Belum lama ini di Jerusalem sekelompok agamawan dari Islam, Kristen dan Yahudi, yang semuanya laki-laki, berkumpul untuk memuji seorang perempuan – Bunda Maria/Maryam, ibunda Yesus/Nabi Isa – dan menemukan makna bersama melaluinya.
Dalam dunia prakarsa dan upaya bina damai yang didominasi laki-laki, ini merupakan contoh langka dan menarik bagaimana seorang perempuan suri teladan digunakan sebagai penghubung.
Maria, yang merupakan seorang Yahudi dan ibunda dari Putra Tuhan bagi orang Kristen, jugalah salah satu perempuan yang paling disanjung dalam Islam. Sebuah surah dalam Alquran pun menyandang namanya. Namun, di samping status ini, ia sangatlah manusiawi.
Adakah cara yang lebih baik untuk saling terhubung daripada melalui salah satu ibu paling terkenal dalam sejarah ini?
Pendiri prakarsa ini adalah mantan jurnalis Ingrid Stellmacher, yang setelah 25 tahun memproduksi acara televisi dan film ingin “berhenti mengomentari konflik dan mulai melakukan sesuatu untuk menyelesaikannya.” Ia membentuk organisasi yang bermarkas di Inggris, The Mary Initiative, yang bertujuan menyatukan orang-orang melalui pemahaman dan perasaan mereka tentang Bunda Maria.
Stellmacher mengatakan bahwa memfokuskan perbincangan pada arti penting Bunda Maria mengatasi hambatan “sekadar bicara”tentang dialog antariman dan perdamaian. Maryam membawa orang-orang ke meja dialog karena belas kasih dan respek yang ia tunjukkan, dan dengan begitu bisa menghubungkan para peserta dialog, baik laki-laki maupun perempuan, bahkan sebelum mereka mulai bicara.
Misalnya, sekelompok perempuan Somalia terkejut mengetahui kalau Maria itu dari bangsa Yahudi, sesuatu yang, kata Stellmacher, juga terjadi dengan berbagai kelompok berbeda di seluruh dunia. Dalam hal ini, kesadaran tersebut melahirkan obrolan dengan para perempuan Yahudi tentang isu-isu gender yang memengaruhi kedua kelompok.
Ketertarikan global pada Bunda Maria menandakan bahwa ia dapat diterima oleh masyarakat dari berbagai budaya dan wilayah: dari Inggris hingga Amerika Serikat, Tanzania, Kenya dan Yaman. Konsep ini sebetulnya sangat sederhana.
Para penganut dari beberapa agama yang dibagi dalam kelompok-kelompok, terkadang bersama rekan yang tak mengamalkan agama, diminta untuk mendiskusikan pertanyaan, “Apa arti Maryam bagi Anda?”
Tanggapan-tanggapannya difilmkan, dan wawancara salah satu kelompok dipresentasikan untuk didiskusikan oleh kelompok-kelompok lain.
Misalnya, Dubes Palestina untuk Inggris di London, Profesor Manuel Hassassian, mengungkapkan bagaimana baginya,“Maria melambangkan harapan, spiritualitas dan cinta.” Harapan, spiritualitas dan cinta adalah beberapa unsur penting yang sering kali luput ketika kita membahas berbagai isu yang kita hadapi di dunia ini.
Profesor Yahudi, Miri Rubin, dengan fasih menggambarkan bagaimana mustahilnya menjadi orang Eropa, namun tak tersentuh oleh jangkauan Maryam dalam seni, arsitektur dan puisi,“pada dasarnya semua yang kita anggap indah”.
Sekelompok muslim Pakistan mengungkapkan keinginan untuk mempunyai suatu prakarsa Maria antara India dan Pakistan karena pemisahan kedua negara ini merupakan tragedi mereka.
Saat itu mereka belum melihat klip film Dr Mohini Giri, menantu presiden keempat India, VV Giri, yang beragama Hindu, yang menjelaskan bahwa baginya Maria adalah seorang ibu, dan jika melalui Maria kita bisa meraih perdamaian lalu mengapa tidak (menggunakannya sebagai penghubung semua)?
Ide Rekonsiliasi
Membawa diskusi-diskusi positif dan berorientasi ke depan tentang Maria kepada kelompok-kelompok orang yang masih melihat ke belakang ke serangan 11 September memunculkan pertanyaan-pertanyaan konseptual penting untuk upaya bina damai. Misalnya, bagaimana kekuatan keras harus diimbangi dengan kekuatan lunak dan ide-ide rekonsiliasi.
Di sebuah acara Mary Initiative di Universitas Fairfield, Amerika Serikat awal tahun ini, Direktur Center for Faith and Public Life, Pdt Richard Ryscavage, mengatakan bahwa “Prakarsa Maria seharusnya diajarkan di sekolah diplomat di Amerika Serikat, karena pendekatan seputar Maria ini, yang menyediakan ruang yang tidak konfrontasional dan sudah ada karena kesamaan narasi antara orang Kristen dan muslim, merupakan sebuah percakapan kuat baru yang bisa menjangkau para diplomat dan mengulurkan sesuatu yang tulus, dan bukannya sesuatu yang sengaja dibuat.”
Pada akhir sesi yang berlangsung selama tiga jam di sebuah penjara di AS, dua pendeta mendekati Stellmacher menerangkan kalau mereka pernah diminta memberi presentasi bersama dengan rekan Muslim mereka, namun ketegangan antara pendeta Kristen dan Ustadz Muslim begitu tinggi sampai-sampai mereka pun batal presentasi.
Namun, sekarang, mereka akan mengusulkan untuk menyampaikan presentasi bersama tentang Maria.
Stellmacher tahu bahwa dua pendeta ini akan kembali dan berbincang dengan gaya berbeda, lebih lembut, dari yang sebelumnya.
Stellmacher menuturkan: “Ada sebuah pepatah Buddha – hati memiliki bahasa rahasia. Memperkenalkan Maria membuka jalan untuk menggunakannya.”
*Penulis adalah seorang pengarang di London. Artikel ini diambil dari Kantor Berita Common Ground (CGNews).
Sumber: Sinar Harapan
Post a Comment