TUJUAN DAN HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTIANI


TUJUAN DAN HAKIKAT PERNIKAHAN KRISTIANI

Pada umumnya, pasangan-pasangan yang akan menikah menjadi sibuk saat mempersiapkan perayaan pernikahan. Agar acara pemberkatan dan resepsi pernikahan berjalan lancar, mereka rela mengerahkan segenap daya, tenaga, dan dana. Prosesi pemberkatan dan resepsi tersebut tentu akan segera berlalu, namun mereka harus terus mempertahankan pernikahan seumur hidup.

Untuk mempertahankan pernikahan, setiap pasangan harus memahami hakikat dan tujuan pernikahan. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak terlalu serius dalam mengerahkan segenap kemauan, akal budi, daya, dan dana untuk memahami hakikat dan tujuan pernikahan Kristen dengan baik dan jelas. Jika seseorang tidak memunyai visi dalam pernikahan, maka sesungguhnya dia telah melakukan tindakan "bunuh diri". Cepat atau lambat, pernikahan dan cintanya akan layu dan mati. Untuk menghindari hal ini, saat berpacaran atau sebelumnya, sebaiknya Anda menanyakan tujuan hidup dan pernikahan yang ada di benak orang yang Anda sayangi. Diskusikan itu dengan konselor untuk membantu Anda mengerti, apakah visi itu cukup jelas saat memasuki pernikahan Anda atau tidak.

Hakikat Pernikahan

Pernikahan yang baik adalah komitmen total dari dua orang di hadapan Tuhan dan sesama. Pernikahan yang baik didasarkan pada kesadaran bahwa pernikahan ini adalah kemitraan yang mutual. Pernikahan yang baik juga melibatkan Tuhan secara proaktif di dalam setiap pengambilan keputusan, sebab pernikahan adalah sebuah rencana ilahi yang istimewa. Dengan demikian, pernikahan seharusnya tetap dijaga dan dipertahankan di dalam kekuatan Roh yang mempersatukan kedua insan.

a. Pernikahan adalah Suatu Perjanjian ("Covenant")

Secara simbolis, orang yang menikah mengucapkan janji nikahnya di gereja. Secara sederhana, perjanjian adalah suatu persetujuan antara dua individu/kelompok atau lebih. Perjanjian pernikahan adalah mengasihi ("to love") dan dikasihi ("to be loved"). Menurut Balswick, ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari perjanjian yang Allah tetapkan. Pertama, perjanjian itu sepenuhnya merupakan tindakan Allah, bukan sesuatu yang bersifat kontrak. Komitmen Allah ini tetap berlangsung, tidak bergantung pada manusia. Kedua, Allah menghendaki respons dari manusia. Namun, ini bukan berarti perjanjian tersebut bersifat kondisional. Perjanjian itu tetap menjadi satu perjanjian yang kekal, terlepas dari apakah umat Tuhan melakukannya atau tidak. Ketiga, Allah menyediakan berkat-berkat dan keuntungan bagi mereka yang menuruti perjanjian tersebut. Manusia diberi kebebasan untuk memilih, untuk hidup dalam perjanjian itu atau menolaknya.[1]

Menurut R.C. Sproul, pernikahan bukanlah hasil dari satu perkembangan kebudayaan manusia.[2] Institusi pernikahan ditetapkan seiring dengan Penciptaan itu sendiri. Senada dengan itu, John Stott berkata, "...perkawinan bukanlah temuan manusia. Ajaran Kristen tentang topik ini diawali dengan penegasan penuh kegembiraan bahwa perkawinan adalah gagasan Allah, bukan gagasan manusia... perkawinan sudah ditetapkan Allah pada masa sebelum kejatuhan manusia ke dalam dosa."[3]

Jika demikian, pengertian di atas mengandung tiga implikasi penting. Pertama, setiap orang yang mau menikah seharusnya memberikan atensi pada pengenalan eksistensi Allah sebagai pendiri lembaga ini. Kedua, memberikan Allah otoritas penuh dalam memimpin lembaga ini sehingga komunikasi suami-istri bersifat trialog.[4] Artinya, Allah dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan. Ketiga, pernikahan diikat oleh komitmen seumur hidup, sebab perjanjian itu bukan kepada manusia, melainkan kepada Allah sendiri. Dengan memahami pernikahan sebagai satu ikatan perjanjian dengan Allah, maka calon suami istri disadarkan agar senantiasa bergantung pada kekuatan Allah dalam menjalani pernikahan.

