Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 3)
Pendahuluan:
Tulisan ini adalah bagian ke 3 dari topik “Apakah berdoa itu percuma?” (Silakan melihat juga bagian 1, bagian 2, bagian 3, bagian 4) Kesalahan doa yang ketiga adalah memaksakan kehendak kita kepada Tuhan sampai ingin mengubah Tuhan untuk mengikuti keinginan kita. Pendapat ini keliru, karena Tuhan adalah Maha tahu dan Maha sempurna, sehingga Tuhan tidak dapat berubah.Mengapa kita berdoa?
Doa sudah menjadi bagian hakiki dari kehidupan semua orang dari semua agama, karena manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengetahui dan mengasihi Penciptanya.[1] Dalam tulisan pertama telah dibahas kesalahan persepsi doa, yaitu: Tuhan tidak campur tangan dalam kejadiaan di dunia ini. Dalam tulisan ke-2, kita telah melihat kesalahan pendapat yang mengatakan semuanya sudah diatur dan ditakdirkan oleh Tuhan, sehingga tidak perlu lagi berdoa. Dengan pembuktian yang sama dari St. Thomas Aquinas, kita akan menelusuri kesalahan persepsi kita tentang doa yang ke-3.[2]Kesalahan 3: Berdoa dapat mengubah keputusan Tuhan dan Alkitab sendiri mengajarkan bahwa doa manusia dapat merubah keputusan Tuhan.
Dalam hidup sehari-hari, kita sering mendengar pendapat bahwa berdoa sangatlah penting, karena kita dapat memenangkan hati Tuhan dan mengubah keputusan-Nya. Kita harus berdoa dengan sungguh-sungguh, sehingga Tuhan berbelas kasih kepada kita dan kemudian mengubah keputusan-Nya sesuai dengan kemauan kita. Bahkan jika kita berdoa dalam nama Yesus, apa yang kita minta pasti akan dikabulkan.Perjanjian Lama mencatat cerita tentang nabi Nuh, di mana Tuhan menyesal bahwa Dia telah menciptakan manusia (Kej 6:5-6). Lalu Abraham, berdoa bagi orang-orang di Sodom dan Gomorah, seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan (Kej 18:23-33). Musa berdoa dengan sungguh-sungguh bagi kaum Israel, sehingga kemarahan Tuhan tidak terjadi (Kel 32:7-14). Bukankah semua itu adalah tanda bahwa keputusan Tuhan dapat berubah?
Di Perjanjian Baru, Yesus sendiri mengatakan, “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan” (Mat 7:7-8). Kemudian, Yesus juga mengatakan bahwa apa saja yang kita minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, maka kita akan menerimanya (lih. Mat 21:22). Dan kembali Yesus menegaskan “apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu” (Mar 11:24). Ayat- ayat ini sepertinya mengatakan bahwa Yesus akan mengabulkan doa kita sesuai dengan permintaan kita.
Tuhan tidak berubah
Mari kita meneliti lebih jauh tentang pendapat ini. Pertama, apakah benar bahwa kita dapat mengubah keputusan Tuhan? Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah Maha Tahu, Maha Sempurna, maka konsekuensi logis dari pernyataan ini adalah “Tuhan tidak mungkin berubah“. Berubah adalah suatu pernyataan yamg mempunyai implikasi perubahan dari sesuatu yang kurang baik menjadi lebih baik atau sebaliknya. Padahal di dalam Tuhan tidak ada perubahan (lihat artikel: Bagaimana Membuktikan Bahwa Tuhan Itu Ada?). Karena Tuhan Maha Tahu dan Maha Sempurna, maka sebelum dunia ini diciptakan Dia telah mengetahui secara persis apa yang terjadi, juga keinginan dan permohonan doa kita. Dan di dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya, Dia tahu secara persis apa yang terbaik buat kita. Jadi kalau kita mengatakan Tuhan dapat berubah karena doa kita, maka sebetulnya kita membuat kontradiksi tentang hakekat Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Sempurna, seolah-olah kita “lebih tahu” apa yang terbaik buat kita daripada Tuhan. Hal ini tentu tidak mungkin.Pengajaran bahwa “Tuhan tidak mungkin berubah dalam hal pengabulan doa” ini termasuk sulit diterima, karena sering tanpa sengaja kita berpikir bahwa proses pengabulan doa oleh Tuhan itu adalah proses yang linier. Kita memohon tentang hal A, lalu Tuhan dapat mengabulkan atau tidak, yang baru Tuhan putuskan pada saat/ setelah kita memohon. Padahal tidaklah demikian. Tuhan sudah terlebih dahulu mengetahui segala kemungkinan yang akan terjadi, sebagai hasil dari pilihan kehendak bebas kita, pada saat awal mula dunia. Pada saat kita memohon A, Dia sudah mengetahui bahwa Ia akan menjawab dengan B, atau kalau kita memutuskan untuk tidak berdoa, dan berbuat X, Dia sudah tahu akan memberi Y. Dalam hal ini, B selalu lebih baik daripada A, dan Y adalah konsekuensi dari X. Nah, kalau kita bertanya akankah B diberikan kalau kita tidak berdoa, jawabnya adalah tidak (yang diberi adalah Y). Makanya kita perlu berdoa. Dalam hal ini Tuhan tidak berubah, karena dengan sifatNya yang Maha Tahu, Tuhan telah mengetahui segalanya. Nothing takes God by surprise. Tidak ada sesuatu hal yang mengejutkan Tuhan, sehingga Ia perlu berubah. Ia sudah mengetahui segalanya dan segala sesuatu telah direncanakan-Nya dengan sempurna.
