Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 4 – Selesai)

 doa-4

Apakah Berdoa itu Percuma (bagian 4 – Selesai) 

Kesalahan persepsi doa menurut St. Thomas Aquinas

Dalam tiga tulisan sebelumnya, telah dibahas tentang tiga kesalahan persepsi tentang doa yang sering kita jumpai sehari-hari bagian 1, bagian 2, bagian 3), baik yang kita lakukan sendiri maupun oleh teman-teman kita. Kalau kita lihat, tiga kesalahan persepsi yang diajukan oleh St. Thomas, mungkin telah mencakup semua kesalahan persepsi tentang doa. St. Thomas membaginya menjadi tiga bagian, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
  • Tuhan dianggap netral: seolah-olah Dia hanya berpangku tangan saja, baik kejadian yang menyenangkan atau yang menyedihkan. Seolah-olah Tuhan hanya sebagai penonton.
  • Tuhan dianggap negatif: seolah-olah Tuhan sudah menentukan semuanya, di mana lebih kepada pengertian yang negatif, sehingga doa juga percuma, karena semuanya sudah ditakdirkan.
  • Tuhan dianggap positif: seolah-olah kasih Tuhan diukur sampai seberapa jauh Tuhan memenuhi permintaan doa kita, sampai pada titik bahwa doa kita dapat mengubah keputusan Tuhan.
Untuk menghindari kesalahan-kesalahan di atas, kita harus dapat menangkap hakekat dari doa itu sendiri. Dalam tulisan ini akan diuraikan definisi doa menurut St. Teresia kanak-kanak Yesus.

Definisi Doa menurut St. Teresia yang dikutip oleh Katekismus Gereja Katolik.

Katekismus Gereja Katolik 2558-2559, mengutip St. Teresia kanak-kanak Yesus, mengatakan “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan“. Definisi ini terlihat sederhana, namun mencakup banyak hal. Mari kita lihat satu persatu.

Doa harus melibatkan hati

Dalam doa, akal budi (reason or intellect) dan keinginan hati (the will) harus bekerjasama untuk menerima dan mengalami kehadiran Tuhan.[1] Kita mencoba menggunakan akal budi kita untuk berfikir tentang Tuhan dan dengan keinginan hati, kita mau untuk mengalami kehadiran Tuhan. Sebagai contoh, kita harus terlebih dahulu mengetahui tentang hukum Tuhan dan pelanggaran kita terhadap Tuhan, sebelum kita dapat mengalami pertobatan. Tidak mungkin kita mengalami pertobatan tanpa terlebih dahulu tahu bahwa apa yang kita lakukan adalah salah di mata Tuhan. Namun sebaliknya, hanya berfikir tentang Tuhan tidaklah cukup, namun kita harus memberikan hati kita kepada Tuhan di dalam doa.[2] Kalau mau dikatakan, setanpun berfikir tentang Tuhan. Mereka punya pengetahuan tentang Tuhan dalam derajat tertentu, namun mereka tidak memberikan hati mereka kepada Tuhan. Katekismus Gereja Katolik menegaskan, memang benar bahwa keseluruhan diri manusia yang berdoa, namun terlebih lagi adalah hati yang berdoa. (KGK, 2562) Sehingga dapat dikatakan bahwa jika hati kita jauh dari Tuhan, maka kata-kata di dalam doa adalah percuma. Disinilah perkataan St. Teresia menjadi begitu nyata dan benar: doa adalah ayunan hati.

Tuhan adalah penggerak utama dalam doa.

Kalau bagi St. Teresia doa adalah “ayunan hati“, maka yang mengayun hati adalah Tuhan. Karena Tuhan sendiri yang menanti kita di dalam doa. Dikatakan bahwa manusia mencari Tuhan, namun Tuhan yang memanggil manusia terlebih dahulu (KGK, 2566-2567). Bahkan doa sebenarnya adalah suatu anugerah dari Tuhan (KGK, 2559-2561). Drama tentang doa ditunjukkan pada waktu Yesus menunggu di sumur dan kemudian bertemu dengan wanita Samaria (Yoh 4:1-26; KGK, 2560). Yesus yang menanti kita karena haus akan balasan kasih kita. Jadi kalau ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam kehidupan kita atau malah beranggapan bahwa Tuhan telah menakdirkan sesuatu yang tidak baik dalam kehidupan seseorang, maka anggapan ini adalah salah sekali. Bukan hanya dia “menjawab doa kita“, bahkan Dia yang terlebih dahulu “menggerakkan hati kita untuk berdoa“, karena Dia sudah menunggu kita di sumber air, di hati kita, di tempat di mana kita dapat bertemu dengan Tuhan (KGK, 2563).

