Merajut Kembali Spirit Multikulturalisme
Sambil menunggu lahirnya pemimpin baru di republik yang multikultur ini, ada baiknya kita mengerling kembali suasana batin masyarakat bangsa ini pasca-Pilpres 9 Juli.
Sebagaimana diketahui, begitu panasnya persaingan politik dalam perebutan kekuasaan antara dua kandidat calon presiden dan calon wakil presiden. Bahwasannya, kerasnya persaingan menyebabkan semakin tereliminasinya etika, moral, dan etos dalam berpolitik.
Secara teoritis, persaingan dalam koridor demokrasi, etika dan moral menuntut kita untuk mengedepankan atau mengutamakan martabat dan kehormatan dalam meraih kemenangan; Dan/atau demokrasi meniscayakan kompetisi yang didasarkan pada etika, moral, dan etos demi melahirkan pemimpin yang amanah, cerdas lahir-batin. Kekuasaan (power) sungguh buas seperti harimau lapar.
Matinya Spirit Multikulturalisme
Suatu hal yang memiriskan, ketika kampanye hitam yang dilancarkan begitu “sadis”, sehingga menohok “jantung” multikulturalisme bangsa.
Spirit kebersamaan-multikulturalisme yang begitu susah payah dibangun selama ini, bukan hanya terusik, melainkan dihancurkan dan dimatikan. Multikulturalisme sebagai keniscayaan bangsa, seperti digugat kembali, sehingga merontokkan daya perekat kebersamaan.
Multikulturalisme dapat dimengerti sebagai pengakuan terhadap keragaman atau keanekaragaman budaya dan etnis, yang menumbuhkan kepedulian untuk mengupayakan agar kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat, dan kelompok mayoritas bersedia mengakomodasinya dengan tetap mengakui identitas minoritas (Kymlicka, 1989).
Di dalamnya tetap tercipta dan terjamin kebersamaan yang memungkinkan masing-masing kelompok tetap mengembangkan identitasnya masing-masing.
Sayang, dalam perjalanan bangsa, seperti yang terjadi selama ini, kelompok minoritas kerap terusik keberadaannya sehingga kenyamanan dan ketenteraman mareka seringkali terasingkan. Kampanye hitam yang terjadi pada Pilpres 9 Juli, adalah salah satu contoh betapa multikulturalisme bangsa kita masih menyembulkan masalah.
Belum lagi tidak terhitung banyaknya perlakuan diskriminatif yang mengusik kebersamaan bangsa. Bahkan, diskriminasi kerap dilegitimasi, sehingga kelompok minoritas tidak jarang merasa seperti kehilangan eksistensinya.
Lebih daripada itu, kampanye hitam yang dilancarkan menjelang Pipres 9 Juli, seolah semakin memarginalkan kelompok minoritas dalam ruang publik bangsa; Memberi label “tidak pantas” atau “tidak boleh” berada dan berguna di tengah masyarakat bangsa yang multikultur ini, apalagi hendak menjadi pemimpin bagi kelompok mayoritas. Apa yang terjadi? Eksistensi kelompok minoritas terasa tetap terpinggirkan.
Lalu, apa yang salah dengan munculnya sikap seperti ini di tengah masyarakat bangsa multikultur yang berbingkai Bhinneka Tunggal Ika? Tampaknya, Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi wujud karakteristik utuh masyarakat bangsa yang telah lama terpatri, agaknya masih terpahami secara dangkal, formalitas saja. Multikulturalisme belum terpahami sebagai mozaik kebudayaan yang mewujud dalam satu kesatuan yang kuat, utuh, dan sinergis.
Konflik yang kerap terjadi berlatarkan suku dan agama, atau terjadinya kampanye hitam menyongsong pilpres, menjelaskan multikulturalisme merupakan kekayaan bangsa. Namun, dalam implementasinya masih diposisikan sebagai batu sandungan alias dinding terjal yang sulit dilewati. Konsekuensinya, kita masih menyaksikan belum terjadinya persentuhan yang harmonis antara kelompok masyarakat yang berlainan agama, suku, dan lain-lain.
