SUNAT SEBAGAI TANDA PERJANJIAN



A. Pendahuluan 

Sampai saat ini banyak dijumpai kebingungan di kalangan Kristen perihal 
sunat (Circumcision). Di satu sisi, memang tidak ada fatwa atau petunjuk resmi 
secara kelembagaan atau institusi Kristen boleh tidaknya sunat dilakukan bagi 
orang Kristen. Ketiadaan fatwa dari institusi agama Kristen itu bukan berarti tidak 
ada dasar alkitabnya, tetapi lebih banyak ditemuinya tafsir yang berbeda serta 
pembenaran-pembenaran boleh tidaknya orang Kristen melakukan sunat, 
pemotongan daging (kulup) di ujung penis laki-kali.

Bagi golongan fundamentalis Kristen yang memahami betul kebenaran 
Perjanjian Baru (PB), khususnya teladan yang diberikan Rasul Paulus, sunat 
maupun tidak sunat bukan hal yang terlalu penting. Apakah sunat kulup itu perlu 
atau tidak. Sebab yang lebih penting adalah perlunya seorang sebagai ciptaan 
baru. “Sebab bersunat atau tidak bersunat (maksudnya potong kulup di ujung 
penis) tidak ada artinya, tetapi menjadi ciptaan baru itu yang lebih penting dan 
ada artinya (Gal 6:15). 

Namun, bagi yang melaksanakan perintah Perjanjian Lama (PL), sunat bagi 
orang yang sudah diselamatkan Allah merupakan keharusan karena suatu tanda 
perjanjian dan ditetapkan oleh Allah. Bahkan jika tidak melakukan sunat, maka 
akan mendapatkan hukuman (Kej 17:14; Kel 4:24, 26), tidak diperkenankan 
melakukan pernikahan campuran dengan orang yang tidak bersunat (Kej 34:14; 
Hak 14:3), dan tidak boleh bergaul dengan orang yang tidak bersunat (Kis 10:28; 
11:3; Gal 2:112). 
Artikel ini berusaha untuk meninjau sunat kulup, menurut perspektif historis 
dan medis berdasarkan pandangan Alkitab. Harapan artikel ini dapat memberikan 
cara pandang, apa yang harus dilakukan oleh orang Kristen perihal sunat. Apakah 
sunat wajib hukumnya, tidak wajib, dapat dilakukan atau ditiadakan dengan 
berbagai resiko sosial. Artinya, kepantasan melakukan sunat berdasarkan konteks 
budaya, kesehatan, dan agama. 2

B. Sejarah Sunat 

Menurut Perjanjian Lama (PL) sebagai informasi tertua, mengungkapkan 
bahwa sunat sudah dilakukan oleh bangsa kuno, termasuk bangsa Israil. Bangsabangsa Afrika, Australia, Amerika, dan Astronesia pun melakukan hal yang sama, 
telebih bangsa-bangsa di Timur Tengah, kecuali bangsa Asyur, Filistin, dan Babel 
(Tes 9:25-26); Hak 14:3; 15:18; 1 Sam 14:6, 36, 2 Sam 1:20, dll).1
 Dalam suatu suku bangsa tertentu juga dikenal sunat untuk wanita 
(female genital mutilation)

2
. Bahkan WHO (World Health Organization) 
memperkenalkan prosedur sunat untuk perempuan yang antara lain berupa 
clitoridecmy: penghilangan sebagian atau seluruh klistoris, excisior: Penghilangan 
sebagian atau seluruh klistoris dan labiominora, infibulation: penghilangan 
sebagian atau seluruh bagian luar genital dengan menjahit sebagian saluran 
kencing dan vagina dan unclissified : semua prosedur female genital mutilation
(FGM) lainnya yang bersifat membahayakan. Namun, bangsa Israil hanya 
mengenal dan melakukan penyunatan laki-laki. 

