PASTOR RANTINUS MANALU JADI TERSANGKA KARENA BERPIHAK KEPADA YANG MENDERITA


Foto: PASTOR RANTINUS MANALU JADI TERSANGKA KARENA BERPIHAK KEPADA YANG MENDERITA
 
Oleh Eduardus B Sihaloho S.Ag
 
Konsistensi membela dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak rakyat yang menderita telah membuat seorang imam dari Keuskupan Sibolga, Sumatera Utara, dua kali berurusan dengan penegak hukum atau dijadikan tersangka. 

Nama imam itu adalah Pastor Rantinus Manalu Pr yang kini bertugas sebagai Ketua Komisi Justice and Peace Keuskupan Sibolga.

Di tahun 2009, dia pertama diperiksa oleh Polda Sumatera Utara sebagai tersangka kasus tindak pidana penggunaan dan pendudukan kawasan hutan secara tidak sah, dan tanggal 6 Februari 2013 polisi menetapkan imam itu bersama pejuang HAM, Ustad Sodikin Lubis, dan aktivis kelompok Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM), Denis Simalango, sebagai tersangka pencemaran nama baik Bupati Tapanuli Tengah, Raja Bonaran Situmeang SH, MHum.

Yang menjadi pertanyaan, apa alasan yang membuat seorang imam berurusan dengan aparat penegak hukum? Dalam kasus ini, saya pastikan jawabannya adalah konsistensi membela dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak rakyat yang menderita.

Saya mencoba merunut ke belakang. Sebenarnya, Bupati Raja Bonaran Situmeang dan Pastor Rantinus adalah bagian dari satu tim yang kompak menggulingkan kepemimpinan Kabupaten Tapanuli Tengah sebelumnya. Bagi masyarakat Tapanuli Tengah, kedatangan Bonaran Situmeang sebagai calon bupati pada Pemilukada 2011 dianggap sebagai “penyelamat” yang dinantikan. 

Anggapan itu dipegang masyarakat karena dalam kampanye dia berjanji memperjuangkan pengembalian tanah-tanah rakyat yang dicaplok oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Untuk memenangkan Bonaran ke kursi jabatan Bupati Tapanuli Tengah, masyarakat mendaulat Pastor Rantinus untuk menjadi Ketua Tim Sukses Pemenangan Bonaran. 

Kerja keras Pastor Rantinus bersama timnya tidak sia-sia. Mereka berhasil mendudukkan Raja Bonaran menjadi Bupati Tapanuli Tengah. Namun di tengah perjalanan, ternyata janji-janji politik saat kampanye tidak dijalankan. Pastor Rantinus dan kawan-kawan berkesimpulan bahwa Bonaran ingkar janji.

Konflik pun terjadi karena tanggal 17 September 2012, Bupati Bonaran melaporkan Pastor Rantinus dan kawan-kawan ke Polda Sumut karena telah mencemarkan nama baiknya. Pencemaran nama baik muncul menyusul terbitnya advertorial Harian Rakyat Tapanuli edisi 8 September 2012 yang berisi ajakan untuk berdemo menuntut bupati turun dari jabatannya karena tidak memenuhi janji-janji saat kampanye. 

Bahkan imam itu bersama kawan-kawan menuduh bupati berbohong kepada masyarakat dengan membuat janji palsu saat kampanye hanya demi meraih dukungan pemilih, memanfaatkan mutasi dan promosi jabatan birokrasi untuk kepentingan pribadi, memalsukan data, menerima gratifikasi, dan melakukan pembohongan publik.

“Perseteruan” antara Pastor Rantinus dan kawan-kawan dengan penguasa di kabupaten itu bukan sekali saja. Mereka pernah bertentangan dengan bupati sebelumnya. Pertentangan itu bukan demi kepentingan diri sendiri, tapi demi membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang terzalimi oleh penguasa dan pengusaha. 

Penderitaan berkepanjangan karena pencaplokan tanah rakyat membuat Pastor Rantinus dengan kelompoknya dan seluruh masyarakat yang tertindas menyatukan hati dan tujuan untuk memenangkan Raja Bonaran yang berjanji membantu mereka.