Persoalan kini adalah bagaimana merajut kembali spirit multikulturalisme, sebagai keniscayaan demi membangun masa depan bangsa yang lebih harmonis dan bersahaja dalam panji Bhinneka Tunggal Ika. Itu mengingat sikap diskriminatif, eksklusif, serta berpandangan partikularitas dan menyangkal multikulturalisme sudah tidak relevan lagi untuk zaman ini.
Kesadaran Multikulturalisme
Karenanya, Indonesia pasca-Pilpres adalah Indonesia yang perlu segera berjuang mencegah keterbelahan dan keterkoyakan masyarakat, akibat perilaku politik tanpa etika yang diperagakan lewat kampanye hitam dengan memosisikan sang kompetitor sebagai musuh politik yang harus dihancurkan; Bukan sebagai lawan politik yang mesti dihormati dalam kebersahajaan (istilah Chantal Mouffe).
Di sini, yang perlu segera dilakukan adalah membangun dan mengembangkan citra kemasyarakatan multukultural yang lebih humanistik dan beradab.
Dalam arti, dengan semangat pluralitas, kejujuran, keadilan, dan keikhlasan, kita perlu membangun dan mengembangkan kesadaran untuk menciptakan ruang-ruang kebersamaan bagi tumbuhnya masyarakat multikultur dalam kemajemukan budaya, juga etnis; Menjadi mozaik kebudayaan bangsa yang indah, harmonis, dan bersahaja.
Masyarakat multikutltur dengan aneka macam etnis atau suku yang berada dalam keniscayaan pluralitas bangsa, sesungguhnya membutuhkan kesadaran yang relatif lebih tinggi untuk menciptakan grand design (desain besar) untuk pengembangan multikulturalisme.
Ini suatu yang sangat diperlukan untuk digunakan sebagai bingkai artistik, agar di dalamnya berbagai perbedaan budaya, etnis, dapat dirajut dan dikembangkan menjadi sebuah mozaik lukisan kebudayaan dan peradaban bangsa. Ini Supaya dalam bingkai itu pula terakumulasi keragaman budaya, etnis, serta terciptanya ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya budaya majemuk sebagai kekayaan bangsa.
Bangunan kesadaran akan spirit multikulturalisme ini, oleh Durkheim disebut kesadaran kolektif (collective consciousness). Kesadaran kolektif adalah suatu konsensus masyarakat yang mengatur hubungan sosial budaya antara anggota masyarakat yang beranekaragam. Kesadaran kolektif keberbangsaan dalam keanekaragaman itu dapat berwujud aturan-aturan, moral, etika, etos, agama, dan segala nilai luhur dan mulia dalam masyarakat.
Hendaknya itu semua bukan hanya dilakukan pasca-Pilpres, melainkan perlu terus digelorakan agar tetap tumbuh sikap saling memahami dan menghargai eksistensi identitas dan kekhasan masing-masing. Dalam hal ini, mayoritas dan minoritas bukanlah masalah. Semua itu harus dipandang memiliki hak hidup, hak mengembangkan potensi diri, dan hak-hak lain dalam kebersamaan, yang seyogianya saling mendukung.
Dalam memahami dan menghargai kekhasan budaya, etnis, agama, dan kelompok yang berbeda, kita perlu menyimak pandangan filsuf Prancis, Emmanuel Levinas. Perbedaan merupakan kekhasan yang eksistensial. Kehadiran yang lain dalam perbedaan justru menambah kekayaan dan keagungan masyarakat yang akan membuahkan kedamaian dan menumbuhkan kultur positif dalam kehidupan.
Thomas Koten adalah Direktur Social Development Center.
Tulisan ini telah diterbitkan oleh Sinar Harapan pada 16 Juli.
إرسال تعليق