Kita diciptakan dengan kapasitas untuk mengarahkan hidup kita pada tujuan akhir.

Bahkan sebenarnya, Tuhan menciptakan manusia sedemikian rupa, sehingga manusia mempunyai kapasitas untuk mengarahkan hidupnya kepada tujuan akhir. Sadar atau tidak, kita mempunyai kapasitas untuk ini. Dengan kapasitas inilah, St. Agustinus berkata “Hatiku tidak akan tenang, sampai aku menemukan Engkau, ya Tuhan.” Dan kapasitas ini bukan hanya milik beberapa orang saja, namun semua orang, karena pada dasarnya manusia adalah seorang filsuf.[3] Pada saat kita mempertanyakan “apa itu hidup, apa tujuan kehidupan, apakah kebahagiaan, dll”, maka kita dihadapkan kepada suatu permenungan akan “suatu awal dan tujuan akhir“. Pada saat pertanyaan ini didiskusikan dengan Tuhan, maka ini adalah suatu wujud doa, karena Tuhan adalah awal dan akhir. Dialog ini akan menjadi doa seorang Kristen kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus. Dan ini akan menjadi doa seorang Katolik, kalau berdasarkan wahyu Yesus Kristus yang diteruskan dalam Tradisi Katolik dan ajaran Katolik yang mendasari doa tersebut, di mana doa mencapai puncaknya pada perayaan Ekaristi Kudus[4] (lihat artikel: Sudahkah kita pahami pengertian Ekaristi? ).

Doa adalah pandangan sederhana ke surga

St. Teresia lebih lanjut mengatakan bahwa doa adalah “pandangan sederhana ke surga.” Di dalam doa, derajat kedekatan dengan Tuhan yang kita alami hanyalah merupakan pandangan sederhana atau sekilas yang sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan kebahagiaan sejati pada waktu nanti kita bertemu dengan Yesus muka dengan muka (1 Kor 2:9). Pada waktu kita berdoa, kita juga mengarahkan hati bukan kepada hal-hal di dunia ini, namun untuk hal-hal yang berhubungan dengan keselamatan jiwa kita, yaitu tujuan akhir yang utama: persatuan dengan Tuhan di surga. Jadi kita perlu mengintrospeksi, apakah isi dari doa kita? Apakah semuanya berisi dengan kebutuhan yang bersifat jasmani semata, ataukah dipenuhi dengan hal-hal untuk keselamatan jiwa kita? “Pandangan sederhana ke surga” adalah suatu pandangan yang begitu dalam. Kedalamannya terletak pada keserhanaannya. Kesederhanaan suatu konsep “Manusia akan mengarahkan segala sesuatunya kepada tujuan akhir.” Dalam Alkitab dikatakan “di mana hartamu berada, disitu juga hatimu berada” (Mat 6:21; Luk 12:34). Seperti seorang yang bekerja di bagian sales atau penjualan. Tujuan akhir dari pekerjaan ini adalah memenuhi target penjualan. Jadi semua usaha, pikiran, dan hati diarahkan seluruhnya untuk mencapai target yang ditetapkan oleh perusahaan. Dari contoh ini, kita melihat bahwa tujuan akhir menentukan semua sikap, perilaku, dan juga pikiran dan hati.

Tujuan akhir dan definisi tentang kebahagiaan menentukan sikap kita dalam doa.