Namun harapan dan cita-cita masyarakat tidak kesampaian. Raja Bonaran mengabaikan janjinya untuk mengembalikan tanah rakyat yang diambil oleh perusahaan perkebunan sawit. Rakyat pun berang dan menuntut Bonaran Situmeang mundur, dan Pastor Rantinus tersangkut masalah hukum karena pilihan hidupnya untuk langsung membela orang yang teraniaya, yang dicaplok haknya, dan yang terpinggirkan. 

Di daerah itu ada beberapa perusahaan perkebunan yang menguasai tanah-tanah yang sudah begitu lama bahkan puluhan tahun digarap masyarakat. Tanah-tanah itu sangat cocok untuk perkebunan. Maka pengusaha bersekongkol dengan penguasa setempat agar tanah-tanah yang dikuasai masyarakat itu diambil begitu saja dengan dalih telah memperoleh sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) dari bupati.

Dengan segala cara pengusaha lalu berusaha menyingkirkan masyarakat yang mengerjakan tanah-tanah itu, bahkan kekerasan dan penghilangan nyawa dianggap wajar. Ini jelas bertentangan dengan HAM.
 
Pastor Rantinus pun gelisah dan bertekad meringankan penderitaan masyarakat. Dia mendekati masyarakat, memberikan pendampingan, bahkan mengadvokasi dan membela rakyat kecil. 

Menurut Ketua Komisi Justice, Peace and Integraty of Creation (JPIC) Ordo Kapusin Propinsialat Sibolga, Pastor Frans Zai OFMCap, perjuangan Pastor Rantinus murni sebagai gembala umat yang berjuang bagi rakyat kecil. “Dia adalah sosok pemimpin yang konsisten dengan sikap dan pilihannya, walaupun karena pilihan itu dia harus menghadapi aparat penegak hukum seperti yang terjadi sekarang.”

Benar, bagi warga Tapanuli Tengah, Pastor Rantinus dikenal sebagai sahabat dan pembela korban ketidakadilan. Dia berjuang bukan untuk kepentingan sendiri, tapi kepentingan dan hak-hak masyarakat yang terjajah dan termarginalkan, bahkan tergiur untuk terjun ke dunia politik praktis, yang sebenarnya dilarang oleh Gereja, demi membantu masyarakat. 

Sayang sekali, upaya yang dilakukan imam  itu atas izin pimpinannya di Keuskupan Sibolga untuk memperbaiki keadaan dengan terjun langsung ke dunia politik terhalang karena bupati menyimpang dari harapan mayoritas masyarakat. Situasi ini membuatnya tidak bisa tinggal diam. Bersama teman-temannya, imam itu berbalik arah, mengambil jarak, dan mengkritisi bupati.
 
Pilihan itu adalah pilihan keberpihakan kepada orang yang menderita, terpinggirkan, terancam, dan ketakutan. Masyarakat yang didampingi imam itu senantiasa merasa terancam oleh pengusaha dan penguasa, yang berkuasa melakukan apa yang mereka kehendaki. 

Karena itu, Pastor Rantinus terpanggil untuk bertindak. Panggilan kenabian (prophetic vocation) itu bersumber dari hati nurani dan panggilan tugas moral imamat. Namun bila dipahami lebih jauh, pilihan keberpihakan yang dilakukan oleh Pastor Rantinus merupakan tugas mulia yang sungguh bermartabat. Pilihannya untuk membela dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil bukan tanpa resiko.

Dekanus Dekanat Tapanuli Pastor Servasius Sihotang OFMCap dalam surat 6 Februari 2013 menulis bahwa sejauh ini diamati bahwa apa diperjuangkan Pastor Rantinus Manalu Pr serta Ustad Shodiqin Lubis dan Denis Simalango masih dalam jalur yang benar dan batas-batas yang wajar. Maka, tegas imam itu, Gereja Katolik Dekanat Tapanuli mengajak seluruh umat Katolik dan rekan-rekan juang dari pastor, serta ustad dan aktivis itu untuk memberikan dukungan baik moral maupun spiritual. 

“Kita yakin bahwa melalui doa-doa kita, Allah akan memberikan kekuatan kepada mereka untuk tetap teguh dalam kebenaran dan keadilan. Dengan demikian untaian doa kita akan mendatangkan pembaharuan demi kepentingan seluruh masyarakat Tapanuli Tengah, terutama mereka yang tertindas dan terpinggirkan karena ketidakadilan,” tulis surat yang tembusannya dikirim ke Uskup Sibolga, direktur Puspas dan pastor paroki se-Dekanat Tapanuli.***
Konsistensi membela dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak rakyat yang menderita telah membuat seorang imam dari Keuskupan Sibolga, Sumatera Utara, dua kali berurusan dengan penegak hukum atau dijadikan tersangka.

