Saatnya Kebaikan Memimpin
SEMINGGU lagi menjadi momentum kita untuk memilih pemimpin yang mampu mengembalikan harapan akan masa depan. Pemimpin yang memperkuat cita-cita besar menjadi sebuah bangsa yang merdeka dari penindasan dan ketakutan, pemimpin yang menyadari bahwa kedaulatan bangsa harus dipulihkan agar tidak dikendalikan bangsa lain.
Kita ingat salah satu pidato Bung Karno, ”Apakah kita mau Indonesia merdeka dengan kaum kapital yang merajalela atau yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh Ibu Pertiwi yang cukup memberi sandang dan pangan?”
Ungkapan di atas masih menjadi pilihan sampai hari ini. Jurang kesenjangan semakin lebar. Saat kaum kapitalis lebih berkuasa dari pemimpin dan rakyat. Saat kepentingan kapitalis lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat.
Beragam kasus muncul di depan mata kita, dan kita merasakan relevansi ungkapan Bung Karno di atas saat ini karena daulat negeri terus tergerus. Tanpa perubahan, kita akan kehilangan daulat dan masa depan semakin suram.
Momentum inilah saatnya perubahan. Mari mencari pemimpin yang mampu menciptakan perubahan mendasar. Memutuskan ketergantungan pangan, energi, dan utang luar negeri.
Untuk itu, semuanya bisa dimulai dari mental. Dengan meyakinkan diri bahwa kita memiliki kemampuan mengolah sumber daya dan mengoptimalkannya demi kesejahteraan rakyat.
Mentalitas elite yang korup harus dibabat habis. Kebijakan yang cenderung hanya menguntungkan mereka dan kaum kaya (karena kepentingan politik dinasti) harus dienyahkan jauh-jauh. Itu semua hanya akan membuat mereka tidak akan mampu menjadi pelayan terbaik buat rakyat.
Saatnya rakyat memilih pemimpin dengan visi yang jelas dan terukur. Bukan pemimpin yang asal berjanji.
Kecerdasan rakyat sangat menentukan nasib masa depan negeri ini. Perubahan Indonesia masa depan akan ditentukan pada pemimpin yang bisa mengombinasikan keberanian, kebajikan, dan kemampuan dalam tata kelola pemerintahan untuk melayani rakyat dengan sikap jujur dan tulus.
Jujur dalam kuasa
Sikap jujur dalam berkekuasaan memang sering disebut sebagai sebuah kemustahilan. Namun, dalam banyak fenomena kekuasaan masih ada orang baik dan jujur di tengah kemunafikan dan keserakahan. Kita merindukan sosok pemimpin otentik dan berkeutamaan. Pemimpin yang mampu membawa menuju gerbang perubahan sesungguhnya. Seorang pemimpin yang sanggup berempati secara mendalam dengan kemauan rakyatnya.
Pemimpin yang mengubah dari bangsa yang tidak memiliki kepercayaan diri menuju Indonesia yang kuat dan tangguh. Indonesia adalah bangsa besar, tetapi sering kali itu hanyalah dalam angan-angan.
Kenyataannya kita sebagai bangsa kerap masih terjajah oleh bangsa lain. Masih terlalu sedikit contoh untuk pola kepemimpinan impian yang dibutuhkan negeri ini.
Justru yang banyak adalah mereka yang memimpin dengan kecenderungan layaknya seorang pebisnis. Barter kepentingan dalam dunia politik dan ekonomi justru sering kali melahirkan kebijakan-kebijakan yang menyakitkan. Sebab, tak jarang di dalamnya mengendap kepentingan yang bersifat pribadi dan golongan.
Pemimpin terbaik akan mengembalikan kepercayaan diri sebagai bangsa yang luntur seiring dengan waktu. Kita bisa bangkit melalui kepercayaan diri yang kuat. Perilaku politik para elite selama ini banyak melunturkan kepercayaan diri kita sebagai bangsa. Pemimpin hendaknya menjadi tonggak agar kita bisa kembali bangga menjadi Indonesia.
Mencari negarawan
Kepercayaan diri sebagai bangsa meluntur karena para elite negeri ini banyak berperan sebagai calo, bukan negarawan yang tulus. Kita bisa melihat praktik di negara yang mendeklarasikan ratusan tahun kebangkitan nasionalnya ini, yaitu bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual.
Kebangsaan kita tak lebih dari kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku. Banyak fenomena yang bisa menjelaskan mengapa perjalanan kita sebagai sebuah bangsa sering terseok-seok di tengah jalan.
Kekayaan sumber daya alam melimpah tak kunjung bisa dinikmati demi kemakmuran rakyat, tetapi justru dikuasai oleh kepentingan golongan tertentu. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta.
Kemiskinan, pengangguran, dan perbaikan kualitas pendidikan belum menjadi cita-cita bersama yang mendesak untuk dicarikan jalan keluar. Kebijakan publik pun tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh.
Lahirlah kenyataan yang sering disebut orang sebagai para calo politik (rent seeker). Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan. Maka, kita membutuhkan pemimpin yang tulus mengabdi untuk kesejahteraan bangsa ini. Pemimpin yang betul-betul memperhatikan nasib masa depan bangsa, bukan nasib dirinya sendiri.
Benny Susetyo, Pemerhati Sosial
Artikel ini telah diterbitkan di Kompas.com pada 3 Juli 2014.
إرسال تعليق