 Setiap bangsa yang melaksanakan sunat memiliki makna yang berbeda-beda. 
Bangsa Israil sunat dapat diketahui dari proses perkembangannya. Dalam 
masyarakat Israil terdapat dua kata untuk makna sunat. Pertama, kata khatan yang 
khusus digunakan dalam hubungannya dengan perkawinan (sunat sebelum 
kawin). Kedua, kata mul atau malal yang dipakai dalam hubungannya dengan 
sunat pada umumnya. Pada artikel ini akan dibicarakan jenis sunat yang kedua 
karena dalam konteks di Indonesia sunat ini dilakukan hampir di semua etnis di 
Indonesia. 
 Makna mul untuk pertama kali dimunculkan oleh Nabi Yeremia (Yer 4:4) 
pada saat ia berbicara sunat hati. Hal itu berarti bahwa sunat tidak cukup atau 
dipararelkan dengan sunat kulup tetapi harus sunat hati. Demikian pula dengan 
sunat telinga (Yer 6:10). Dengan kata lain, dalam hubungannya dengan Yahweh 
dan Israil, makna sunat bukan hanya semata-mata terletak pada sunat kulup tetapi 
pada sunat hati dan sunat telinga. 

1
 Wismoyoadi, Wahono. S. Sunat dalam Akitab. Yogyakarta: Buletoin LPK No 97 GKI dan GKJ Jawa 
Tengah, 1978. Hal 3. 
2
 Dyah, Putranti, Basicila, et all. Male and Female Genital Cutting Among Javanese and Madurese.
Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University and Australian 
Nasional University. P. 1 3

 Makna sunat kulup di kalangan orang Israil makin mendapat bentuk rohani 
yang tegas ketika mereka berada di pembungan Babel, saat mereka bertemu 
dengan orang-orang Babel yang tidak bersunat kulup pada abad 5 dan 6. Sunat 
kulup ditetapkan sebagai tanda oreang-orang Israil yang mengikat perjanjian 
dengan Yahwe. 

 Jika sunat kulup disebut sunat luar, dan sunat hati dan sunat telinga seperti 
yang diajarkan Nabi Yeremia disebut sunat hati, sampai akhir zaman 
pembuangan, kedua macam sunat tersebut masih terus merupakan pergumulan 
hidup dan berlaku di tengah-tengah bangsa Israil.3
 Gereja mula-mula mewarisi dua macam sunat tersebut. Yohanes Pembaptis 
(Luk 1:59), Yesus (Luk 2:21) dan Paulus (Pil 3:5) mengalami sunat luar (sunat 
kulup), demikian pula semua orang Yahudi Kristen (Kis 10:45; 11:2; Gal 2:12). 
Di pihak lain, orang Kristen baru nonYahudi tidak melakukan sunat luar ini. Bagi 
mereka, melakukan sunat dalam saja sudah cukup. Paulus termasuk yang 
mempertahankan sunat dalam. 

 Dalam konteks kebudayaan Jawa, masyarakat sudah mempraktikkan sunat 
sebelum masuknya pengaruh Islam Indonesia. Bahkan menurut penganut Kewajen 
di Sleman Yogyakarta, sunat kemungkinan merupakan praktik 
animisme/dinamisme yang sudah dilakukan masyarakat, jauh sebelum ada 
kerajaan di Yogyakarta. 
Sakemute bapak, sadurunge ana kraton, ana mesjid, ana greja, kuwi 
wis ditindakake para sepuh Jawa (setahu saya, sebelum ada 
keraton, masjid, dan gereja hal itu sudah dilakukan orang Jawa 
zaman dulu)4
Ritual Sunat juga mengandung makna mistis untuk memurnikan diri 
menghilangkan sukerto, yaitu hambatan, kotoran, atau kesialan manusia yang 
dibawa sejak lahir. 

