Paradoks Kepemimpinan

Paradoks Kepemimpinan thumbnail

Paradoks Kepemimpinan

MUSIM gempita membandingkan dua calon presiden dan wakil presiden hampir usai. Negeri ini akan segera memasuki pucuk waktu. Kita hendak berdiri beberapa menit di bilik pemungutan suara untuk menerobos momen genting yang akan memberi nama hari esok Indonesia.
Apa yang berubah sesudah kedua kubu menjajakan rumusan visi dan misi, program, serta mematut-matut diri dalam debat di televisi? Tidak banyak, kecuali emosi politik yang terbelah ke dalam pertarungan abadi antara ”memilih dari keputusasaan” dan ”memilih bagi harapan”. Setelah berbagai timbangan nalar dikerahkan, yang tersisa adalah tindakan memilih yang digerakkan dua daya itu. Mungkin kita bahkan tidak menyadarinya.
Namun, dengan itu dua kubu juga kian membatu. Masih tersisa beberapa hari bagi kita untuk menimbang pilihan dengan akal sehat. Barangkali tiga pokok berikut dapat dipakai untuk menambah aneka kriteria yang telah banyak diajukan.
Nafsu berkuasa
Kekuasaan dan kepemimpinan terkait integral secara paradoksal. Tidak setiap nafsu kekuasaan menghasilkan kepemimpinan, tetapi setiap kepemimpinan mensyaratkan kekuasaan. Seberapa hasrat kekuasaan yang dibutuhkan untuk kepemimpinan sejati? Di sinilah tersembunyi paradoks penting. Paradoks adalah kondisi atau pernyataan yang terdengar bertentangan atau tak masuk akal, tetapi sesungguhnya menyimpan kebenaran lebih utuh.
Orang yang sangat haus kekuasaan tidak pernah menjadi pemimpin baik. Sebaliknya, orang yang ditandai keengganan dan kesangsian yang sehat terhadap kekuasaan biasanya jauh lebih sanggup menjadi pemimpin baik. Sebabnya sederhana. Hanya sosok yang dapat merelatifkan atau membuat jarak dari kekuasaan yang sanggup menghidupi tugas agung bahwa kursi kekuasaan tidak identik dengan dirinya, tetapi sarana perwujudan mandat.
Ambillah analogi sederhana. Orang yang sedemikian haus uang tak lagi melihatnya sebagai sarana. Siang dan malam ia kesurupan memeluk uangnya dengan cara apa saja. Begitu pula orang yang punya nafsu menggelegak pada takhta. Ia lebih bernafsu menjadi penguasa, bukan pemimpin. Dari proses ini pula kediktatoran dan tirani dilahirkan. Namun, bagaimana benih tirani itu berkembang biak?
Pada mulanya adalah harapan. Dan, harapan itu amat cemerlang, sama seperti euforia Reformasi 1998. Setelah pergantian tiga rezim yang singkat, kita menaruh harapan pada rezim yang terpilih tahun 2004. Kita mengira dalam periode pertama rezim itu akan memimpin kita menata porak poranda Indonesia, lalu mengakhiri periode kedua yang mulai tahun 2009 dengan beberapa tonggak pemberadaban. Sampai di mana harapan itu?
Satu-dua tonggak bisa disebut dan kegemaran akan citra juga berkibar sebagai idiom baru politik. Namun, bukan rahasia lagi rezim ini gagal menjaga jantung kultural Indonesia, yaitu kebhinekaan. Terutama lantaran impotensinya mencegah kelompok-kelompok tribal berkeliaran makin ganas dan meremuk siapa saja yang tidak sejalan dengan tafsir agama mereka. Bahkan, polisi yang punya mandat konstitusional monopoli kekerasan lebih sibuk dengan slogan ketimbang kelugasan.
Dalam arti itulah sakit jiwa kolektif diperanakkan lewat cara rezim ini memerintah. Maka, para korban semakin mencari-cari sosok pelindung, sedangkan kaum tribal agama mencari sosok pemaksa. Orang yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak untuk menjadi presiden Indonesia beroperasi melalui patologi kolektif ini. Dalam keterjalinan berbagai arus inilah arti ’tegas’ lalu tidak dibedakan dengan ’tangan besi’ dan ’bengis’.
