PERLUKAH SEGI KONTEMPLATIF?




Dalam suatu peristiwa adalah seorang muda, putra seorang ibu, yang dikeroyok karena alasan keagamaan dan ia terbunuh. Ibu tersebut merasa sangat sedih karenanya. Beberapa waktu kemudian sekelompok orang dapat menangkap person yang diketahui paling bertanggungjawab atas kematian putra ibu itu. Mereka beramai-ramai membawanya ke muka rumah ibu itu dan meminta ibu tersebut untuk keluar dan menyaksikan bagaimana mereka mau menghajar balik orang yang tertangkap itu (membalas dan membalaskan). 

Akan tetapi ibu itu dengan suara lantang berteriak “anak ini juga anakku!”. Mereka semua terdiam dan terkejut akan sikap ibu tersebut. Bila disimak kesadaran orang-orang dan landasan sikap – keputusan – perbuatan – tindakannya dapat bermacam-macam. Itulah sebabnya ada tindakan keras menghantam orang lain, bahkan sampai kematiannya dan tetap merasa benar. Sebaliknya, juga orang mengambil tindakan menegakkan keadilan dengan pedoman: mata ganti mata. Oleh karena itu, menurut mereka adalah wajar dan OK bila menangkap si tertuduh, mengadilinya dan menghukumnya pula. 

Dalam kejadian di atas mungkin masyarakat (berkehendak baik?) mau meredakan kesedihan dan kemarahan ibu yang kehilangan puteranya dengan meredakan kesedihan dan kemarahan ibu yang kehilangan keadilan/pembalasan. Akan tetapi ibu itu mempunyai sikap pribadi tata nilai yang mungkin mengejutkan sesamanya, yang mungkin mengejutkan/tidak terduga oleh sesamanya. Dia tegas bersikap “merangkul” sesamanya, juga orang yang dianggap mematikan puteranya. Dia memaafkan, menerima, membela keutuhan, dan hidup. Dia tidak terjatuh ke dalam pandangan yang terkotak-kotak pada konsep pandangan; aku lain dari kamu;kami lain dari kalian dan seterusnya. Ada nilai lain yang dihayati selain rumus dalam benak; suatu kekerasan harus dibalas, menegakkan keadilan atau hukum karena kerugian yang ditimbulkan.
Yesus yang mengejutkan 

Guru dan Tuhan kita : Yesus Kristus dalam beberapa rekaman injil, juga mengejutkan. Misalnya pada waktu ada seorang Ibu Yunani Syro Fenesia memohon pada Yesus agar berkenan melepaslam putrinya dari kuasa kegelapan. Yesus semula berkeberatan karena konsep dan programnya lain “Aku diutus kepada umat terpilih dan tugas-ku melayani suku bangsa Israel – Yahudi.” Akan tetapi, Yesus tidak terpaku pada ide dan gagasan-Nya sendiri. Ia terbuka untuk realita permohonan dan mendengarkan harapan yang dalam dan besar dari Ibu itu. Yesus pun membuka hati dan diriNya untuk melayaninya. Dengan peristiwa dan dialog ini kiranya Yesus (sebagai manusia yang juga menyejarah) makin memiliki kesadaran yang lebih dalam dan luas akan perutusanNya. Karena itu Yesus mengambil keputusan /sikap yang “baru” dan membebaskan putri ibu itu dari kuasa kegelapan. 
Bahkan, kemudian pada saat-saat terakhir, Yesuspun makin mampu memilah-milah mana perasaan kesedihanNya sendiri yang dalam, kegetaran, kengerian, dan ketakutanNya. Di sisi lain, kata hatiNya yang terdalam dalam relasi dengan BapaNya; “Biarlah seperti yang Engkau kehendaki” (Mk 14,32).
Kemudian pada puncak penderitaanNya pada waktu disalib Yesus menampilkan kesadaran-kesadaranNya yang lebih dalam, dalam relasi dengan BapaNya dan umat manusia. 

Ia memohonkan maaf (Lk 23, 34), menjanjikan Firdaus bagi penjahat yang memohon agar diingat bila Ia memasuki Firdaus (ayat 42-43). Menyerahkan nyawaNya (dengan damai) ke dalam tangan  Sang Bapa sebagai orang yang benar (Lk 23, 43. 46-47), Yesus tidak hanya menunaikan tugas dari Bapa (rules and order), tetapi yang mengaktualisir identitas diriNya dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus.
Mengenal kehendak Bapa

Dalam hidup Yesus sebagai manusia Ia mengenal kehendak Bapa-Nya dari kitab suci, lewat komunikasi iman dengan kedua orangtuanya, dan masyarakat sekelilingNya/jemaat. Sisi lain, Ia juga menjalin relasi pribadi dengan keheningan: Ia berulang kali menyepi pada malam/sore atau pagi-pagi sekali. Rupa-rupanya keakraban dalam keheningan menjadi jalan bagi Yesus untuk mengenal dan mengetahui kehendak dan siapakah BapaNya bagiNya, bahkan memupuk kesatuan denganNya (tentu saja segi Ilahi Yesus juga tetap). 