b. Pernikahan adalah Kesaksian

Dalam Efesus 5:32, Paulus menggambarkan hubungan suami dan istri seperti hubungan Allah dan jemaat-Nya. Artinya, dengan menikah, orang Kristen dipanggil masuk ke dalam satu panggilan pelayanan khusus, yakni menyaksikan Kristus melalui wadah keluarga. Implikasinya adalah hubungan dan komunikasi suami istri menjadi wadah anak-anak belajar mengenal kasih Tuhan.

Di samping itu, keluarga juga menjadi tempat persiapan dan latihan anak-anak untuk menjadi suami atau istri dan menjadi orang tua. Selanjutnya, model itu akan terus terbawa ke dalam pola mereka mendidik anak-anak kelak. Pernikahan yang sehat dan berfungsi, pada umumnya, akan menghasilkan anak-anak yang sehat pula. Jadi, setiap mereka yang akan menikah dan menjadi orang tua perlu menyadari konsekuensi ini -- dipanggil menjadi reflektor kasih Allah bagi anak-anak. Dalam tulisannya, "Parenting: A Theological Model", Myron Charter [5] menjabarkan tujuh dimensi dari kasih Allah Bapa yang harus direfleksikan setiap orang tua, yakni: sikap yang penuh peduli, tanggung jawab, disiplin, murah hati, respek, pengenalan, dan pengampunan.

Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan bukanlah kebahagiaan seperti yang diangan-angankan banyak muda-mudi sebelum menikah, melainkan pertumbuhan. Kebahagiaan itu justru ditemukan di tengah-tengah perjalanan (proses) pernikahan yang dilandasi cinta kasih Kristus. Kalau tujuan kita menikah adalah bahagia, maka pasangan kita akan kita peralat demi mencapai kebahagiaan itu.[6] Itu sebabnya, orang yang menikah dengan tujuan bahagia justru menjadi yang paling tidak bahagia dalam pernikahannya. Bahkan, tujuan ini banyak mengakibatkan perceraian, dengan alasan ia tidak merasa bahagia dengan pasangannya.

Heuken [7] menyebutkan beberapa tujuan lain yang tidak kuat sebagai landasan untuk menikah. Pertama, demi keperluan psikologis, yakni supaya merasa tidak sendirian atau kesepian. Kedua, demi kebutuhan biologis, yakni agar dapat memuaskan nafsu seks secara wajar. Ketiga, demi rasa aman, yakni supaya memunyai status sosial dan dihargai masyarakat. Keempat, agar memunyai anak. Ini semua bukan merupakan alasan atau tujuan yang kuat mengapa seseorang menikah.

Dalam berumah tangga, kita akan mengalami begitu banyak keadaan dan situasi yang tidak diharapkan. Misalnya, pasangan Anda gagal dalam pekerjaan. Pasangan Anda menyeleweng. Pasangan Anda sakit atau cacat. Kondisi itu pasti tidak menyenangkan. Tetapi kalau Tuhan mengizinkan hal-hal tersebut terjadi, kita perlu belajar dari hal-hal tersebut. Lewat situasi dan keadaan itulah cinta kita diuji, apakah kita tetap berpegang teguh pada janji pernikahan kita dan setia kepada pasangan kita sampai kematian memisahkan. Untuk itu, mari kita pahami tujuan pernikahan Kristen yang akan menguatkan tiang pernikahan kita.

1. Pertumbuhan
Pertumbuhan yang diharapkan adalah agar suami istri dapat melayani Allah dan menjadi saluran berkat bagi sesamanya. Agar pernikahan itu bertumbuh, maka ada dua syarat yang harus dimiliki setiap pasangan.
Masing-masing sudah menerima pengampunan Kristus, sehingga mampu saling mengampuni selama berada dalam rumah tangga, yang masing-masing penghuninya bukanlah orang yang sempurna. Usaha diri sendiri pasti akan gagal.
Kemampuan beradaptasi, artinya masing-masing tidak memaksa atau menuntut pasangannya, sebaliknya mampu saling memahami dan memberi. Masing-masing menjalankan peran dengan baik, serta mampu menerima kelemahan dan kekurangan pasangannya.

