Mengapa Yesus Disunat, Kita Tidak ?




Mengapa Yesus disunat, kita tidak ?

Ada pertanyaan yang menarik. Kalau Yesus disunat, mengapa kemudian sunat tidak menjadi keharusan bagi pengikut-Nya? Dari definisinya, sunat  (circumcisio) mengacu kepada ‘pemotongan’, yaitu secara khusus pada pemotongan kulit penis. Jika kita mempelajari tulisan ahli sejarah Herodotus maka kita ketahui bahwa bukan hanya bangsa Yahudi saja yang mengenal tradisi sunat ini, melainkan juga bangsa Mesir, Kolkian dan Etiopian, dan kemudian kita ketahui bahwa tradisi ini menjadi bagian dari tradisi kaum muslim.

Namun bagi kita, umat Kristiani, kitapun perlu mengetahui makna “sunat” ini, agar kita semakin dapat menghayati iman kita:

1. Dalam Perjanjian Lama (PL), kita mengetahui sunat pertama kali disyaratkan oleh Allah kepada Abraham sebagai tanda perjanjian antara Allah dengan Abraham dan keturunannya, sehingga sunat dilakukan terhadap semua anak laki-laki pada saat anak tersebut berusia 8 hari (lih. Kej 17:11-12). Tradisi sunat ini dilanjutkan di jaman Nabi Musa (lih. Im 12:3, Kel 12:48), Yoshua (Yos 5:2) dan tradisi ini dilaksanakan seterusnya sampai pada jaman Yudas Makabe (167-160 BC) meskipun di tengah tekanan para penguasa (lih. 2 Mak 6:10); dan sampai juga ke jaman Yesus Kristus. Alkitab mencatat bahwa ketika Yesus genap berumur 8 hari, Bunda Maria dan St. Yusuf membawa-Nya ke Bait Allah untuk disunat dan diberi nama Yesus (lih. Luk 2:21).

2. Maka kita melihat dengan obyektif di sini bahwa Yesus disunat karena pengaruh tradisi Yahudi, sebab Ia dilahirkan sebagai seorang Yahudi. Ia dilahirkan oleh seorang perempuan, dilahirkan dari yang takluk kepada hukum Taurat, untuk membebaskan mereka yang takluk kepada hukum Taurat, sehingga kita dapat diangkat menjadi anak-anak Allah. Ini dimungkinkan karena Allah telah mengirimkan Roh Kudus-Nya ke dalam hati kita sehingga kita dapat memanggil Allah sebagai “Bapa” (lih. Gal 4:4-6).

Diutusnya Roh Kudus ke dalam hati kita terjadi pada waktu Pembaptisan, di mana melaluinya kita “dilahirkan kembali dalam air dan Roh” (Yoh 3:5). Kelahiran kembali ini ditandai dengan “menanggalkan manusia lama berserta segala hawa nafsunya …dan mengenakan manusia baru di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.” (Ef 4:22-24). Maka inilah makna “sunat” yang baru, yang tidak lagi berupa penanggalan/ pemotongan kulit lahiriah, tetapi penanggalan hawa nafsu dan dosa dan mengenakan hidup yang baru di dalam Roh Kudus.

3. Jadi sebenarnya yang ingin ditekankan Yesus adalah dimensi spiritual dari “sunat” seperti yang sebelumnya telah diajarkan dalam PL, bahwa yang terlebih utama adalah sunat hati/ rohani (Ul 10:16 dan 30:6, Yer 4:4, 9:25-26). Seperti juga Yesus mengajarkan bahwa yang terpenting bukan apa yang terlihat dari luar, tetapi yang ada di dalam hati; bukan menerapkan hukum supaya terlihat baik dari luar, namun agar kita melakukan keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (lih. Mat 23:5, 23)

Maka Rasul Paulus mengajarkan:

“Tetapi orang Yahudi sejati ialah dia yang tidak nampak keyahudiannya dan sunat ialah sunat di dalam hati, secara rohani, bukan secara hurufiah. Maka pujian baginya datang bukan dari manusia, melainkan dari Allah.” (Rom 2:29).

“Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati.” (Kol 2:12)

Maka di sini “sunat lahiriah” tidak menjadi hukum utama bagi seseorang untuk menjadi anggota bangsa pilihan Allah, tetapi “sunat rohaniah” yang adalah Pembaptisan berdasarkan iman akan Allah Tritunggal yang telah mengutus Yesus Kristus Putera-Nya untuk menyelamatkan manusia.

4. Para Rasul mengajarkan berdasarkan pengajaran Tuhan Yesus sendiri adalah: bahwa yang terpenting adalah sunat rohani, dan bukanlah sunat badani. Oleh sunat rohani, yaitu iman akan Yesus Kristus inilah, maka seseorang diselamatkan, dan bukan karena memenuhi hukum sunat lahiriah menurut hukum Taurat. Rasul Paulus mengajarkan:

“Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus. Sebab itu kamipun telah percaya kepada Kristus Yesus, supaya kami dibenarkan oleh karena iman dalam Kristus dan bukan oleh karena melakukan hukum Taurat. Sebab: “tidak ada seorangpun yang dibenarkan” oleh karena melakukan hukum Taurat.” (Gal 2:16)

5. Jadi bagaimana sekarang, apakah sunat itu mutlak dilakukan atau tidak? Untuk hal ini, jawaban dari para rasul adalah:

“Sebab bersunat atau tidak bersunat tidak penting. Yang penting ialah mentaati hukum-hukum Allah.” (1 Kor 7:19). Dengan mengetahui bahwa yang terpenting adalah sunat rohani, maka sekarang tidaklah menjadi penting, sunat atau tidak bersunat, asalkan kita melakukan hukum-hukum Allah terutama hukum kasih. Maka jika seseorang Katolik tidak disunat, itu disebabkan karena itu sudah bukan keharusan bagi kita sebagai pengikut Kristus, sebab keselamatan kita tidak diperoleh dari sunat/ hukum Taurat tetapi oleh iman akan Kristus Tuhan.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa “sunat” dalam Perjanjian Lama adalah persiapan/ gambaran dari Pembaptisan di Perjanjian Baru. Yesus memperbaharui dan menggenapi hukum Taurat dengan memberikan hukum yang baru; Yesus tidak membatalkannya, namun menyempurnakannya dan memberikan arti yang lebih penuh terhadap apa yang ditentukan dalam hukum Taurat Musa. Bahwa kekudusan tidak hanya sesuatu yang terlihat dari luar namun lebih kepada apa yang ada di dalam hati. Dan kekudusan yang sejati inilah yang menghantar kita kepada keselamatan kekal.

Di sinilah kita melihat kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. St. Thomas Aquinas pernah mengajarkan tentang 3 jenis hukum yang ada dalam Perjanjian Lama, dan bagaimana Yesus menggenapinya dalam Perjanjian Baru. Silakan klik di siniuntuk membacanya, semoga anda dapat semakin melihat bahwa Yesus Kristus adalah penggenapan hukum Taurat; dan Ia menyempurnakan hukum itu di dalam Diri-Nya sendiri.

Stefanus Tay & Ingrid Tay

Source : katolisitas.org

Post a Comment

Previous Post Next Post