Sekarang kita melihat contoh kejadian di Perjanjian Lama. Perkataan “Tuhan menyesal” dalam kisah nabi Nuh adalah suatu perkataan yang mencoba mengekpresikan Tuhan dari sisi manusia. Tuhan tidak berubah dan menyesal, karena Dia adalah Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Bijaksana. Semua keputusan-Nya berdasarkan kebijaksanaan dan Kasih-Nya untuk keselamatan umat manusia.
Bagaimana dengan Abraham dan Musa yang seolah-olah bernegosiasi dengan Tuhan? Dalam hal ini, kita harus memegang teguh prinsip bahwa Tuhan tidak mungkin berubah, yang artinya tidak memungkinkan adanya negosiasi. Abraham dan Musa adalah merupakan gambaran/prefigurement dari diri Yesus. Kita juga melihat bagaimana Kitab Suci menggambarkan kedekatan mereka dengan Tuhan. Mereka tidak memikirkan kepentingan pribadi. Dalam pemikiran Abraham dan Musa, membantu manusia menuju Tanah Terjanji dan memberikan kemuliaan kepada Tuhan adalah yang paling penting dalam hidup mereka. Dan ini adalah sama dengan pemikiran Tuhan. Ini hanya mungkin dicapai pada orang-orang dengan derajat kasih yang begitu tinggi (dalam kadar “heroic love“).[3] Jadi terkabulnya doa bukan berarti mereka dapat mengubah keputusan Tuhan, namun karena 1) mereka diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam karya keselamatan, yang pada akhirnya dipenuhi secara sempurna dalam diri Yesus Kristus (KGK, 2574), 2) kedekatan mereka dengan Tuhan, sehingga apa yang mereka pikirkan dan doakan adalah sesuai dengan keinginan Tuhan (KGK, 2577).
Tuhan mengubah kita melalui doa.
Memang keputusan Tuhan tidak dapat berubah, karena Dia Maha Tahu dan Maha Sempurna. Namun Tuhan menginginkan kita mengikuti jejak Abraham dan Musa, agar kita turut berpartisipasi dalam pekerjaan Tuhan, salah satunya yaitu dengan berdoa. Jadi, kita berdoa bukan untuk mengubah keputusan Tuhan – karena itu tidak mungkin – namun mempersiapkan sikap hati kita untuk menerima apa yang kita minta dalam doa ((St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2 – St. Thomas mengutip St. Gregory “By asking, men may deserve to receive that almighty God from all eternity is disposed to give.”)) atau mengubah sikap hati kita jika doa kita tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Di dalam kebijaksanaan dan kasihNya, Tuhan telah melihat bahwa kita akan menerima suatu jawaban doa lewat doa-doa yang kita panjatkan. Jadi di dalam kasus Abraham dan Musa, sebelum terbentuknya dunia ini, Tuhan sudah melihat bahwa Abraham dan Musa akan berpartisipasi dalam karya keselamatan bangsa Israel, dan doa mereka dikabulkan oleh-Nya lewat doa-doa mereka yang mengalir dari kasih.Hal lain yang penting adalah, dengan bertekun dalam doa, kita tidak mengubah Tuhan, namun kita diubah oleh Tuhan. Kita melihat contoh dari Rasul Paulus, ketika dia berdoa agar Tuhan “mengambil duri di dalam dagingnya”[4] , namun doanya tidak dijawab Tuhan menurut kehendak St. Paulus (2 Kor 12:7-10). Namun dengan kejadian ini, Rasul Paulus mendapatkan sesuatu yang lebih baik, bahwa dia menjadi rendah hati dan tidak bermegah dengan berkat-berkat yang sudah diberikan Tuhan kepadanya. Bahkan Rasul Paulus dapat menerima dengan senang dan rela menghadapi segala kesulitan, siksaan, tantangan untuk kemuliaan nama Tuhan. Dari sini, kita melihat Rasul Paulus diubah oleh Tuhan, untuk menerima kehendakNya seperti yang difirmankan-Nya,”… sebab dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2 Kor 12:9).