2. Menciptakan Masyarakat Baru Milik Allah

John Stott mengatakan bahwa pernikahan dibentuk Allah dengan tujuan untuk menciptakan satu masyarakat baru milik Allah ("God's new society") -- satu masyarakat tebusan yang dapat menjadi berkat dan membawa kesejahteraan bagi sesamanya.[8] Wadah yang Allah pilih sebagai sarana menyejahterakan manusia tebusan-Nya di dunia ini adalah keluarga. Rencana ini telah Allah tetapkan jauh sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Untuk itu, Allah pertama-tama memilih keluarga Abraham, Ishak, Yakub, dan seterusnya sampai akhirnya dalam keluarga Yusuf dan Maria yang melahirkan Yesus. Demikianlah sampai hari ini, rencana Tuhan bagi setiap pasangan Kristen adalah agar pasangan itu menghasilkan anak-anak perjanjian (anak-anak Tuhan) yang memunyai tanggung jawab untuk merawat dan mengurus bumi ciptaan-Nya ini.[9] (Kejadian 1:26,28)

Di samping itu, melalui setiap keluarga, Allah menghendaki agar setiap suami istri melahirkan keturunan ilahi (anak-anak tebusan Kristus. Baca Maleakhi 2:14-15).[10] Karena itu, berdasarkan prinsip di atas, saya berkeyakinan bahwa setiap anak dalam pernikahan kami adalah anak-anak (karunia/titipan) Tuhan. Mereka bukan baru menjadi anak-anak Tuhan saat mereka dibaptis atau sesudah besar, tetapi sejak dalam kandungan mereka adalah benih ilahi yang Allah percayakan kepada keluarga kami.

Keyakinan ini sangat memengaruhi sikap kita dalam menghargai dan mendidik anak-anak. Juga akan membuat kita memprioritaskan keluarga dengan benar. Tujuan kita adalah mendidik mereka agar menjadi anak-anak Tuhan yang tidak hanya menaati bapak dan ibu mereka secara daging, tetapi juga taat kepada Bapa di surga. Kita juga sungguh-sungguh berusaha membangun kehidupan anak-anak kita, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Tetapi jika Tuhan mengizinkan keluarga kita tanpa seorang anak, rencana Tuhan pun tetap sama indahnya. Dia mempunyai rencana tersendiri bagi keluarga yang tidak dikaruniai anak. Keluarga yang demikian perlu bergumul, mencari tahu apa yang dapat diperbuat untuk menyenangkan hati Tuhan, meski belum ada buah hati. Jika ingin mengadopsi anak, sebaiknya berkonsultasi terlebih dulu dengan konselor.

Anak merupakan upah atau berkat Tuhan bagi keluarga yang dikenan-Nya untuk menerima berkat itu. Tidak memiliki anak bukan berarti dikutuk atau tidak mendapat berkat Allah. Suami istri yang tidak memiliki anak pun, tetap merupakan keluarga yang di dalamnya Allah memiliki rencana tersendiri.

[1] Balswick & Balswick. "The Family: A Christian Perspectiveon the Contemporary Home." Grand Rapids, Michigan: Baker Book House, 1991, p.23.
[2] Sproul, R.C., "Discovering the Intimate Marriage." Minnesota: Bethany Fellowship, Inc., 1975, p. 113-114.
[3] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani." Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF, 1984, hal. 368.
[4] Scheunemann, D., "Romantika Kehidupan Suami-Istri." Malang: YPPII, 1984.
[5] Charter, Myron. "Parenting: A Theological Model", Journal Psychology and Theology. Vol.6, No.1 (1977), p.54.
[6] Heuken, "Persiapan Perkawinan." Hal. 24-25.
[7] Heuken, "Persiapan Perkawinan." (Yogjakarta: Kanisius), hal. 18-19.
[8] Stott, John. "Isu-Isu Global: Menantang Kepemimpinan Kristiani." Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1984.
[9] Yakub, Susabda. "Pastoral Konseling" - jilid 2. (Malang: Gandum Mas)
[10] Bukan berarti tanpa anak, keluarga tidak lengkap. Pernikahan yang dimaksud di sini adalah suami dan istri.

Source : blog Altarfamily

Post a Comment

Previous Post Next Post