Nah, mari kita melihat dalam kehidupan rohani kita. Di atas telah diulas bahwa manusia diciptakan dengan kapasitas untuk mengenal tujuan akhir, yaitu untuk bersatu dengan Tuhan. Kalau kita membuat hal ini benar-benar menjadi tujuan akhir hidup kita, maka segala sesuatu yang kita lakukan adalah untuk mencapai tujuan ini. Dan cara yang dapat kita lakukan di dunia ini untuk mencapai tujuan akhir ini adalah melalui doa. Dengan kata lain apa yang kita doakan adalah tergantung dari definisi kita tentang tujuan akhir hidup kita maupun definisi kita tentang kebahagiaan.
Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah untuk menjadi orang kaya, maka doa-doanya akan dipenuhi dengan urusan pekerjaan, proyek, uang, dll. Kalau seseorang yang definisi kebahagiaannya adalah keluarga, maka doanya dipenuhi dengan doa untuk keselamatan dan kebahagiaan anggota keluarga. Nah dalam definisi St. Teresia, definisi kebahagiaannya adalah pandangan ke surga. Inilah yang membedakan doa kita dengan doa para orang kudus. Bagi orang kudus, definisi kebahagiaan dan tujuan akhir dari hidup begitu jelas – yaitu persatuan dengan Allah – sehingga doa adalah menjadi cara (the means) untuk mencapai tujuan akhir ini (end). Kita sering membalik ini dan melihat doa sebagai akhir. Akibatnya, kalau doa kita tidak dijawab oleh Tuhan seperti yang kita inginkan, maka kita akan kecewa, putus asa, dan marah. Namun kalau kita melihat doa adalah suatu cara untuk mencapai tujuan akhir, maka apapun jawaban Tuhan terhadap doa kita akan kita terima dengan lapang hati karena pada akhirnya semuanya akan mendatangkan kebaikan buat kita (Roma 8:28), yaitu untuk mencapai tujuan akhir, bersatu dengan Tuhan.
St. Yohanes dari Damaskus mengatakan bahwa “doa adalah pengangkatan jiwa kepada Tuhan, atau satu permohonan kepada Tuhan demi hal-hal yang baik.” (KGK, 2559) Hal-hal yang baik disini adalah dalam relasinya dengan tujuan akhir manusia, persatuan dengan Allah di surga.

Doa didasarkan kepada iman, pengharapan dan kasih kepada Tuhan.

St. Teresia juga menekankan pentingnya “seruan syukur (dalam edisi bahasa Inggis dikatakan a cry of recognition atau seruan pengakuan) dan cinta kasih“. Seruan syukur adalah suatu ungkapan kepada seseorang atas pertolongan dan pemeliharaannya kepada kita. Dan kalau kita mengucap syukur kepada Tuhan, berarti kita mengakui pertolongan-Nya dan pemiliharaan tangan-Nya dalam kehidupan kita. Kita mengakui bahwa tanpa Tuhan, kita tidak bisa berbuat apa-apa. Ini adalah sikap kerendahan hati yang berkenan di mata Tuhan dan menjadi dasar utama dari doa.
Seruan syukur atau seruan pengakuan menjadi suatu ekspresi iman dan pengharapan. Mengaku bahwa Tuhan adalah segalanya adalah suatu pernyataan iman. Mendaraskan doa kita kepada Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Baik adalah suatu pernyataan pengharapan. Doa juga merupakan tempat pertemuan antara kasih Allah yang sudah terlebih dahulu menunggu kita dengan kasih kita kepada Allah (KGK, 2560). Bahkan dikatakan bahwa kasih adalah penyebab dari doa.[5] Jadi kita bisa melihat bahwa doa yang benar dilandaskan pada kebajikan ilahi “iman, pengharapan, kasih.” Tanpa ketiga hal ini, doa menjadi sia-sia. Kalau kerendahan hati adalah dasar dari doa, maka iman adalah suatu bentuk kerendahan hati akal budi, dan pengharapan adalah bentuk kerendahan hati dari keinginan.[6] Ini berarti bahwa kalau doa kita didasari oleh iman dan pengharapan yang berlandaskan kasih yang benar, maka Tuhan akan mengabulkan doa kita.
Mari kita melihat apa yang dikatakan Yesus “Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu” (Mat 7:7; 21:22; Mar 11:24; Luk 11:9; Yoh 14:13). Mengomentari hal ini, St. Thomas Aquinas di dalam bukunya “Catena Aurea”, mengatakan bahwa “Kita meminta dengan iman, mencari dengan harapan, dan mengetuk dengan kasih“. Jadi dalam hal ini kebajikan Ilahi, yang terdiri dari: iman, pengharapan, dan kasih menjadi dasar doa kita[7] Iman memungkinkan manusia untuk menyerahkan seluruh dirinya kepada Allah, termasuk seluruh kejadian dalam kehidupannya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Harapan, membuat kita merindukan kehidupan kekal bersama Allah sebagai tujuan akhir dan tujuan utama kehidupan kita (KGK, 1817) Kasih, memungkinkan kita untuk mengasihi Allah lebih dari segala sesuatu di dunia ini, dan mengasihi sesama demi kasih kita kepada Allah (KGK, 1822).
Kalau kita melihat definisi di atas dan jujur terhadap diri sendiri, maka kita dapat mengatakan bahwa doa yang kita minta sering tidak didasari oleh kebajikan ilahi. Mungkin kita berdoa dengan iman dan pengharapan yang kelihatannya begitu besar, namun sebenarnya tanpa didasari kasih kepada Tuhan.[8] Berapa sering kita mendengar doa-doa yang dipanjatkan “dalam nama Yesus, kutolak kemiskinan, sakit penyakit, dll” Kalau doa kita didominasi oleh pekerjaan dan juga kekayaan, maka kita dapat mempertanyakan, apakah doa ini berdasarkan kasih kepada diri sendiri atau kasih kepada Tuhan.
Kalau kasih adalah melihat sesuatu yang baik dari seseorang atau menginginkan sesuatu yang baik terjadi bagi orang tersebut, maka pertanyaannya, apakah kekayaan mendatangkan kebaikan buat Tuhan? Tidak juga. Tuhan tidak bertambah mulia dengan kekayaan kita, walaupun kita dapat memuliakan Tuhan dengan kekayaan yang diberikan oleh Tuhan. Namun sering kita meminta kekayaan bukan untuk memuliakan Tuhan, namun untuk kesenangan diri kita pribadi.