Maka, silakan cermati kedua capres dan cawapres. Mana sosok yang ditandai nafsu menggelegak akan kekuasan? Saya berani bertaruh, sosok dengan nafsu kekuasaan yang meledak-ledak tidak akan menjadi pemimpin baik bagi Indonesia. Seandainya maju jadi calon presiden, sosok seperti ini akan mengerahkan puluhan triliun rupiah untuk membeli suara, memakai preman dan operasi-hitam untuk mengancam pemilih, memalsu surat dan kotak suara, serta menggunakan kekerasan dan cara apa saja bagi pemenangan.
Ringkasnya, sosok ini membuat dirinya sama-dan-sebangun dengan kekuasaan. Dan, caranya berkuasa digerakkan terutama oleh busungan rasa megalomania.
Perkara kecil
Masalah dengan sosok megalomania bukan hanya karena bermulut besar, tetapi karena orang seperti itu tidak sanggup setia pada urusan kecil dan tugas kepemimpinan yang menuntut kesetiaan mengemban tugas dalam rutinitas; tanpa panggung dan media, tanpa publisitas dan tepuk tangan. Apa yang dilakukan dan semua orang lain hanyalah alat: ia memakai rakyat untuk kekuasaan, bukan memakai kekuasaan untuk rakyat.
Itulah mengapa orang seperti ini bisa saja menjadi penguasa, tetapi bukan pemimpin. Padahal, memilih presiden Indonesia bukan memilih penguasa atau selebritas, tetapi seorang pemimpin. Tentu saja pemimpin perlu berpikir besar, tetapi bukan sebagai megalomania. Di sinilah tersembunyi paradoks lain. Seorang pemimpin besar hanya dapat kita temukan dengan mengenali bukti kesetiaannya pada perkara dan tugas lebih kecil yang pernah diemban.
Sebabnya juga sederhana: hanya dia yang telah teruji dan terbukti setia pada perkara kecil yang akan sanggup setia dalam perkara besar. Hanya orang yang teruji dan terbukti setia pada tugas lebih kecil dalam lingkup lebih kecil yang akan sanggup setia pada tugas yang berskala lebih besar. Apakah itu niscaya? Tak ada yang niscaya dalam dunia manusia, kecuali kematian.
Namun, bolehlah kita pakai kewarasan sederhana. Apakah Anda akan mempercayakan kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti tidak setia dalam tugas pada lingkup lebih kecil? Ataukah kepada sosok yang telah terbukti setia pada tugas pemerintahan dalam skala lebih kecil? Segala dalil probabilitas menunjuk pada kewarasan pilihan kedua. Dengan segala hormat, sikap keras kepala memercayakan tongkat kepemimpinan Indonesia pada sosok yang terbukti tidak setia dalam tugas kepemimpinan lingkup lebih kecil adalah pilihan membabi buta.
Lingkup lebih kecil itu bisa saja kepemimpinan suatu kotamadya atau provinsi. Itu sudah cukup sebagai lingkup ujian sejauh mana calon presiden terbukti setia dalam tugas dan perkara kecil. Boleh saja orang berteriak menggelegar bahwa ia akan melakukan ini dan itu yang serba kolosal untuk Indonesia. Namun, itu kata-kata dan slogan yang mudah dipesan dan cepat dilatihkan. Jarak antara slogan dan kepemimpinan sejati terletak jurang teramat dalam yang tidak terjembatani apa pun, kecuali oleh bukti kesetiaan dalam perkara dan tugas kepemimpinan pada skala lebih kecil yang pernah diemban.
Sekali lagi, ia yang setia dalam perkara kecil juga akan sanggup setia dalam perkara besar; orang yang telah setia dalam kepemimpinan pemerintahan suatu kota juga akan setia dalam kepemimpinan sebuah negara. Sebaliknya, ia yang tidak setia dalam perkara kecil juga tidak akan sanggup setia dalam perkara sebesar negara.