Nama imam itu adalah Pastor Rantinus Manalu Pr yang kini bertugas sebagai Ketua Komisi Justice and Peace Keuskupan Sibolga.

Di tahun 2009, dia pertama diperiksa oleh Polda Sumatera Utara sebagai tersangka kasus tindak pidana penggunaan dan pendudukan kawasan hutan secara tidak sah, dan tanggal 6 Februari 2013 polisi menetapkan imam itu bersama pejuang HAM, Ustad Sodikin Lubis, dan aktivis kelompok Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM), Denis Simalango, sebagai tersangka pencemaran nama baik Bupati Tapanuli Tengah, Raja Bonaran Situmeang SH, MHum.

Yang menjadi pertanyaan, apa alasan yang membuat seorang imam berurusan dengan aparat penegak hukum? Dalam kasus ini, saya pastikan jawabannya adalah konsistensi membela dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak rakyat yang menderita.

Saya mencoba merunut ke belakang. Sebenarnya, Bupati Raja Bonaran Situmeang dan Pastor Rantinus adalah bagian dari satu tim yang kompak menggulingkan kepemimpinan Kabupaten Tapanuli Tengah sebelumnya. Bagi masyarakat Tapanuli Tengah, kedatangan Bonaran Situmeang sebagai calon bupati pada Pemilukada 2011 dianggap sebagai “penyelamat” yang dinantikan.

Anggapan itu dipegang masyarakat karena dalam kampanye dia berjanji memperjuangkan pengembalian tanah-tanah rakyat yang dicaplok oleh perusahaan-perusahaan perkebunan. Untuk memenangkan Bonaran ke kursi jabatan Bupati Tapanuli Tengah, masyarakat mendaulat Pastor Rantinus untuk menjadi Ketua Tim Sukses Pemenangan Bonaran.

Kerja keras Pastor Rantinus bersama timnya tidak sia-sia. Mereka berhasil mendudukkan Raja Bonaran menjadi Bupati Tapanuli Tengah. Namun di tengah perjalanan, ternyata janji-janji politik saat kampanye tidak dijalankan. Pastor Rantinus dan kawan-kawan berkesimpulan bahwa Bonaran ingkar janji.

Konflik pun terjadi karena tanggal 17 September 2012, Bupati Bonaran melaporkan Pastor Rantinus dan kawan-kawan ke Polda Sumut karena telah mencemarkan nama baiknya. Pencemaran nama baik muncul menyusul terbitnya advertorial Harian Rakyat Tapanuli edisi 8 September 2012 yang berisi ajakan untuk berdemo menuntut bupati turun dari jabatannya karena tidak memenuhi janji-janji saat kampanye.

Bahkan imam itu bersama kawan-kawan menuduh bupati berbohong kepada masyarakat dengan membuat janji palsu saat kampanye hanya demi meraih dukungan pemilih, memanfaatkan mutasi dan promosi jabatan birokrasi untuk kepentingan pribadi, memalsukan data, menerima gratifikasi, dan melakukan pembohongan publik.

“Perseteruan” antara Pastor Rantinus dan kawan-kawan dengan penguasa di kabupaten itu bukan sekali saja. Mereka pernah bertentangan dengan bupati sebelumnya. Pertentangan itu bukan demi kepentingan diri sendiri, tapi demi membela dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang terzalimi oleh penguasa dan pengusaha.

Penderitaan berkepanjangan karena pencaplokan tanah rakyat membuat Pastor Rantinus dengan kelompoknya dan seluruh masyarakat yang tertindas menyatukan hati dan tujuan untuk memenangkan Raja Bonaran yang berjanji membantu mereka.

Namun harapan dan cita-cita masyarakat tidak kesampaian. Raja Bonaran mengabaikan janjinya untuk mengembalikan tanah rakyat yang diambil oleh perusahaan perkebunan sawit. Rakyat pun berang dan menuntut Bonaran Situmeang mundur, dan Pastor Rantinus tersangkut masalah hukum karena pilihan hidupnya untuk langsung membela orang yang teraniaya, yang dicaplok haknya, dan yang terpinggirkan.

