarga, “Frater, saya heran melihat anak dan suami saya ini”, begitu ia mencoba membuka sharingnya, kemudian ia melanjutkan dengan wajah yang sedikit sayu “Setiap hari anak saya selalu melawan dan tidak mengindahkan apa yang saya katakan. Demikian juga suami, sering mencari alasan untuk keluar dari rumah. Alasannya kerap sibuk di kantor dan mencari tambahan uang untuk belanja dapur, pendidikan anak, jaminan kesehatan, rekreasi, dan untuk kebutuhan adat. Padahal saya sebagai istri sudah ikut bekerja keras demi membantu ekonomi keluarga dan memenuhi semua keinginan anak. Pembantu rumah tangga saya datangkan, aksesori rumah dilengkapi dengan tujuan agar mereka lebih nyaman tinggal di rumah. Hasilnya beginilah, tidak seperti yang saya bayangkan”. Demikian tuturan ibu muda ini.
Tak terbilang banyaknya keluarga mengalami perpecahan (broken home) dan akhirnya berujung pada perceraian resmi atau diam-diam. Bahkan akhir-akhir ini disinyalir perceraian makin trend di tengah masyarakat. Situasi seperti ini membuat miris hati. Dengan ini mau
dikatakan bahwa hidup keluarga inti diambang kehancuran. Korban ialah keluarga itu sendiri terutama anak kemudian istri lalu menyusul suami. Pertanyaan mendasar ialah mengapa hal ini bisa terjadi? Dan bagaimana menanggulanginya?
Gaya hidup modern memungkinkan masing-masing individu mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri tanpa terkait dengan orang lain. Hal yang sama bisa terjadi dalam keluarga. Seorang Ayah, Ibu dan masing-masing Anak bisa hidup sendiri-sendiri tanpa ada jadwal yang harus ditepati seketat mungkin seperti makan bersama, berdoa bersama dan rekreasi
bersama. Kerap mereka hanya satu atap tanpa ada ikatan emosional dan afeksi kekeluargaan. Si Ayah sibuk mencari nafkah dan mengejar karir, si Ibu sibuk dengan arisan, ngerumpi, window shooping dan lain-lain, sementara si Anak sibuk belajar di sekolah, kursus-kursus dan diskusi kelompok dengan temannya. Tinggallah pembantu yang mendiami rumah, membersihkan dan merawatnya dan menerima tamu yang datang. Situasi
hidup seperti ini merupakan contoh dari satu keluarga yang rapuh dan rentan terhadap perpecahan dan perceraian.
Almarhum Paus Yohanes Paulus II membuat seruan apostolik lewat Familiris Consortio pada tanggal 22 Nopember 1981. Dalam seruan apostolik ini, beliau menekankan pentingnya peran keluarga-keluarga kristiani dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Baginya keluarga merupakan komunitas hidup dan cinta yang mempunyai empat tugas penting: pertama, membentuk komunitas antarpribadi yang sederajat atas dasar cinta yang eksklusif dan berciri tak terceraikan. Kedua, mengabdi kepada kehidupan dalam kekayaan moral dan spiritual. Ketiga, ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Keempat, ikut serta dalam
hidup dan pengutusan Gereja dengan membentuk “Gereja mini” untuk merealisasikan tugas kenabian, pengudusan dan kegembalaan sesuai dengan tugas dan peran masing-masing.