Tetakan utawa tetesan iku sarana ngilangake sukerto, sebab para 
sepuh Jawa iku kagungan keyakinan yen sukerto iku pembawaan 
kodrat, soko rama ibu. Dadi tetakan utawa tetesan iku nduwe 
panjangka supaya bocah bersih, suci, ora kesinungan sukerto (Sunat 
itu adalah sarana menghilangkan sukerto, sebab orang Jawa zaman 
3
 Wahono, Wismoady S, Sunat di Dalam Alkitab. Yogyakarta: Buletin LPK GKJ dan GKI Jawa 
Tengah. Hal 4. 
4
 Dyah Putranti, Basilica, et al. Male and Female Genital Cuting Among Javanese and Madurese.
Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah Mada University and Australian National 
University, 2003. p. 9. 4
dahulu mempunyai keyakinan bahwa sukerto adalah pembawaan 
dari ayah dan ibu. Jadi sunat laki-laki maupun perempuan 
dimaksudkan untuk membersihkan anak, tidak membawa sukerto.) 5
Geertz, dalam The Religion of Java (1960) dalam studinya di Mojokuto (Pare, 
Kediri, Jawa Timur) mengatakan bahwa ritual sunatan atau khitanan hanya 
dilakukan bagi laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan dilakukan upacara 
kepanggihan atau perkawinan. Geertz juga menyimpulkan adanya percampuran 
antara unsur Jawa dan Islam. Ritual sunatan atau khitanan tidak hanya bermakna 
menjelang dewasa, tetapi juga ritual Islami. Sunatan merupakan rangkaian 
kegiatan ritual siklus selamatan (bahasa Jawa slamet yang artinya selamat) dengan 
berdoa diiringi kegiatan makan. Karena masyarakat jawa mengganggap masa 
pupertas sebagai saat-saat kritis dalam kehidupan manusia, maka penyelenggaraan 
slametan dipercayai mampu mendatangkan ketenangan dan keselamatan.6
Kesimpulan Geertz ini tentu saja kurang disetujui oleh memeluk Kristen karena 
berdimensi budaya, bukan berdimensi Alkitab. 

C. Sunat Menurut Perspektif Alkitab 

Menurut Perjanjian Lama (PL), sunat pertama-tama mewujudkan tanda rohani, 
dan kedua mempunyai arti kebangsaan yang mencirikan keanggotaan bangsa 
Israil. Sunat juga merupakan tanda perjanjian yang dibuat oleh Abraham (Kej 
17:10, 11, 13, 14). Sunat juga merupakan tanda kasih karunia Allah buat umat 
manusia yang menandai penyerahan manusia kepada Allah. Perjanjian antara 
Allah dengan manusia bekerja atas dasar kesatuan rohani antaranggota rumah 
tangga dan kepalanya. Perjanjian itu diadakan ‘antara Aku dam engkau serta 
keturunanmu turun-temurun (Kej 17:7). Pada Kejadian Pasal 17 ayat 26, 27 
disebutkan bahwa Abraham dan anaknya Ismail disunat dan semua orang yang 
berada di rumah Abraham disunat semua, baik orang yang lahir di rumahnya 
maupun yang dibeli dengan uang dari orang asing. 
Ikatan perjanjian antara Allah dengan Abraham dilaksanakan sepenuhnya oleh 
Abraham dengan bersunat dengan cara mengerat kulit khatam. Anak-anak usia 8 
tahun ke atas aharus di sunat. Abraham sendiri berumur 99 tahun ketika dikerat 
kulit khatamnya, sedangkan anaknya Ismail berumur 13 tahun ketika disunat. 
5
 Ibid. p. 21. 
6
 Geerz, Clifford, The Religion of Java.Glencoe: Free Press. 1960. 5
Dengan demikian sunat merupakan tradisi Israil yang mewajibkan mereka 
untuk menaati hukum Allah dengan melakukan sunat sesuai dengan perintah 
Allah agar Abraham “ Hidup di hadapan Allah dengan tidak bercela”. (Kej 17:1) 
Hubungan antara sunat dan ketaatan ditekankan di sepanjang Alkitab (Yer 4:4; 
Rm 2:25-29; Kis 15:5; Gal 5:3). Sunat substansinya bukan mengandung 
pengertian sebagai gagasan penyerahan diri pada Allah. Sunat menjelmakan, 
menerapkan janji, dan menghimbau orang untuk hidup dalam ketaatan sesuai 
dengan perjanjian. Darah yang tumpah dalam sunat tidak menyatakan batas 
penyerahan diri itu, tetapi pengungkapan tuntutan yang mahal yang dibuat Allah 
bagi mereka yang dipanggilNya, dan dicirikan dengan tanda perjanjiannya.7
Dalam Perjanjian Baru dengan tegas dinyatakan bahwa tanpa ketaatan, sunat 
adalah omong kosong (Rm 2:25-29). Tanda lahirian dalam sunat akan pudar tanpa 
menaati perintah-perintah Tuhan (1 Kor 7:18,19), beriman (Gal 5:6) dan ciptaan 
baru (Gal 6:15). Namun demikian, orang Kristen tidak boleh memandang rendah 
tanda itu. Walaupun tanda itu mengungkapkan keselamatan karena perbuiatanperbuatan hukum, orang Kristen harus menghidarinya (Gal 5:2) Justru yang 
diperlukan adalah ‘Sunat Kristus’ berupa ‘penanggalan akan tubuh’ (bukan hanya 
sebagian yaitu kulup atau ujung penis) atau sebagian dosa, suatu perbuatan rohani 
yang tidak dilakukan oleh tangan manusia, suatu hubungan dengan Kristus dalam 
kematian dan kabangkitanNya, yang dimeteraikan dalam peraturan penerimaan 
atas Perjanjian baru (Kol 2:11, 12). Sebagai akibatnya, orang Kristen adalah 
‘orang yang bersunat’8

