Paus Fransiskus, Angin Perubahan di Vatikan

Paus Fransiskus mencium kening bayi


TERPILIHNYA Kardinal Jorge Mario Bergoglio SJ menjadi Paus Fransiskus memberi banyak kejutan besar tidak hanya bagi Gereja Katolik Semesta, melainkan juga bagi dunia pada umumnya. Pertama-tama tentu saja, orang dibuat ‘terperangah’ karena inilah pertama kalinya seorang Jesuit terpilih menjadi Paus dalam sejarah. Juga karena dia datang dari Amerika Latin dan akhirnya ‘berani’ memilih nama Fransiskus (Assisi) sebagai identitas kepausannya untuk sebuah alasan yang sangat masuk akal: bersemangat sederhana, berjiwa miskin, dan perhatian kepada kaum papa.

Lebih dari itu, Paus Fransiskus juga telah berani melakukan pendobrakan: keluar dari “tradisi” Tahta Suci yang dia lakukan tentu saja  dengan tujuan sangat mulia. Pertama-tama, dia berani “menanggalkan” sepatu merah yang khas dipakai oleh paus dan tetap mengenakan sepatu hitam kesukaannya. Lalu, dia tetap memakai kalung salib berbahan baku perunggu –bukan berbahan emas layaknya dipakai seorang paus—yang sudah dia kenakan sejak menerima tahbisan uskup.

Berikut, dia memutuskan  tidak melakukan prosesi “triduum” Trihari Suci dengan mengambil Basilika Santo Petrus sebagai nafas dan pusat liturgi sepanjang Trihari Suci. Melainkan, beliau justru memilih Penjara Casal del Marmo untuk merayakan Kamis Putih bersama para narapidana remaja dan kemudian berkenan membasuh kaki mereka.

Lalu, keputusan beliau untuk tidak (mau) tinggal di apartemen paling atas Vatikan –tempat khusus layaknya para Paus sebelumnya tinggal menetap. Melainkan, Paus Fransiskus malah memilih sebuah kamar kecil sebagai “rumahnya” yang baru di Vatikan. Kebiasaan tinggal di sebuah rumah berupa apartemen kecil sederhana daripada wisma keuskupan yang luas sudah beliau lakoni sejak menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Argentina.

Di situ, beliau masak dan mencuci pakaiannya sendiri.


Menjawab tantangan zaman

Hari-hari menjelang konklaf, para dewan kardinal sudah terlebih dahulu berkutat dengan pertanyaan penting: kali ini, fokus proses eleksi paus baru lebih dititikberatkan pada pertanyaan Gereja membutuhkan figur paus macam apa daripada siapa paus baru yang akan dipilih. Rasanya, terpilihnya Kardinal Jorge Mario Bergoglio SJ menjadi Paus Fransiskus menjawab pertanyaan sidang prakonklaf dan kebutuhan Gereja saat ini: menggemakan kembali “khitah” Gereja sebagai paguyuban umat beriman yang peduli pada kaum papa dan tertindas serta bersemangatkan sederhana dan berjiwa miskin.

Terpilihnya Paus Fransiskus sepertinya “keputusan” Tuhan sendiri yang telah memberi kepada GerejaNya seorang pemimpin umum yang baru dengan semangat kristiani yang paling dasariah yakni semangat miskin, berjiwa sederhana, dan berani melalukan ‘terobosan’ baru ketika Gereja dan umat beriman masa kini sudah mulai hanyut dalam ritualisme dan aksesori-aksesori gerejani berupa kemewahan dalam beribadat.

Padahal, jiwa hidup kristiani justru bukan terletak pada ritualisme iman. Melainkan pada bagaimana iman kepada Yesus Kristus itu dihayati, dipraktikkan dan kemudian diwartakan.


Paus Fransiskus melalui hidupnya yang sederhana dan pilihan-pilihannya yang ‘menakjubkan” seperti Kamis Putih di penjara, keluar dari barisan protokoler untuk memeluk orangtua dan anak cacat, hidup di sebuah ruangan kecil  harus dibaca sebagai sebuah “kesaksian iman”. Romo BS Mardiaatmadja SJ dalam sebuah komentarnya saat mengkritisi Misa Paska di Vatikan melalui Indosiar dengan jeli mengamati hal itu.

Kata Romo Mardi, dalam Misa Paska yang anggun dan besar itu Paus tidak memberikan homili. “Pada hemat saya, homilinya ya hidup pribadi Sri Paus itu sendiri yang penuh dengan hal-hal menakjuban,” kata dosen teologi STF Driyarkara ini saat menjawab pertanyaan anchor Indosiar Olga Lydia dan Susan Bachtiar, Minggu (31/3) siang lalu.

Mungkinkah semua hal itu karena Paus Fransiskus ini adalah seorang Jesuit?

Bisa jadi ya, sekalipun jawaban ini bisa diplintir oleh komentar: pastilah begitu karena yang menulis ini adalah seorang mantan Jesuit.

Tapi bagi saya, hal-hal menakjubkan dari seorang Paus Fransiskus itu adalah hal wajar justru karena sebagai Jesuit, beliau sudah terbiasa mempraktikkan hidup berdasarkan diskresi (pembedaan roh, demikian menurut terminologi khas Jesuit Latihan Rohani). Sebagai Jesuit pada umumnya, beliau juga orang yang egaliter: mempraktikkan gaya bergaul yang luwes, supel dan hangat; apalagi dalam diri Paus mengalir darah Italia yang kental dan budaya Amerika Latin yang hangat dan dinamis.

Gereja Katolik Semesta kini mengalami kejutan-kejutan membahagiakan karena Tuhan telah mengirim wakilnya yang terbaik dari Bumi Selatan yakni Kardinal Jorge Mario Bergoglio SJ menjadi Paus Fransiskus, penerus pemegang kekuasaan Tahta Suci di Vatikan.

Entah karena wajah dan gayanya nyaris sama dengan Paus Johannes XXIII yang berani mendeklarasikan perlunya Gereja Katolik Semesta menyelenggarakan Konsili Vatikan II, saya malah kepikiran: jangan-jangan Jesuit yang penuh kejutan ini nanti akan mengguncang Gereja dan dunia dengan Konsili Vatikan III.

Maka lengkaplah sudah, Paus Fransiskus  menjadi whistle blower di Vatikan yang tengah menggelorakan angin perubahan ke setiap sudut-sudut Gereja Katolik Semesta.

Source : sesawi.net

Post a Comment

Previous Post Next Post