Tapi Yesus menyuruh untuk meminta, mencari, mengetok, dan apa saja yang kamu minta akan diberikan.
Mari sekarang kita menelaah perkataan Yesus dalam Mat 21:22 dan Mar 11:24. Yesus mengatakan bahwa kalau kita mendoakan dengan penuh kepercayaan bahwa kita telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepada kita. Kalau kita membaca dengan seksama, kita harus melihat bahwa kunci dari ayat ini adalah “iman” (Mat 21:21; Mar 11:22). Iman yang ditekankan di sini adalah iman yang hidup. Iman yang bukan cuma slogan, hanya dimulut, namun tanpa perbuatan (Yak 2:26). Iman seperti ini adalah iman dan percaya yang dicontohkan oleh Abraham dan Musa. Iman yang menempatkan kebenaran Tuhan lebih tinggi daripada kepentingan sendiri (KGK, 150). Iman seperti inilah yang membuat doa menjadi selaras dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan oleh Tuhan. Dengan kata lain, karena sesuai dengan kehendak Tuhan, maka doa yang mengalir dari iman seperti ini akan dikabulkan oleh Tuhan. Iman seperti ini hanya meminta sesuatu yang berguna untuk keselamatan kekal, permohonan yang baik untuk menuju ke kehidupan kekal. Ini juga bisa berarti sesuatu yang sifatnya sementara sejauh ini mendukung kita menuju tujuan akhir.Namun bukankah Yesus sendiri juga mengatakan bahwa setiap orang yang meminta, mencari, dan mengetok akan dipenuhi permintaannya? (Mat 7:7-8). Ayat inilah yang sering dipakai untuk menekankan bahwa doa yang sungguh-sungguh dan terus-menerus dapat mengubah keputusan Tuhan. Namun, apakah kalau doa tidak sesuai dengan kehendak Tuhan maka akan dikabulkan? Bagaimana kita tahu bahwa doa kita sesuai dengan kehendak Tuhan? Kalau kita perhatikan, Yesus tidak berkata kalau kamu minta A, maka kamu akan mendapatkan A. Berdasarkan kasih dan kebijaksanaan-Nya, kadangkala Tuhan memberikan sesuatu yang sama sekali lain dari yang kita minta. Dia tahu yang terbaik buat kita melebihi pengetahuan dan kasih kita akan diri kita sendiri. Jadi, kalau dalam beberapa hal Tuhan tidak mengabulkan doa kita, hal ini disebabkan karena Tuhan mengasihi kita. (pembahasan lengkap tentang ayat ini dapat dilihat di: Apakah Berdoa itu Percuma – bagian 4).
Kita sering melihat atau mendengar cerita bahwa suatu keluarga berdoa sungguh-sungguh untuk kesembuhan anggota keluarga mereka, namun yang terjadi adalah bertolak belakang dengan apa yang diminta dalam doa. Masih teringat di hati umat Katolik seluruh dunia, ketika Paus Yohanes Paulus II terbaring sakit menjelang ajalnya dan semua orang mendoakan Paus yang kita kasihi. Namun doa seluruh umat beriman tidak mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ribuan atau jutaan perayaan ekaristi dirayakan dengan intensi doa untuk kesembuhan Paus, namun tidak dapat mengubah keputusan Tuhan. Mungkin ratusan juta umat Katolik – termasuk dari umat Katolik yang benar-benar hidup kudus – berdoa secara pribadi untuk kesembuhan Paus, namun Paus tetap dipanggil Tuhan.Tuhan, di dalam kebijaksanaan-Nya tetap memanggil hamba-Nya yang setia. Bukan karena Dia tidak mendengar doa kita, tapi karena Dia tahu yang paling baik untuk kita dan juga untuk Gereja-Nya.