Paulus juga menyuruh menyunatkan Timotius karena tradisi Yahudi 
mensyratkan demikian. (Kis 16:1-3). Namun Paulus juga tidak menolak orang 
yang tidak bersunat menjadi pengikutmya. Hal ini dilakukan Paulus karena ia 
mengajar orang-orang bukan Yahudi agar meninggalkan hukum-hukum Musa 
(Kis 21:21). Dengan demikian tampaknya Paulus menghendaki agar sebaiknya 
orang tidak memelihara hukum Taurat dengan cara menahirkan dirinya dengan 
ritual yang tidak menyelamatkan .9
D. Pandangan Pro dan Kontra tentang Sunat 
7 Enslikopedia Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2002, 426-427. 
8
 Ibid. hal 247. 
9 Dictionary of the Letter New Testament. P 227. 6
Gereja memiliki pandangan yang berbeda mengenai boleh atau tidak bolehnya 
orang Kristen melaksanakan sunat. Tedapat beberapa pandangan dan sikap 
terhadap sunat. Masing-masing pandangan dan sikap memiliki argumentasi 
sendiri-sendiri terhadap pro dan kontra mengenai sunat. Berikut ini disajikan 
beberapa pandangan mengenai sunat dari berbagai sudut pandang. 


1. Dari sudut Akitabiah, sunat boleh dilakukan sepanjang 
mereka tidak percaya bahwa sunat itu menyelamatkan 
(Gal 5). Abraham menyunatkan anaknya dan keluarganya 
karena terikat perjanjian dengan Allah dengan bangsa 
Israil. Melakukan sunat seperti dalam PL untuk menjadi 
Israil baru. Sedangkan sunat tidak dilakukan jika masih 
ada anggapan menyelamatkan dan Kristus tidak ada 
faedahnya. Jika orang masih meragukan kebenaran katakata rasul Paulus beberti meragukan isi Alkitab. 

2. Dari perspektif iman. Orang yang menyunatkan anaknya 
tidak perlu mengaitkan dengan ajaran agama lain, tidak 
menghubungkan dengan keselamatan sehingga tidak 
menggoyahkan iman Kristen. Seperti yang dilakukan 
dalam kosmologi Jawa, bahwa sunat bertujuan untuk 
membuang Sukerto, hambatan atau kesialan untuk 
terhindar dari Betara Kala (raksasa pemakan manusia). 

Namun demikian, orang Kristen yang melakukan sunat 
juga tetap manjadi orang Kristen yang baik. Buktinya 
banyak pendeta juga melakukan sunat. Orang Kristen 
yang menyunatkan anaknya, bukan berarti ia masih hidup 
dari alam Islam ke Kristen. Mereka melakukan sunat 
bukan karena alasan agama Islam atau Kristen. Orang
Kristen menolak sunat jika dikaitkan dengan ritual berkait 
denan agama lain, mengislamkan, minta doa restu kepada 
“dhanyang yang mbaurekso” dan minta restu orang tua 
dan hadirin. 

3. Dari sudut pandang ekonomi. Sunat boleh dilakukan 
untuk membetri identitas kesukuan dan bukan monopoli 
agama tertentu. Dengan melakukan sunat orang tidak 7
merasa terlepas dari komunitasnya dan tidak dituduh
menentang adat yang telah turun-temurun. Sunat juga
dipandang sebagai tatacara yang amemiliki nilai ekonomis 
terhadap yang melakukannya. Namun, sunat menjadi 
pantang dilakukan jika dengan sunat memberi indentitas 
Ismam atau “ngislamake” (mengislamkan) 

4. Dari sudut psikologi. Sunat boleh dilakukan jika dapat 
membawa rasa percaya diri anak dan menghindarkan diri 
dari cemoohan karena memiliki penis yang berbeda 
dengan teman-temannya. 