Ringkasnya, sosok yang terbukti tidak setia dalam perkara dan tugas berskala lebih kecil bukanlah orang yang layak dipilih memimpin Indonesia.
Habitus kepemimpinan
Pokok di atas sentral bagi kewarasan pilihan. Mengapa orang yang terbukti setia dalam hal kecil jauh lebih sanggup setia dalam perkara besar? Di sinilah tersimpan pokok kunci lain yang dalam dunia pemikiran dipelajari melalui bidang ”teori tindakan”.
Intinya, orang boleh membual tentang kehebatan kalkulasi nalar. Namun, penelitian demi penelitian kian membuktikan bahwa dalam sebagian besar tindakan, manusia lebih digerakkan oleh kebiasaan. Jika memakai kata yang agak keren, istilah habitus paling dekat mengungkapkan maksudnya.
Habitus perilaku manusia tidak mudah berubah, apalagi pada orang yang semakin menua. Tentu, kepemimpinan membutuhkan daya penalaran dan kalkulasi tinggi. Namun, jauh lebih menentukan adalah ciri habitusnya dalam memimpin, juga apabila bukti habitus kepemimpinan itu terjadi pada skala pemerintahan lebih kecil.
Maka, kita dapat lugas menimbang: sosok mana yang telah terbukti punya habitus kepemimpinan baik? Habitus kepemimpinan baik adalah kebiasaan perilaku memimpin yang secara instingtif tertuju pada kemaslahatan orang biasa dan kebaikan-bersama, ciri tegas dialogis, cemburu merawat kebinekaan, merawat lingkungan hidup, tidak korup, tidak meremuk hak asasi, tidak militeristik dan memakai kekerasan sebagai solusi instan, dan sebagainya. Sebaliknya adalah habitus memerintah yang buruk.
Bukankah itu nirvana? Ya, tetapi itulah cita-cita Indonesia. Itulah kisah harapan kita, yang jerih payahnya hanya sanggup dirawat oleh pemimpin yang telah terbukti setia dalam tugas lebih sederhana, bukan sosok penuh megalomania. Jerih payah menghidupi kisah harapan itu tidak mungkin mekar kembali tanpa ciri-cirinya juga kita tanam dan lekatkan erat-erat pada ciri habitus sosok calon pemimpin.
Sebagaimana kita tidak akan mempercayakan benih yang bagus pada tanah yang gersang, begitu pula amat fatal jika kita memercayakan cita-cita luhur Indonesia kepada orang yang justru berkebalikan dengan keluhuran habitus kepemimpinan. Cara menanam jalan harapan itu adalah memilih sosok yang telah lebih terbukti punya keluhuran habitus kepemimpinan. Seperti telah disebut, cukuplah habitus kepemimpinan pemerintahan itu terbukti pada lingkup dan skala lebih kecil.
Maka, kita berdiri di pucuk waktu ketika pilihan kita akan memberi nama hari esok Indonesia. Setelah digulung riuh rendah kampanye, mungkin kita semakin gundah. Pilihan waras bagi jalan harapan dapat didasarkan pada tiga kriteria sederhana, yang hemat saya tidak lekang digerus kebingungan.
Pertama, sosok yang bernafsu kekuasaan meledak-ledak tidak akan punya keluhuran memimpin Indonesia. Kedua, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti setia memimpin pemerintahan pada skala lebih kecil juga akan setia memimpin suatu negara. Ketiga, hanya sosok yang telah teruji dan terbukti punya habitus luhur kepemimpinan atas lingkup lebih kecil juga sanggup mengemban mandat kepresidenan dengan habitus kepemimpinan luhur yang sama.
Itulah dasar memilih bagi jalan harapan. Dalam dunia manusia, masa depan bukan hasil ramalan, melainkan kemungkinan untuk dibentuk. Itulah mengapa di pucuk waktu nanti kita mesti membentuk hari esok Indonesia bukan dengan memilih mesin ketakutan masa lalu, melainkan dengan memilih harapan baru.
B. Herry Priyono adalah  Dosen Program Pascasarjana  Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Artikel ini telah diterbitkan di harian KOMPAS pada 1 Juli 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post