Bila kita bahasakan dengan bahasa pengalaman kita: Kita dapat mengenal dan memahami kehendak dan perwahyuan Tuhan = melalui observasi atas alam tercipta, studi, sharing, refleksi iman dan teologi, membaca buku-buku serta Firman Tuhan. Dan ada jalur lainnya dengan keheningan (kontemplasi, lectio divina), lewat doa batin, bahkan doa mistik dengan Tuhan dan membiarkan Tuhan menyampaikan misteri adaNya kehendak, membiarkan misteri diri kita ditarangkul dalam kehadian KasihNya (Tuhan yang aktif dan kita lebih menyambut, seperti anak hilang dalam rangkulan Bapa). 

Bagi kita, para imam, bahkan juga bagi detiap orang sebagai para putri-putra Bapa, hendaknya kita tak saja mengenal Tuhan Bapa kita dan kasihNya bukan dengan akal budi- rasio kita saja, tetapi juga dengan kapasitas, selain rasio, yang dianugerahkan kepada kita pula, seperti intuisi dan keterbukaan hati kita pada yang Ilahi yang memang dicipta dan dianugerahkan untuk mengenali dan mampu berelasi denganNya (Thomas Aq sambil menunjuk bangku doa: “semua yang dipelajari pada bangku studi juga dapat kita peroleh pada bangku ini”). 

Mewaspadai kegiatan Budi 

Akan tetapi, perlulah diperhatikan dan diwaspadai. Dapat terjadi orang memang berdoa atau merenung seraya berdoa di bangku gereja, akan tetapi sebenarnya masih tergolong kegiatan budi (aktivitas kita sendiri dalam diri kita) dan masih kurang atau belum keheningan hati yang terbuka, berelasi dengan Tuhan yang maha besar yang tak terucapkan (cahaya yang tak terhampiri) menyambut yang mau diwahyukan Tuhan (revelasi) dalam dan dengan “bahasa Tuhan yaitu bahasa keheningan (God language is the language of silence) dan tinggal di dalamNya
Oleh karena itu dalam rangka berelasi dengan Tuhan, serta memahami kehendak mengenal dan mengalami kasihNya, kita memanfaatkan kapasitas inderawi rasio kita. Dan di sisi lain kita memanfaatkan kapasitas kita untuk mengalami Allah dalam keheningan : kontemplasi – semadi di hadirat dan dalam dia (meditasi non diskutif). Maka, kita memperoleh pengertian – pemahaman dan pengenalan perwahyuan Tuhan lewat “dua jalur”. Ibarat kita memperoleh informasi akan realita yang kita tangkap menjadi lebih lengkap dan utuh (bukan hanya 2 dimensi, tetapi dengan ke 3 dimensinya).

Dalam penelaahan lebih lanjut diketahui bahwa segala aktivitas rasional kita (seperti berfilasfat, merenung-renung, menyimpulkan, usaha memahami) juga dalam relasi dengan Tuhan ternyata merupakan kegiatan otak kiri. 
Sedangkan kegiatan berkontemplasi, diam dalam kesadaran di hadirat Tuhan, menerima pengalaman kedalaman hati, kasih, kebesaran dan kasih Tuhan adalah aktivitas otak kanan manusia. Maka secara sederhana: rupanya mengenal Tuhan dan menghayati hidup dalam kasihNya hanya dengan otak kiri atau dengan kegiatan rasional saja belum cukup. 

Dengan menyadari hal ini, maka terbukalah bagi kita segi dan kemungkinan lain untuk mengenali dan berelasi denganNya secara lebih kaya. Karena Tuhan mahabesar jauh melampaui kapasitas budi kita untuk “menangkap dan memahamiNya” (ingat kisah St. Agustinus yang berusaha menangkap dengan budinya Misteri Allah Tritunggal). Dan selain mengenal memahami kita memang dimampukan untuk mengalami Allah dan Karya kasih serta kehadiranNya yang penuh kuasa dan daya yang membaharui, mengembangkan, dan mengubah kita, sehingga benar-benar ada kala mereka yang dekat dan satu dengan Tuhan mengejutkan, tak terpahami, mengherankan. 
Tinggallah sekarang bagi kita ialah melangkah seturut bimbingan dan anjuran Nya: “Hendaknya kamu berjaga dan berdoalah. Tenanglah dan ketahuilah bahwa Aku Tuhan.”
Namun, bagaimana…? Apa yang dapat kita lakukan…?

MARANATHA : Datanglah Tuhan

Alb.Sing MSF
Selamat datang di    http://parokisaya.blogspot.com/

Source: seminarikwi.org/

Post a Comment

Previous Post Next Post