5. Dari sudut kesehatan. Kegiatan sunat yang membuat penis 
menjadi bersih mengapa mesti dilarang. Bahkan riset
seksualitas menunjukkan bahwa orang yang bersunat 
memiliki kemampuan lebih baik dripada yang tidak 
bersunat. Namun sunat juga tidak perlu dikakukan jika 
dengan alasan tertentu dokter tidak merekomendasinya. 

6. Dari perspektif evangelisme. Sunat boleh dilakukan jika 
pelarangan sunat menjadi halangan orang untuik menjadi 
Kristen. Bahkan dengan pelarangan sunat akan menjadi 
ketegangan religius dengan anggota masyarakat lain 
sehingga proses evangelisme menjadi terkendala. 

Pandangan gereja Katholik terhadap sunat didasarkan pada Konsili Vatikan II, 
yang diterjemahkan oleh Keuskupan Agung Semarang tangal 15 Agustus 1953 
berkait dengan sunat yang prinsipnya seperti berikut. 

1. Bagi umat Katholik, sunat boleh dilakukan bila ada alasan-alasan sah 
dan memenuhi syarat tertentu, sehingga Gereja Katholik tidak 
memperbolehkan begitu saja. Pertama, terjadi semacam mutilasi atau 
pemotongan organ tubuh. Menurut etika Katholik mutilasi hanya boleh 
dilakukan untuk alasan kesehatan. Kedua, ada anggapan bahwa ritus 
keagaamaan Islam yang mengklaim bahwa sunat adalah kegiatan 
“ngislamake” (mengislamkan). Padahal kegiatan sunat sudah dilakukan 
sebelum Islam di Indonesia itu ada. Ketiga, sunat akan mempengaruhi 
rangsangan seksual. 8

2. Sunat boleh dilakukan jika ada alasan medis dan demi kesehatan, 
karena alasan sosial, demi hubungan sosial dalam masyarakat dimana ia 
hidup, dan demi iman kepercayaan yang semakin besar. Dengan sunat 
makin dapat mengekspresikan iman kepercayaannya kepada Tuhan. 
Namun, yang harus diperhatikan dalam melakukan kegiatan sunat pada 
prinsipnya tanpa melakukan kegiatan yang berbau takayul dan tidak 
menjalankan kegiatan atau upacara agama lain. 

 Berdasarkan “Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern: 
Gaudium Et Spes (GS) No 53-63”, secara tidak langsung gereja Katholik 
terbuka dengan kebudayaan dan adat-istiadat setempat yang tersebar dalam 
Konsitusi dan Dekrit.10 Beberapa konsitusi diantaranya adalah Kristus adalah 
kepenuhan wahyu Tuhan. Kristus menjadi manusia dan secara konkrit hidup 
dalam kebudayaan dan adat-istiadat Yahudi, temasuk bangsa Indonesia. Hal 
itu selaras dengan sikap Paulus terhadap iman pada Kristus. Melakukan sunat 
yang amerupakan tradisi dan tidak bertentangan dengan ajaran Kristus tidak 
menjadi persoalan. 

 Gereja tidak terikat oleh adat istiadat tertentu. Gereja ytang diutus ke 
segala bangsa dari segala masa dan tempat tidak secara khusus terikat dan 
tidak terpisahkan dengan suatu suku atau bangsa dengan corak hidup dan 
tradisinya. Gereja dapat besatu dengan peradaban dan dapat memperkaya 
peradaban. Sunat yang memberi keadaran untuk berekonsiliasi pada mereka 
yang bertikai, sunat yang dapat memberi harmoni dalam budaya yang guyup 
rukun dan saling menolong , akan dapat memperkaya gereja. 
 Gereja menerima setiap kebudayaan dan istiadat yang positif. Bukan 
hanya secara positif mentolelir atau membiarkan, tetapi gereja mau menerima , 
mengembangkan, dan memanfaatkan ekspresi iman, setelah dibebaskan dari 
unsur-unsur takhayul.. Apa saja yang terdapat dalam praktek keagamaan serta 
kebudayaan bangsa harus dimurnikan, dipertinggi dan dibawa ke 
kesempurnaan. 