Dalam Kitab Kejadian 1:28, Allah berfirman “Beranak-cuculah dan bertambah banyak…”. Allah memanggil manusia untuk membentuk keluarga harmonis dan mempunyai keturunan untuk ikutserta dalam karya Allah. Panggilan Allah ini bukan hanya sekedar memenuhi bumi dengan anak, cucu dan cicitnya melainkan juga untuk ikut serta memperbaiki dan menyempurnakan bumi ciptaan Allah dan lebih dari itu mengalahkan kejahatan, keserakahan dalam dirinya sendiri (manusia). Mahatma Gandhi pernah mengatakan bahwa bumi ini mampu mencukupi kebutuhan segenap mahluk yang ada di dalamnya tetapi bumi ini tidak mampu memenuhi keserakahan manusia. Setiap keluarga dipanggil Allah untuk menunjukkan wajah Allah. Banyak contoh dalam Perjanjian Lama yang menampakkan
wajah Allah dalam keluarganya ke dunia sekitarnya seperti yang ditunjukkan oleh keluarga Abraham. Dalam Perjanjian Baru keluarga harmonis ditunjukkan oleh keluarga kudus Yoseph, Maria dan Yesus. Kelahiran anak dalam keluarga menunjukkan bahwa Allah tetap
menghendaki agar manusia tidak punah. Anak adalah titipan Allah untuk keluarga itu maka ia mesti dijaga, dirawat, dicintai dan dibebaskan dari segala marabahaya dan aneka tekanan. Dengan titipan ini orangtua mendapat kewajiban dari Tuhan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak dan anak mendapat hak seperti hak hidup yang wajar dan hak untuk
mendapat pendidikan yang memadai. Keluarga merupakan tempat pertama dan utama anak untuk belajar. Dari Bapak dan Ibu anak belajar berbicara, makan, bertutur, ber-Tuhan dan bersosialisasi.
Gereja sendiri menetapkan perkawinan sebagai sakramen. Itu berarti satu keluarga merupakan salah satu jalan Allah untuk menunjukkan kasih-Nya melalui dua hati yang bersatu. Mereka bukan lagi dua melainkan satu dalam kasih. Karena itu mereka tidak akan terpisahkan kecuali lewat kematian. Apa yang dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia. Mereka harus sehati seperasaan dan sepenanggungan baik dalam untung terutama dalam malang. Perkawinan adalah suatu ziarah yang menarik dan juga berbahaya. Cinta manusia saja tidak dapat menjamin untuk berhasil. Perkawinan membutuhkan Allah
untuk menyokong dan menguatkan cinta. Bantuan Ilahi meluaskan dan mendalamkan cinta manusia, membaruinya dan memantapkannya. Apa saja yang berkabut menjadi cerah, apa saja yang kasar menjadi lembut bila Allah ada di sana. Keluarga mesti dihiasi dengan kesabaran, pengorbanan, dan saling pengertian. Keluarga mesti dihiasi juga dengan
senyum manis.
Ayah dan Ibu harus sama-sama menghidupi anak yang telah dipercayakan oleh Tuhan untuk dididik secara wajar. Bila hal ini dilihat, dialami dan dirasakan oleh anak maka kedamaian akan tercipta. Anak akan rindu pulang ke rumah. Orangtua dengan segenap hati perlu menciptakan bagaimana agar anggota keluarga rindu pulang ke rumah. Karena itu,
keluarga inti harus hidup, berkembang dengan wajar, harmonis, utuh dan integral. Dalam keluarga mesti ditemukan hubungan afektif yang memadai. Keluarga merupakan tempat perlindungan dan benteng pertahanan terakhir selain Tuhan dari serangan globalisasi, persaingan bebas dan kekejaman dunia. Dalam keluarga mesti terjamin dan terpelihara
solidaritas, keramahan, kelemah-lembutan dan kasih sayang. Rumahnya adalah istananya.
Untuk menunjang hidup keluarga yang harmonis sebaiknya ibadat untuk memuliakan Allah dan menguduskan manusia dilaksanakan dalam keluarga.
Ayah atau Ibu bertindak sebagai pemimpin untuk menguduskan keluarga. Tindakan ini juga merupakan salah satu sarana untuk memperkenalkan iman pada anak dan menumbuhkan religiositas anak dalam keluarga. Agama bersatu dengan masing-masing pribadi. Ibadat Ilahi dirayakan dalam keluarga.
Dengan semua ini segala bentuk halangan yang mengganggu keutuhan dan kekompakan dalam keluarga harus disingkirkan walaupun dengan alasan yang amat “suci”. Semoga dengan ini keluarga inti akan tetap utuh, terbebas dari perceraian dan lestari. Semoga….
Fr. Martinus Situmorang, OFMCap.
Post a Comment