St. Paul Miki SJ: Disalib Seperti Kristus
Paul Miki punya talenta berkhotbah luar biasa dalam mewartakan Injil di Jepang. Hingga ajalnya bersama 25 martir lainnya di kayu salib, ia masih lantang menyerukan Kabar Baik di tengah ganasnya para algojo.
Paul adalah anak dari pemimpin militer Jepang yang kaya, Miki Handayu. Ia dilahirkan di Tsunokuni, Jepang. Keluarganya menjadi pemeluk Katolik sejak Paul masih sangat muda. Sejak kecil, ia sudah menunjukkan talenta sebagai anak dengan tingkat religiositas yang tinggi. Pada usia lima tahun, ia menerima Sakramen Baptis.
Ayahnya menyerahkan pendidikan Paul pada Serikat Jesus. Di kota Azuchi dan Takatsuki, Paul menimba ilmu ketuhanan. Ia menjadi novis pada usia 22 tahun.
Pada masa itu, agama Kristen di Jepang menyebar seperti api. Itu terjadi setelah misionaris Fransiskus Xaverius memperkenalkannya pada rakyat Jepang yang sebelumnya banyak menganut agama Budha. Gereja menghitung, sekitar 200 ribu umat Katolik Jepang pada tahun 1580-an.
Di tengah situasi itu, Paul ditahbiskan sebagai imam Jesuit. Segera ia menjadi terkenal karena khotbah- khotbahnya yang menggugah. Banyak orang tertarik masuk Katolik karena khotbah-khotbahnya. Kepiawaiannya berkhotbah dilengkapi dengan pengetahuan agama Budha yang secara intensif ia pelajari, agar bisa beradu argumen dengan para pendeta Budha.
Masa Suram
Namun Daimyo Toyotomi Hideyoshi merasa terancam karena pengaruh Jesuit. Ia mulai menindas dan memerintahkan pemusnahan umat Katolik. Persisnya peristiwa itu terjadi tahun 1587.
Selama masa 1587-1596, umat Katolik beribadat secara sembunyi-sembunyi. Bisa dikatakan mereka menjadi umat Katolik ‘bawah tanah’. Masa itu menjadi masa suram bagi umat Katolik Jepang.
Saat itu, Pastor Paul Miki SJ tertangkap bersama 25 orang lainnya. Mereka terdiri dari beberapa imam Jesuit dan Fransiskan, bruder dan awam. Usia mereka rata-rata masih muda, bahkan ada yang berusia belasan tahun.
Di antara yang tertangkap tercatat nama Fransiskus, seorang tukang kayu yang ditahan ketika menyaksikan penyaliban. Malangnya, ia pun turut disalib. Ada juga Gabriel (19), putra seorang portir (pembawa barang). Lalu Leo Kinuya, tukang kayu berusia 28 tahun dari Miyako, dan Diego Kisai alias Kizayemon, seorang koadjutor dari Serikat Jesus. Tercatat juga nama Joachim Sakakibara, juru masak untuk Fransiskan di Osaka, dan Peter Sukejiro yang dikirimkan oleh seorang imam Jesuit untuk membantu mereka, tapi kemudian ikut ditahan. Selain itu, ada Cosmas Takeya dari Owari yang berkhotbah di Osaka, bersama Ventura dari Miyako yang dibaptis oleh imam Jesuit. Ventura ini berpaling dari kekatolikan karena kematian ayahnya, tapi kembali lagi menjadi Katolik karena Fransiskan.
Penyaliban
Mereka dipaksa berjalan sejauh 966 kilometer dari Kyoto ke Nagasaki. Seraya memanggul salib, mereka menyanyikan Te Deum. Leher mereka diikat cincin besi. Di samping masing-masing orang, berjalan algojo dengan lembing yang siap untuk ditikamkan. Seorang saksi mata memberikan kesaksian mengenai peristiwa itu: “Ketika salib-salib disiapkan, sangat indah menyaksikan betapa kokohnya iman mereka.”
Saat tiba di Nagasaki, kota dengan populasi Katolik terbesar di Jepang, mereka diizinkan untuk menerima Sakramen Tobat di biara. Setelah itu, tangan dan kaki mereka diikat di salib dengan tali dan rantai. Sebuah cincin besi diikatkan di sekitar leher mereka.