Namun melalui peristiwa tersebut, begitu banyak orang di dunia ini, termasuk yang tidak mengenal Kristus, yang tidak percaya akan Gereja Katolik sebagai Gereja Kristus, anak-anak muda yang tadinya suam-suam kuku terhadap iman Katolik mereka, tergugah oleh kejadian tersebut. Dan misa pemakamannya menjadi acara pemakaman paling besar dalam sejarah umat manusia. Paus Yohanes Paulus II dalam kematiannya melakukan karya pewartaan yang menjangkau banyak orang, mungkin lebih banyak daripada semasa dia hidup. Dan nama Tuhan dipermuliakan. Dari contoh tersebut, bukan kita yang mengubah Tuhan melalui doa kita, namun kita yang diubah oleh Tuhan untuk kebaikan kita.
Kalaupun doa kita dikabulkan, bukan berarti bahwa kita berhasil untuk mengubah Tuhan, namun sebelum terjadinya dunia ini, dalam kebijaksanaan-Nya dan kasih-Nya, Tuhan sudah melihat adalah baik untuk keselamatan kita dan orang-orang di sekitar kita untuk mengabulkan doa kita. Jadi, janganlah beranggapan bahwa jika ada doa dikabulkan itu disebabkan karena ‘melulu’ permohonan kita. Sebab sesungguhNya pengabulan doa adalah sepenuhnya kehendak Tuhan. Dengan demikian, tidak ada yang dapat dibanggakan dari diri kita. Kita ‘hanya’ patut bersyukur bahwa Tuhan memberi kesempatan pada kita untuk turut mendatangkan kebaikan kepada kita dan sesama melalui doa-doa kita. Maka sikap yang terbaik adalah seperti Bunda Maria, “Terjadilah padaku seturut perkataanMu, ya Tuhan” (Luk 1:38). Mari di dalam keterbatasan kita, kita percayakan doa-doa kita kepada Tuhan dan meyakini bahwa Tuhan lebih bijaksana untuk memutuskan apakah doa kita baik untuk keselamatan jiwa kita. Mari kita juga berpartisipasi dalam karya keselamatan Tuhan melalui doa dan perbuatan yang mengalir dari kasih kita kepada Tuhan, untuk mendatangkan kebaikan buat diri kita dan semua orang.
Marilah kita berdoa.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.
Ya, Tuhan, kembali aku menghadap-Mu, mengakui bahwa Engkau Maha Tahu dan Maha Sempurna. Dalam keterbatasanku, berilah aku kepercayaan kepada-Mu, bahwa segala yang Engkau putuskan adalah demi kebaikanku. Jangan biarkan aku memaksakan kehendakku, ya Bapa, melainkan biarlah kehendak-Mu saja yang terjadi dalam kehidupanku sebab aku percaya, itulah yang terbaik bagiku. Dalam nama Yesus, aku naikkan doa ini.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.
CATATAN KAKI:
- 31, 356, 1721, 2002. [↩]
- St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.2. [↩]
- Reginald Garrigou-Lagrange, Christian Perfection and Contemplation: According to St. Thomas Aquinas and St. John of the Cross (Tan Books & Publishers, 2004), p.147 Lagrange membagi derajat kasih menjadi tiga, dimana terdiri dari: 1) Pemula (beginners) adalah mereka yang usahanya berfokus pada perjuangan untuk melawan dosa, 2) tahap pencerahan (Illuminative way), dimana mereka membuat kemajuan di dalam kebajikan dalam terang iman dan kontemplasi. 3) Tahap sempurna (unitive way/ heroic love), dimana mereka hidup dengan persatuan kasih yang begitu erat dengan Tuhan. [↩]
- Orchard, A Catholic Commentary on Holy Scripture (Thomas Nelson & Sons, 1953), p.1110. Dijelaskan bahwa duri di dalam daging dapat berarti tubuh atau juga pikiran, yang menjadi bagian dari manusia. Pengarang disini mencoba membuka arti yang luas dari duri di dalam daging, baik tubuh secara jasmani, atau juga dapat berarti keinginan untuk berbuat dosa (concupiscence). [↩]
Source : katolisitas.org
Post a Comment