E. Refleksi Teologis 

10 Purwawidyana PR, Chr, “Visi Gereja Katholik terhadap Adat Istiadat, Khususnya Sunat”. Dalam 
Sunat. Yogyakarta: Buletin LPK No 97. 1978: hal. 14-19. 9
Aktivitas sunat yang dilakukan komunitas Kristen, sesungguhnya berbeeda 
sekali dengan konteks yang dialami Rasul Paulus dan dalam PB/PL. Konteks 
sunat oleh Rasul Paulus adalah dalam rangka keselamatan, sedangkan 
koenteks sunat zaman sekarang, lebih berdimensi kesehatan, sosial, dan 
sosialisasi. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan keselamatan. Orang 
Kristen melakukan sunat karena butuh kesehatan, kemampuan seksual, dan 
diterima oleh komunitas, tanpa harus melunturkan iman percayanya kepada 
Tuhan Yesus. 

 Melakukan sunat yang tidak bertentangan dengan kebenaran Alkitab 
mengapa tidak dilaksanakan? Jika orang Kristen konservatif mempertahankan 
untuk tidak bersunat, apa faedahnya bagi kesehatan, kebersihan, potensi 
seksual dan bersosialiasi. Orang bersunat dan tidak bersunat , keduanya 
memang tidak melanggar HAM, yang sangat tergantung dari perspektif 
pelakunya. Kalau seseorang tidak melakukan sunat namun hidupnya 
sepenuhnya menjadi ciptaan baru dapat menjadi contoh hidup. Namun, ketika 
orang melakukan sunat, sedangkan hidupnya tidak pernah lahir baru, apalah 
gunanya?. Baik yang bersunat maupun tidak bersunat memiliki sudut pandang 
berbeda. Di satu sisi sunat memiliki dimensi sosiologis dalam hubungannya 
keikutsertaan pelaku dalam bersosialisasi di masyarakat. Di sisi lain, dari 
sudut teologi, sunat tidak ada hubungannya dengan keselamatan. Meminjam 
istilah Iklan deodorant, “setelah itu terserah anda”. Ada dapat melakukan dan 
dapat pula tidak melakukan. Akibat baik buruknya sunat atau tidak sunat 
tergantung dari pelakunay sendiri.

 Mengakhiri tulisan ini, penulis sebagai jemaat Tuhan Yesus perlu 
setuju dengan sunat kulup. Ketika disunatkan Yesus baru berumur 8 hari (Luk 
2:21). Yohanes pada hari ke delapan di sunat (Luk 1:59) Ismail pada usia 13 
tahun, ayahnya Abraham disunat 99 tahun, dan rata-rata anak Indonesia 
disunat pada usia 12 tahun. Alasan sunat dilakukan paa zaman sekarang selain 
berdimensi sosial juga berdimensi teologis. Sakitnya sebentar saja, nikmatnya 
tak terhingga. 10

DAFTAR PUSTAKA 
Bruce, FF. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini. Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 
2002. 
Dictionary of the Letter New Testament. 
Dyah, Putranti, Basicila, et all. Male and Female Genital Cutting Among Javanese 
and Madurese. Yogyakarta: Center for Population and Policy Studies Gadjah 
Mada University and Australian Nasional University.1
Enslikopedia Alkitab 
Masa Kini, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2002 
Geerz, Clifford, The Religion of Java.Glencoe: Free Press. 1960. 
Purwawidyana PR, Chr, “Visi Gereja Katholik terhadap Adat Istiadat, Khususnya 
Sunat”. Dalam Sunat. Yogyakarta: Buletin LPK No 97 GKI dan GKJ Jateng. 
1978 
Wismoyoadi, Wahono. S. “Sunat dalam Akitab”.dalam Sunat. Yogyakarta: Buletin 
LPK No 97 GKI dan GKJ Jawa Tengah, 1978
Oleh Suroso 

Source : staff.uny.ac.id

Post a Comment

Previous Post Next Post