"Ya Bapa ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaKu." (Luk. 23:46)



"Ya Bapa ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaKu." (Luk. 23:46)



Sabda Ketujuh ini bisa kita maknai setelah kita memahami Sabda-Sabda Akhir Yesus yang sebelumnya. Bila kita lihat Sanda pertama ditujukan pada BapaNya di Surga: Yesus berkata: "Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Luk. 23:34) maka Sabda yang terakhir ini Ia tujukan kembali pada BapaNya di Surga: "Ya Bapa ke dalam tanganMu kuserahkan nyawaKu." (Luk. 23:46)

Tomothy Radcliffe dalam tulisannya, "Seven Last Words" mengatakan, bahwa dalam ketujuh Sabda akhir Yesus ini terjadi peningkatan keintiman. Evolusi keintiman ini bisa dimaknai ketika kita melihatNya sebagai Raja, sebagai Saudara, sebagai seorang Pengemis, dan kini kita menyaksikan Ia memasrahkan nyawaNya pada BapaNya. Ia hadir dalam diri kita sebagai Raja ketika Ia dipermuliakan oleh pencuri yang baik hati yang bermohonkan: "Yesus, ingatlah akan aku, apabila Engkau datang sebagai Raja."

Ia datang sebagai Saudara ketika Ia menjadi yang Sulung diantara kita ketika Ia memberikan ibuNya pada kita dari atas salib: "Women, behold your son. Behold your mother." Dan Ia hadir sebagai pengemis ketika Ia bersabda: "Aku haus." Ia mengemis cinta kasih pada kita ketika Ia bersimbah darah memohonkan hal itu. Ia haus akan kembalinya kita padaNya. Kini di Sabda terakhir yang ketujuh Ia memasrahkan nyawaNya pada BapaNya, setelah Ia selesai menjalankan semua misi perutusan bapaNya.

Sabda ketujuh ini musti kita maknai dengan baik dengan cara kita memasrahkan seluruh diri kita dan apa yang kita miliki pada Bapa di Surga, sehingga kita tak kehilangan orientasi hidup. Apapun situasinya, sulit atau senang, dibawah atau diatas, miskin atau kaya, lapar atau kenyang.

Fulton Sheen dalam tulisnnya, "Seven Capital Sins" mengatakan, bahwa Sabda ketujuh ini adalah pemulihan terhadap segala kelekatan duniawi kita. Kita diajarkan untuk tidak menjadi khawatir akan hidup kita di dunia ini, Karena kekhawatiran dan ketakutan akan membuat diri kita menjadi selfish dan akan semakin menjauhkan diri kita padaNya. Ingatlah kembali akan apa yang disabdakanNya di bukit: "Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah." (Mat.5:6 - 9)

Tak satu patah katapun Yesus mengatakan berbahagialah engkau yang memiliki banyak harta. Kita tidak dididik untuk cinta uang. Kita dididik agar menjadi Anak Allah yang murah hati dan murni. Disitulah letak kebahagiaan yang sesungguhnya. Di hati. Bukan pada uang, kekuasan, kepuasan duniawi, ataupun berhala. Semua ini akan berlalu, hanya SabdaNya yang tak berlalu. Ia kini mensabdakan pada kita untuk mau memasrahkan segala apa yang kita miliki pada bapa di Surga agar kita beroleh kerselamatan abadi.

Hanya Allah saja yang baik. Itulah yang Ia sabdakan pada pemuda kaya yang memiliki kedudukan penting dalam pelayanan waktu itu. Namun, ia menjadikan Yesus sedih ketika ia diminta menjual segala harta yang menjadi berhalanya, dan memberikan pada orang miskin lantas ikut Yesus. Yesus menunggunya, namun orang muda kaya itu sedih mendengar kata-kata Yesus, sebab banyaklah hartanya. Yesus mengetahui apa yang dipikirkan oleh pemuda itu dan sesungguhnya Yesus ingin menolongnya dengan menukar harta duniawi dengan harta Surgawi yang akan membawanya pada keselamatan. Namun sungguh patut disayangkan, hati pemuda kaya itu lebih terpaut pada harta yang bisa berlalu dari pada Sang Sabda yang berdiri di depannya dengan penuh harap dan kasih.

Akankah kita meniru sifat dan sikap tragis pemuda kaya terpandang, namun tak menempatkan Allah pada prioritas utama dalam hidup? Sabda Akhir Yesus yang ketujuh ini sekali lagi mengingatkan kita untuk berani menyerahkan segala apa yang kita miliki pada BapaNya, termasuk nyawa kita sendiri, agar kita selamat dan mendapat kebahagiaan yang kekal dan abadi. Amin?

Renungan Jelang Paskah 22

Sabda Ketujuh

Source : FB  Paulus Budiraharjo

Post a Comment

Previous Post Next Post