Dalam Kitab Suci, kita mengenal seorang tokoh besar yang hidup dalam keheningan, yaitu Nabi Elia. Ia adalah sosok seorang Nabi yang hidup di padang belantara dan menemukan Tuhan di situ… mempunyai pendirian tegas dan sangat setia melaksanakan panggilan hidupnya. Nabi Elia adalah sosok Nabi yang memiliki integritas diri dan dengan sepenuh hati memenuhi tugas yang diberikan Tuhan. Dengan kata lain, mengikuti panggilan Tuhan harus sungguh-sungguh dan penuh tanggungjawab. Kesungguhan itu dalam arti “menerima” atau “tidak sama sekali”. Inilah suatu kesungguhan yang penuh tanggungjawab. “Vivit Dominus in cuius conspectu sto” adalah moto hidup Elia yang artinya “Allah itu hidup dan aku berdiri di hadirat-Nya”. Karena semangat CSE adalah semangat Nabi Elia, maka cara hidup CSE memberikan banyak tempat dan watu untuk hidup dalam keheningan dan doa. Dengan demikian, warna hidup CSE adalah doa dan kontemplasi sebagai Komunitas Padang Gurun. Kita sendiri dapat membayangkan seseorang yang harus tinggal di Padang Gurun, pasti sepi. Namun kesepian ini akan hilang dengan sendirinya, kalau kalau kita selalu hidup di hadirat Allah.
Secara duniawi memang sepi, tetapi secara rohani Tuhan selalu mendampinginya. Hidup di hadirat Allah sebenarnya tidak pernah merasa sepi. Dengan kata lain, spiritualitas Nabi Elia tidak hanya menggema di setiap dada anggota CSE, tetapi juga mampu memberikan pelayanan untuk umat beriman secara umum.
Hidup doa bagi anggota CSE adalah “conditio sine qua non” atau seusatu yang menjadi keharusan. Hidup doa menjadi sangat penting, karena dengan doa, para anggota CSE selalu membangun relasi dengan Tuhan. Hidup doa oleh karenanya harus dijaga dan dipupuk terus. Para anggota CSE harus menggunakan waktu minimal 2 jam untuk doa hening atau meditasi. Hidup di padang gurun dalam sebuah gubuk sederhana yang tersembunyi menjadi sumber kesuburan hidup rohani bagi para komunitas CSE.
Melalui kurban, matiraga, dan penyangkalan diri, mereka mendoakan Gereja dan dunia yang membutuhkan keselamatan.
Kesan dan sharing Rm. John Kota Sando Pr ketika retret di Padang Gurun CSE pada tanggal 2 Nopember 2009 lalu dikatakan:” Aku bahagia tinggal di sini, karrena di sini (Padang Gurun) aku punya saudara-saudara konfrater yang sungguh mengasihi dan mendukung aku. Kehadiran mereka telah membuat hidup dan panggilanku semakin bernilai dan berarti. Di Padang Gurun ini aku sungguh mengalami bahwa mukjizat Tuhan itu nyata. Panggilanku yang sempat hilang, sekarang telah kutemukan kembali karena kasih dan penyelenggaraan Tuham semata-mata. Terimakasih untuk semuanya... kita maju terus...maju bersama satu dalam doa dan setia selamanya”. Kesetiaan dan ketekunan dalam doa tetap menjadi skala prioritas bagi komunitas ini dan menjadi “bahan bakar” untuk melayani sesama. “Ranting itu tidak akan menghasilkan buah dengan sendirinya, kalau tidak bersatu dengan pokoknya” (Yoh 15:5). Yesus saja telah memberikan keteladan-Nya untuk terus berkomunikasi dengan Bapa-Nya. Menuju persatuan cintakasih dengan Allah merupakan cita-cita dan tujuan hidup Komunitas CSE. Dengan jalan menyerupakan diri dengan Kristus dan membina relasi yang mesra dengan Kristus sampai penghayatan iman: ” Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah
mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku” (Gal.2:20) Lewat spiritualitas Karmel yang dipadukan dengan spiritualitas Pemabaharuan hidup dalam Roh, maka anggota CSE diantar untuk hidup
kontemplatif dalam bimbingan Roh Kudus serta terbuka untuk karunia-karunia dan karismakarisma.
Pelayanan Retret
Lembah Karmel atau pertapaan Santi Buana terkenal dengan dua jenis pelayanannya yang menonjol. Pertama adalah retret-retret yang diselenggarakan dan kedua adalah misa Penyembuhan yang diadakan di Lembah Karmel sendiri maupun di Jakarta atau tempat lain yang seringkali dipimpin langsung oleh romo Yohanes Indrakusuma O.Carm. Nampaknya, dua hal ini disadari atau tidak sangatlah dibutuhkan oleh komunitas beriman. Mengapa? Iman tentu selalu membutuhkan pembaruan dan penyegaran tiada henti.
CSE sungguh menyadari, bahwa kehadiran mereka haruslah menjadi oase rohani di tengah eksodus secara besar-besaran umat Katolik ke meditasi-meditasi non Kristen yang beraliran New Age dan sejenis dan denominasi Kristen lainnya. Mereka seolah merasa tak tersentuh akan kebutuhan yang sangat mendasar, sementara batinnya berteriak kehausan dan mencari pemuasan. CSE merasa terpanggil untuk melayani umat dalam bentuk retret maupun penyembuhan fisik dan rohani. Seperti halnya dalam sejarah Gereja, para Bapa Gereja selalu melihat adanya hubungan yang erat antara pewartaan dan karya penyembuhan. Santo Agustinus melihat Yesus sebagai dokter. Yesus tak hanya menyembuhkan fisik, tapi juga luka hati manusia karena dosa. Rm. Elisa Maria, CSE yang mengutip Martijin Schrama mengatakan, “sebaliknya, sampai pengalaman sekarang ini, pesan Kristiani mengaitkan antara pewartaan dan penyembuhan sebagian besar hilang. Padahal Christus Medicus memainkan heran besar dalam Bapa Gereja.” Romo Yohanes Indrakusuma, O.Carm mengatakan, “Karena itu dalam hidupnya CSE memberikan banyak tempat untuk keheningan dan doa, supaya setelah melayani banyak saudara, mereka sendiri tidak kehabisan stamina rohaninya.” Kini dalam usia yang semakin matang, CSE semakin menapakkan kakinya di Lembah Karmel dan semakin menatap ke depan. Sejarah pahit yang ditorehkan oleh orang-orang yang kurang suka dengan pelayanan yang dilakukan CSE seolah tak berbekas lagi. Bila romo Yohanes Indrakusuma O. Carm pada awalnya hanya ingin untuk hidup sebagai pertapa seorang diri pada tahun 1976 di Ngroto, Batu, Malang dan tak pernah bermimpi karyanya akan berbuah menjadi CSE, kini setelah 25 tahun semua terjadi atas “penyelenggaraan Ilahi.” Semua adalah karena karunia Roh Kudus yang pantas disyukuri dan dikembangkan. BSM: JS, pbrk.
bijisesawimedia.com
إرسال تعليق