Pertobatan hati menuntun kita kepada doa yang benar.

Namun, sebelum kita dapat melandaskan doa berdasarkan kebajikan Ilahi, maka kita terlebih dahulu akan dihadapkan pada suatu realitas bahwa kita adalah orang berdosa (KGK, 2631). Realitas ini adalah pengetahuan terhadap diri kita sendiri. Namun pengetahuan tentang diri sendiri tidaklah cukup, karena hanya akan berakhir pada keputusasaan, seperti yang dicontohkan oleh Yudas Iskariot. Pengetahuan ini perlu digabungkan dengan pengetahuan akan Allah yang Maha Kasih dan Pengampun. Dua pengetahuan ini akan membawa kita kepada kerendahan hati dan pertobatan yang benar yang memungkinkan kita mempunyai hati murni, yang akhirnya akan membukakan hati kita untuk menyelaraskan hidup kita dengan apa yang dikehendaki oleh Tuhan (lihat artikel Kerendahan hati: dasar dan jalan menuju Kekudusan), seperti yang telah dicontohkan oleh Santo Petrus. Yesus mengatakan bahwa “Berbahagialah orang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).
Kembali kita diingatkan bahwa bukan kita yang mengubah Tuhan dengan doa kita, namun dengan kesucian hati, seseorang dapat menyesuaikan hidupnya dengan kehendak Tuhan (KGK, 2518), yang pada akhirnya menuntun kepada kesesuaian dengan kehendak Tuhan, seperti yang dicontohkan oleh Yesus sendiri. Di dalam doa-Nya di taman Getsemani, Yesus berkata “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku; tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi” (Luk 22:42). Inilah doa dengan nafas, “Tuhan apakah yang Engkau kehendaki?” dan “Tuhan, apa yang Engkau ingin aku lakukan untuk melaksanakan kehendak-Mu?” (KGK, 2705-2706)
Doa yang mengutamakan kehendak Tuhan ialah doa yang lepas dari kepentingan pribadi. Doa seperti inilah yang dilandaskan oleh kebajikan Ilahi: iman, pengharapan, dan kasih. Inilah doa yang dicontohkan oleh Abraham, Musa, dan para orang kudus. Inilah doa, dimana Roh Kudus sendiri yang membantu kita untuk berdoa.
Dan doa yang mengalir dari kebajikan Ilahi tidak akan terpisah dari kehidupan yang nyata, karena doa dan kehidupan bersumber pada kasih yang sama. Pada saat seseorang dapat menggabungkan antara pekerjaan dan kegiatan yang lain dengan nafas doa, maka seseorang mencapai “doa yang tiada henti atau prayer without ceasing.” Dan inilah yang diserukan oleh St. Teresia, bahwa doa harus dilakukan “di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan.” Ini berarti doa harus dilakukan setiap saat tanpa memandang situasi yang sedang kita alami.