Di daerah itu ada beberapa perusahaan perkebunan yang menguasai tanah-tanah yang sudah begitu lama bahkan puluhan tahun digarap masyarakat. Tanah-tanah itu sangat cocok untuk perkebunan. Maka pengusaha bersekongkol dengan penguasa setempat agar tanah-tanah yang dikuasai masyarakat itu diambil begitu saja dengan dalih telah memperoleh sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) dari bupati.

Dengan segala cara pengusaha lalu berusaha menyingkirkan masyarakat yang mengerjakan tanah-tanah itu, bahkan kekerasan dan penghilangan nyawa dianggap wajar. Ini jelas bertentangan dengan HAM.

Pastor Rantinus pun gelisah dan bertekad meringankan penderitaan masyarakat. Dia mendekati masyarakat, memberikan pendampingan, bahkan mengadvokasi dan membela rakyat kecil.

Menurut Ketua Komisi Justice, Peace and Integraty of Creation (JPIC) Ordo Kapusin Propinsialat Sibolga, Pastor Frans Zai OFMCap, perjuangan Pastor Rantinus murni sebagai gembala umat yang berjuang bagi rakyat kecil. “Dia adalah sosok pemimpin yang konsisten dengan sikap dan pilihannya, walaupun karena pilihan itu dia harus menghadapi aparat penegak hukum seperti yang terjadi sekarang.”

Benar, bagi warga Tapanuli Tengah, Pastor Rantinus dikenal sebagai sahabat dan pembela korban ketidakadilan. Dia berjuang bukan untuk kepentingan sendiri, tapi kepentingan dan hak-hak masyarakat yang terjajah dan termarginalkan, bahkan tergiur untuk terjun ke dunia politik praktis, yang sebenarnya dilarang oleh Gereja, demi membantu masyarakat.

Sayang sekali, upaya yang dilakukan imam itu atas izin pimpinannya di Keuskupan Sibolga untuk memperbaiki keadaan dengan terjun langsung ke dunia politik terhalang karena bupati menyimpang dari harapan mayoritas masyarakat. Situasi ini membuatnya tidak bisa tinggal diam. Bersama teman-temannya, imam itu berbalik arah, mengambil jarak, dan mengkritisi bupati.

Pilihan itu adalah pilihan keberpihakan kepada orang yang menderita, terpinggirkan, terancam, dan ketakutan. Masyarakat yang didampingi imam itu senantiasa merasa terancam oleh pengusaha dan penguasa, yang berkuasa melakukan apa yang mereka kehendaki.

Karena itu, Pastor Rantinus terpanggil untuk bertindak. Panggilan kenabian (prophetic vocation) itu bersumber dari hati nurani dan panggilan tugas moral imamat. Namun bila dipahami lebih jauh, pilihan keberpihakan yang dilakukan oleh Pastor Rantinus merupakan tugas mulia yang sungguh bermartabat. Pilihannya untuk membela dan memperjuangkan hak-hak rakyat kecil bukan tanpa resiko.

Dekanus Dekanat Tapanuli Pastor Servasius Sihotang OFMCap dalam surat 6 Februari 2013 menulis bahwa sejauh ini diamati bahwa apa diperjuangkan Pastor Rantinus Manalu Pr serta Ustad Shodiqin Lubis dan Denis Simalango masih dalam jalur yang benar dan batas-batas yang wajar. Maka, tegas imam itu, Gereja Katolik Dekanat Tapanuli mengajak seluruh umat Katolik dan rekan-rekan juang dari pastor, serta ustad dan aktivis itu untuk memberikan dukungan baik moral maupun spiritual.

“Kita yakin bahwa melalui doa-doa kita, Allah akan memberikan kekuatan kepada mereka untuk tetap teguh dalam kebenaran dan keadilan. Dengan demikian untaian doa kita akan mendatangkan pembaharuan demi kepentingan seluruh masyarakat Tapanuli Tengah, terutama mereka yang tertindas dan terpinggirkan karena ketidakadilan,” tulis surat yang tembusannya dikirim ke Uskup Sibolga, direktur Puspas dan pastor paroki se-Dekanat Tapanuli.***
Oleh Eduardus B Sihaloho S.Ag Source :PEN@ Indonesia

Post a Comment

Previous Post Next Post