Yang Tersisa dari PENYALIBAN YESUS:
Jeritan hati seorang ibu Maria:
"TIDAK ADAKAH SEORANG PUN YANG MAU
MELEPASKAN PUTRAKU DARI TIANG GANTUNGAN
ITU?"
Pengantar:
Dunia dibuat terheran-heran bahkan kagum ketika orang tua korban melepaskan pembunuh anak mereka dari tiang gantungan di Iran.
Balal yang hidupnya akan berakhir di tiang gantungan akibat membunuh Abdollah Hosseinzadeh akhirnya terbebas dari hukuman mati seperti dilaporkan dalam berita-berita koran dan televisi di seluruh dunia sebagai berikut:
"Namun, yang terjadi kemudian amat jarang. Ibu korban tiba-tiba menghampirinya, menampar pipinya keras-keras, tapi memaafkan orang yang telah membunuh anaknya itu. Sementara, ayah korban melepas jerat yang melilit lehernya. Nyawa Balal tak jadi melayang. Bahkan dilaporkan bahwa sang ibu korban dan ibu pembunuh saling berpelukan dan menangis.
ADAKAH YANG MERASAKAN KESEDIHAN IBU MARIA?
Setelah membaca kisah heroik di atas, tiba-tiba hatiku terasa sedih mengenang kisah Yesus 2000 tahun lalu ketika tidak ada seorang ibu pun yang merasakan kesedihan seorang ibu yang lain, yang namanya Maria, yang anaknya akan digantung setelah mengalami siksa yang dasyat; tidak ada seorang ayahpun yang berani menerobos kumpulan serdadu Romawi untuk melepaskan anak Maria dari tiang gantungan. Justru sikap sebaliknya yang ditunjukkan oleh para ibu dan bapak yang hadir pada saat itu dengan teriakan mereka yang memekakan telinga, merobek hati ibu Maria; "SALIBKANLAH DIA...SALIBKANLAH DIA...SALIBKANLAH DIA!" Ya, tidak ada seorang ibu atau bapa pun yang berani melepaskan anakku dari tiang gantungan itu, demikian keluh ibu Maria.
Maria yang mendengar teriakan penuh kebencian itu tak pernah melawan dan menyahut; "Apa salah anakku padamu?" Bukankah ketika anakmu sakit bahkan telah meninggal, anakku datang dan menyembuhkan bahkan menghidupkan mereka? Bukankah ketika anakmu mengalami kebutaan, anakku datang dan membuatnya melihat? Bukankah ketika anakmu tidak dapat berjalan, anakku datang dan membuatnya berjalan? Bukankah ketika ana-anakmu menderita kusta, anakku datang dan mentahirkan mereka? Bukankah....bukankah...dan
Maria, kemudian dalam kehancuran rasa sebagai seorang ibu, yang menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana putra kesayangannya disiksa, dipaku dan disalibkan terdiam di jalan derita yang sementara dilalui oleh Sang Anak.
KUTERIMA DALAM HATI KEIBUANKU YANG HANCUR LEBUR
Baiklah sejenak kita melepaskan pikiran kita dari cara mendekati Maria sebagai ibu Tuhan, yang mampu menghadapi semua derita yang ditanggungnya, tapi mencoba untuk memahami Maria sebagai seorang ibu biasa, yang mempunyai rasa dan hati seperti ibu-ibu yang lain di sekitar kita.
Anda bisa mengatakan kepadaku bagaimana reaksi dan rasa seorang ibu ketika anaknya dipukul, dilukai bahkan dibunuh oleh orang lain? Atau para ibu sendiri, katakanlah kepadaku apa yang Anda rasakan ketika anak-anak yang lahir dari rahimmu mengalami nasib naas ketika ditabrak mobil, ketika Anda melihat darah yang berlumuran pada tubuh anakmu, dan ketika Anda mendekatinya ternyata anakmu sudah tak bernyawa lagi. Bukankah rasamu sebagai seorang ibu hancur berkeping-keping jadinya?
Lalu, apa yang Anda pikirkan tentang Maria sebagai seorang ibu biasa yang melihat tendangan kaki dan sepatu para serdadu Romawi pada tubuh Yesus anaknya? Ketika cambuk mereka mendarat melukai tubuh Yesus? Ketika paku-paku tertancap pada kaki dan tangan Yesus? Ketika tombak serdadu menikam menembus lambung Yesus, dan keluarlah air dan darah? Ketika sang ibu mendengar teriakan sang Putra; "Selesailah sudah!" Ketika Tubuh terkulai sang Putra terbaring kaku di atas pangkuan ibu-Nya Maria?
Kuyakin engkau bahwa Maria sebagai seorang ibu pasti tidak mengerti semua yang terjadi pada Putra kesayangannya, tapi ia terima semuanya sama seperti ia tak pernah pahami akan kehamilannya dulu tanpa campur tangan seorang laki-laki. Derita Sang Putra meluka hati keibuannya, namun ia ingat akan nubuatan nabi Simeon bahwa "sebuah pedang akan menembus jiwamu," karena anakmu ditentukan untuk membangkitkan atau menjatuhkan agar semua hati menyadari akan rencana keselamatan Allah bagi mereka.
SELALU KUNANTIKAN ANAKKU HIDUP KEMBALI
Sekali lagi sebagai seorang ibu biasa, Maria tentunya tidak mengerti dan memahami tuntas akan rencana Allah atas putranya. Maria sebagai seorang wanita Yahudi hanya percaya bahwa kematian adalah batas hidup seorang anak manusia, dan nasib yang sama pasti dialami oleh Putranya Yesus.
Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam sebagaia seorang ibu, Maria pasti berharap bahwa bila "ia telah hamil tanpa campur tangan seorang laki-laki; bila air telah berubah menjadi anggur pada pesta di Kana; kalau Bartimeus yang buta bisa melihat; bila Lazarus yang telah mati dapat dibangkitkan kembali..." Lalu, apa yang mustahil ketika aku percaya bahwa anakku Yesus akan hidup kembali? Aku hanya berharap dan percaya bahwa tidak ada yang mustahil bila Allahku menghendakinya, demikian kata ibu Maria di dalam hatinya.
Penutup
Marilah kita menempatkan diri pada saat-saat di mana Maria sebagai seorang ibu yang diliputi kesedihan akan kematian anaknya, namun berharap dalam imannya bahwa anaknya akan hidup kembali. Kita berdoa dan memohon kepada Allah seperti ibu Maria dulu agar malam ini Allah membangkitkan dan mengembalikan seorang anak kepada ibunya; mengembalikan Yesus anak Maria kepadanya.
Selamat Menyongsong Pesta Kebangkitan Tuhan Yesus.
Salam dan doa dari seorang sahabat di Keningau, Sabah - Malaysia kepada para sahabatnya di mana pun Anda berada,
***Rinnong - Duc in Altum***
Source : Inno Ngutra
Post a Comment