Pasca Pilpres: Umat Kristiani Terbelah
Tentu berita kontroversial tentang acara Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) di Medan barusan telah beredar dan tampaknya hampir dibaca oleh semua warga Gereja di Indonesia. Beritanya ialah mengenai Pendeta Jacob Nahuway, Ketua Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Seluruh Indonesia, yang dalam khotbahnya menyempatkan diri untuk mengajak jemaat memilih Prabowo sebagai presiden. Sontak suasana ibadah menjadi kisruh, karena seorang pemuda maju ke mimbar dan berseru ”Salam Dua Jari”.
Malah ada yang lebih menggegerkan dan absurb: usai pilpres, sebelum pengumuman hasil rekapitulasi oleh Komisi Pemilihan Umum (22 Juli), acara kebaktian syukur dinaikkan, mengenai nubuat akan kemenangan yang sudah ditangan, dan mukjizat pun akan terjadi dengan kemenangan Prabowo-Hatta.
Di tempat lain, 15 Forum Umat Kristiani terdiri dari aktivis, para pendeta, maupun kaum intelektual Kristiani menggelar acara seminar dan deklarasi di Menteng Juni lalu guna mendukung Jokowi-Kalla. “Alasan mereka memberikan dukungan kepada capres dan cawapres dengan nomor urut 2 karena Jokowi-Kalla dinilai dapat memberikan harapan kepada warga Gereja akan kebebasan menjalankan ibadah,” ujar Jerry Tawalujan selaku ketua panitia.
Di kantor Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia/PGI, tak muncul dukungan eksplisit atas satu namapun, malah gugatan terhadap salah satu visi-misi kandidat Presiden. Maka kriteria kritislah yang ditetapkan, antara lain: menyatakan dosa yang berpolitik uang, lalu mendorong umat Kristen menguji visi-misi dan modus pemenangannya via koalisi yang dibangun.
Belahan Teologi dalam Gereja
Studi-studi mengenai polarisasi umat Kristiani global dan Indonesia sudah cukup mendalam, malah riset empirik mengenai hal ini sudah cukup banyak. Untuk polarisasi di Indonesia, studi lapangan dari Rijnardus Kooij dan Yam’ah Tsalatsa, dalam bukunyaBermain Api: Relasi antara Gereja-gereja Mainstream dan Kalangan Kharismatik Pentakosta, telah menggambarkan masalah serius dalam tubuh Gereja Indonesia.
“Gereja Mainstream”(GM) yang umumnya masuk dalam organisasi PGI secara empirik mengembangkan teologi yang bersifat rasional dan kognitif, sementara Kalangan Kharismatik-Pentakosta (KKP) berfokus pada pengalaman iman dan pembaruan hidup pribadi. KKP lebih berfokus pada kuasa Allah dan mukjizat, dan kotbah-kotbahnya berpusat pada kebenaran multak. Sementara itu kalangan GM telah kemasukan nalar kritis Pencerahan Barat, sehingga dalam pesannya ia lebih dialogis dengan isu-isu atau pun nalar sehari-hari.
Dalam skripsi hasil studi lapangan seorang mahasisiwa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Ivonne Maranatha, semakin jelas diperlihatkan kenyataan keterbelahan teologis Gereja di Indonesia tersebut. Dalam sebuah ibadah di gereja model GM mengenai persembahan, tertulis sebuah renungan dengan konsep persembahan hidup dalam tiga wujud persembahan, yaitu persembahan diri (pelayanan), persembahan waktu (persekutuan, peribadahan), dan persembahan uang. Namun demikian dihimbau agar kita jangan melekatkan diri kepada persembahan yang bersifat fisik tersebut, melainkan lebih menekankan persembahan hati.
Mengenai mukjizat diungkapkan perspektif yang berbeda dari pandangan umum: kebanyakan orang memahami mukjizat sebagai sesuatu yang luar biasa, tapi yang perlu kini ialah mengajak jemaat untuk dapat mulai memberi makna terhadapi segala peristiwa yang dialami sepanjang kehidupan, karena hidup itu sendiri adalah mukjizat dan anugerah dari Allah.