Doa tidaklah percuma, namun harus menjadi nafas kehidupan kita

Dengan semua argumen di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa doa tidaklah percuma, bahkan doa harus menjadi kebutuhan utama orang Kristen, sama seperti oksigen menjadi kebutuhan utama manusia. Semakin kita mengerti akan kesalahan persepsi doa, semakin kita tersadar akan kekuatan doa yang sesungguhnya, yaitu doa yang dituntun oleh Roh Kudus, yang menjadikan kita untuk semakin serupa dengan Kristus, sehingga kita dapat mengikuti kehendak Allah Bapa. Hanya dengan doa yang tiada henti, dilakukan dengan disposisi hati yang benar, maka kita akan melihat buah-buah doa dalam kehidupan kita. Mari kita mengikuti teladan Yesus, yang memberikan kepada kita doa yang paling sempurna, doa Bapa Kami. Kita juga mengikuti teladan Maria, dan para kudus, dimana setiap tarikan nafas dari mereka merupakan doa yang tak putus-putusnya, yang rindu untuk melaksanakan kehendak Bapa.
Mari kita mengingat sekali lagi apa yang dikatakan oleh St. Teresia kanak-kanak Yesus. “Bagiku doa adalah ayunan hati, satu pandangan sederhana ke surga, satu seruan syukur dan cinta kasih di tengah percobaan dan di tengah kegembiraan”.
Marilah kita berdoa.
Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin. Ya, Tuhan, pada saat ini aku datang kepada-Mu, mengakui bahwa aku adalah orang yang berdosa. Dalam segala kelemahanku, bantulah aku ya Tuhan agar aku dapat mempunyai hati yang kudus, sehingga Engkau dapat meraja dalam hatiku. Tuhan, ubahlah hatiku walaupun aku belum siap. Bantulah agar aku dapat menyesuaikan segala pikiran, keinginan, dan perbuatanku sesuai dengan kehendak-Mu. Berikan aku kekuatan agar aku dapat menjadi seorang pendoa yang benar, karena aku tahu hanya melalui doa saja, iman, pengharapan, dan kasihku kepada-Mu dapat bertumbuh. Bantu aku ya Tuhan, agar doa juga dapat menjadi nafas perbuatanku setiap hari. Aku mengundang Engkau ya Tuhan, untuk terus membentuk aku sesuai dengan kehendak-Mu. Dengan perantaraan Yesus Kristus, Putera-Mu, aku naikkan doa ini. Dalam nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.

CATATAN KAKI:
  1. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.1.; KGK, 2559. [↩]
  2. KGK, 2562-2563 Di sini, KGK menekankan akan pentingnya peranan hati untuk turut berdoa. Berfikir tentang Tuhan saja tidak cukup. Pikiran harus membantu hati (the will) untuk berdoa dengan baik, dan demikian juga sebaliknya. [↩]
  3. John Paul II, Encyclical Letter on the Relationship between Faith and Reason: Fides et Ratio, 3, 64. Kalau kita amati, hanya manusia saja yang dapat mempertanyakan tujuan hidupnya. [↩]
  4. KGK, 1324, 2624 : Ekaristi adalah suatu bentuk doa yang paling sempurna, karena menghadirkan kembali kurban Yesus Kristus. Ini juga merupakan tradisi apostolik, seperti yang ditunjukkan jemaat perdana. “Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa.” (Kis 2:42 [↩]
  5. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.83, a.13. [↩]
  6. St. Thomas Aquinas, ST, II-II, q.161, a.5. [↩]
  7. KGK, 1812-1813 Iman, pengharapan, dan kasih atau disebut kebajikan Ilahi (theological virtues) memungkinkan manusia berhubungan dengan Allah, dimana kita dapatkan pada waktu kita menerima pembaptisan. Dengan ini, manusia dapat mengambil bagian dan berpartisipasi dalam kehidupan Tritunggal Maha Kudus. Dan kebijaksanaan Ilahi ini menjadi dasar, jiwa dan tanda pengenal tindakan moral orang Kristen. [↩]
  8. Dalam hal ini, kalau kita mendasarkan doa kita berdasarkan iman dan pengharapan yang benar, maka kasih senantiasa ada di dalamnya [↩]

Post a Comment

أحدث أقدم