Salib-salib itu dibuat berjajar dengan jarak yang cukup. Paul Miki berdiri diantara mereka. Ia mengenakan jubah hitam sederhana. Kebanyakan orang melihatnya seperti mengenakan kostum samurai dengan dua pedang di sabuknya.
Pastor Pasio dan Rodriguez memberi semangat pada yang lain. Pastor Bursar berdiri tanpa bergerak, matanya memandang ke atas. Bruder Martin memanjatkan doa syukur dengan bermadah Mazmur. Berulang kali ia berseru: “Ke dalam tangan- mu ya Tuhan, aku serahkan jiwaku.” Bruder Francis Branco juga mengucap syukur dengan suara nyaring. Bruder Gonsalvo terus berdoa Bapa Kami dan alam Maria.
Paul Miki-lah yang pertama kali disalib. Dari atas kayu salib, ia masih sempat berkhotbah. Setelah berkhotbah, ia memandang ke arah teman-temannya dan mulai memberi semangat pada mereka. Wajah mereka bersinar. Seseorang berteriak bahwa Paul Miki pasti segera masuk surga. “Seperti Tuhanku, aku akan mati di atas kayu salib. Seperti Dia, sebuah tombak akan menikam jantungku hingga darah dan kasihku akan menyirami seluruh tanah ini dan menyucikannya atas nama Tuhan.”
Khotbah Terakhir
Khotbah terakhir Paul Miki sangat menggugah. Selain memaafkan para algojo, ia bersiteguh menyatakan sebagai orang Jepang dan anggota SJ. “Satu-satunya alasan aku dibunuh ialah karena aku mewartakan ajaran Kristus. Aku bersyukur pada Tuhan karena alasan itulah aku mati. Aku yakin, diriku memberitakan kebenaran sebelum mati. Aku tahu, kalian percaya padaku. Ingin kukatakan sekali lagi pada kalian semua: ‘Mohonlah pada Kristus agar kalian bahagia’. Aku mematuhi Kristus, mengikuti teladan- Nya, dan mengampuni para algojo yang membunuhku. Aku tidak membenci mereka, dan mohon agar Tuhan memaafkan mereka. Aku berharap, darahku akan jatuh untuk teman- temanku laksana hujan yang berlimpah,” serunya lantang.
Lalu Paul Miki memandang rekan-rekannya dan menyemangati mereka. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka, terutama Louis. Ketika seorang umat berteriak bahwa ia akan segera masuk surga, tangan dan tubuhnya menegang. Wajahnya memancarkan kebahagiaan yang membuat semua orang terpaku memandangnya.
Paul Miki pun menambahkan, “Hingga kini, aku yakin tak seorangpun di antara kalian yang berpikir bahwa aku akan menyembunyikan kebenaran ini. Itulah sebabnya kunyatakan pada kalian: ‘Tak ada jalan keselamatan, selain jalan keselamatan yang diikuti orang Kristen’. Jalan ini mengajarkanku untuk mengampuni musuh dan semua yang membenciku. Aku pun memaafkan Kaisar dan semua pihak yang ingin membunuhku. Aku berdoa agar mereka dibaptis.”
Anthony yang tergantung di samping Louis memandang ke atas dan menyerukan beberapa nama orang kudus, serta menyanyikan Mazmur. Yang lain terus mengucapkan Yesus dan Maria. Wajah mereka sudah siap untuk mati sahid.
Menurut tradisi Jepang, para algojo mulai menghunus tombak mereka. Pada saat itu, semua orang yang menyaksikan menyerukan nama Yesus dan Maria. Segera badai isak tangis bergema saat itu. Para algojo membantai 26 orang itu, satu demi satu dalam hitungan detik.
Menjadi Orang Kudus
Di Gunung Suci, sebuah daerah pegunungan di Nagasaki, para martir itu beristirahat dalam kedamaian abadi. Tragedi pembantaian 26 martir beberapa abad silam tetap membekas bagi umat Katolik Jepang.
Paul Miki dan para martir itu digelari Beato pada 14 September 1627 oleh Paus Urbanus VIII. Lalu pada 8 Juni 1862, Paus Pius IX menggelari mereka Santo. Gereja merayakan pestanya tiap 6 Februari.
Sylvia Marsidi - HidupKatolik.com
--Deo Gratias--
إرسال تعليق