Di samping itu, dalam warta jemaat GM itu ditemukan tidak sedikit tulisan yang bukan hanya berfokus mengenai relasi diri pribadi dengan Tuhan, melainkan juga menjelajah hingga ke ranah ekologi, bahkan politik. Ada pendeta di situ yang mengungkapkan bahwa salah satu misi Gereja ialah turut aktif mengelola dan menjaga lingkungan.
Malah dihimbau juga agar jemaat bersikap ramah terhadap lingkungan, dengan cara mengurangi pemakaian plastik atau kertas, membawa botol minum sendiri, serta lebih memperhatikan efektivitas pemakaian listrik dalam gereja. Dalam kaitannya dengan perihal kemasyarakatan, ditegaskan pentingnya jemaat memahami kehidupan bergereja dan bernegara, dengan tetap terlibat dalam persoalan-persoalan dunia dan menjadikan dunia lebih baik yang mencerminkan Kerajaan Allah.
Di pihak KKP, dalam surveI itu dicatat bahwa fokus teologinya berasal dari Yohanes 10: 10″…Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Dalam pada ini perlu ada kuasa doa yang yang dapat mencurahkan banyak berkat dan kelimpahan kepada manusia.
Malah orang Kristen akan mendapat “berkat khusus” yaitu kemenangan atas dosa dan setan, kemenangan atas penyakit, kemenangan atas kemiskinan, kemenangan atas kesusahan dan kedukaan, juga kemenangan atas kegagalan hidup. Untuk mendapat berkat itu, maka persembahan Persepuluhan (memberi 10% dari pendapatan kepada gereja) menjadi kunci pembuka “tingkap-tingkap berkat Allah” dari surga.
Belahan Politis
Lantas, apakah ada hubungannya hal ini dengan Pilpres kita barusan; apakah kisah-kisah dukung-mendukung di atas juga bertolak dari belahan teologis dalam kekristenan? Dan apakah belahan Pilpres (Prabowo vs Jokowi) membuka medan publik atau politis dari belahan umat Kristiani tersebut?
Mungkin sosiolog dari London School of Economics, David Martin, dapat membantu menjelaskan. Menurut beliau, dalam bukunya Pentacostalism: The World their Parish(2002), Gereja KKP, karena memiliki cara melihat yang serba rohani kurang bisa menerjemahkan implikasi politis dari imannya secara kritis. Ada kebutaan dalam hal ini sehingga pragmatisme jauh lebih bermain dalam sikap politisnya. Kebutaan itu tampaknya juag karena secara teologis umat secara total terpapar pada isu berkat, mukjizat dan kesembuhan. Maka jarak kritis terhadap isu sosial tidak terjadi.
Ini berbeda dengan kelompok GM yang mewarisi tradisi panjang dan penuh konflik seputar Gereja dan politik, yang membuat kelompok GM lebih berjarak dan ragu-ragu melandaskan posisi politisnya dari pelataran gereja. Sikap teologis GM yang kemasukan “common sense” kritis dari Barat ini menyelipkan semacam sikap was-was terhadap pendakuan politik penuh citra hebat dan mesianik.
Malah dengan provokatif David Martin menegaskan bahwa karena KKP selaku organisasi lebih sebagai “repertoire of recognizable spiritual affinity” (pagelaran kesatuan rohani), maka memang ia bisa ringan saja dukung ini dan itu, dan “bernubuat” bahwa kemenangan sudah menyingsing di depan mata; berbeda dari GM yang berakar pada makna “Gereja” selaku institusi yang pada dirinya mengandung ketebalan sakramental, sehingga ada semacam independensi pada dirinya sehingga ia enggan memihak pada satu kandidat.
Apakah dengan penjelasan itu, sikap pemimpin gereja model KKP yang tanpa ragu berpihak di atas bisa kita pahami? Lalu posisi kritis penuh catatan dari PGI selaku wadah Gereja GM dapat kita mengerti? Mungkin studi mesti dilakukan lebih jauh lagi, tapi sepakat ini jelaslah: umat Kristiani di Indonesia tidak saja secara teologis mengalami polarisasi, tetapi juga secara politis.
Penulis adalah Pendeta GKPS dan dosen di STT Jakarta
Artikel ini telah diterbitkan di satuharapan.com pada 31 Juli 2014.
Post a Comment