Depresi
Akhir-akhir ini kata "depresi" menjadi hangat kembali dibahas di kalangan psikolog maupun pemerhati masalah-masalah hati nurani semenjak diberitakan Robin Williams mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Berderet nama artis terkenal, orang kaya dan bahkan terkaya dunia, dan juga psikolog terkenal di Amerika musti mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri. Nampaknya gelimang materi, kenikmatan, kekuasaan, serta ketenaran tak membuat manusia hidup berbahagia.
Kehidupan modern menawarkan dan mendorong manusia untuk berlari dan berlomba untuk menggapai apa yang disebut sebagai kesuksesan melalui kerja keras. Segala upaya tercurah bagi dirinya. Namun toh, kecenderungan hidup narsis ini berujung pada kehampaan atau yang dinamakan oleh kaum eksistensialis sebagai kevakuman eksistensi. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Manusia yang tertekan dalam situasi depresif tak bisa sekedar ditolong dengan hiburan-hiburan atau obat-obatan dan minuman alkohol, maupun seks. Sepintas, kelihatan hal itu menunjukkan kelegaan, namun takan bertahan lama. Semakin dalam orang berkubang dalam penghiburan duniawi, makin dalam pula ia masuk dalam kehampaan atau kevakuman eksistensi dirinya. Karena itu penghiburan atau pelarian yang dicari oleh mereka yang depresif adalah filosofi baru kehidupan, ritual-ritual sekte yang menyimpang, atau meditasi-meditasi sekuler yang kesemuanya menawarkan kesenangan psikologis semata. Namun, batin atau jiwa mereka tetaplah hampa ...
Mengapa kaum beriman yang benar-benar mendasarkan diri pada penghiburan Roh Kudus mampu melewati kehidupan yang berat? Karena lewat penyatuan dengan penderitaan Kristus di salib itulah kaum beriman mampu memikul salib kehidupan ini betapappun beratnya. Ibu Teresa Kalkuta yang mengalami kondisi desolasi dan nampak tak mengalami penghiburan dari Allah pun selama berpuluh tahun meyakini bahwa hal ini sebagai satu pemurnian batin dari Allah. Demikian pula halnya Yohanes dari Salib yang melewatkan hidupnya seperti puisi yang ditorehkan dalam hatinya, "The Dark Night". Hidup dalam penyatuan dengan salibNya bukan meninggalkan salib itu sendiri, melainkan memberikan satu kekuatan dari padaNya kepada kita untuk memikulnya.
Bunda Maria yang menderita di bawah salib bukanlah semata menderita bagi dirinya sendiri. "Sebiliah pedang menusuk batinnya" adalah penderitaan yang Maria tanggung demi satu harapan akan penebusan pada manusia lewat kematian Yesus puteranya yang tersalibkan. Mari kita belajar akan makna penderitaan dari Maria. Ia tak memandang penderitaan sebagai penderitaan, melainkan penderitaan sebagai pengurbanan karena kasih. Inilah yang membedakan pandangan sekuler tentang penderitaan dan kaum beriman.
Kaum sekuler mamandang penderitaan sebagai penderitaan saja, yang tak heran bila kemudian akan menimbulkan rasa depresi mendalam. Penderitaan yang dimaknai dalam kasih, yaitu penyatuan denga penderitaan yang Ia alami juga karena kasihNya akan mengubah penderitaan itu menjadi pengurbanan. Ada dimensi keindahan yang tak terlukiskan pada pengurbanan, seperti halnya kita memandang Corpus Christi yang tersalibkan, atau tangan stigmatis dari fransiskus Asisi hingga Padre Pio ...
Manusia dalam segala jaman akan mengalami apa itu penderitaan. Secara naluriah dan instingtif bisa saja kita menolaknya atau berusaha menghindari maupun menambal itu dengan penghiburan duniawi. Namun hal itu takkan bertahan lama dan akan menimbulkan rasa depresi yang susah tersembuhkan. Hanya penyatuan dengan penderitaan salibNya yang berarti dalam selimut kasih kita akan memaknai penderitaan hidup secara berbeda, yaitu sebagai salib kehidupan yang musti kita panggul dan tidak kita letakkan di pinggiran jalan kehidupan kita.
Kaum beriman hendaknya tidak secara ilusif berpengharapan agar hidup secara berkelimpahan dan tanpa penderitaan. Bila kita sedang berada dalam kondisi demikian hendaknya kita juga melihat bagaimana Simon dari Kirene memanggulkan salib Yesus. Kita, dalam situasi apapun, selalu diingatkan oleh keberadaan Simon Kirene dalam proses jalan salib kehidupan kita. Kita diharapkan oleh Allah tak meninggalkan salib kita sendiri, dan berbahagialah kita apabila bisa menjadi Simon-Simon yang lain, yang memanggulkan salib mereka yang sedang kepayahan. Dengan demikian hidup dalam pemanggulan salib berarti hidup dalam duka cita dan bukan kesusahan. Hidup dalam dukacita selalu berdampingan dengan rasa sukacita akan harapan kehidupan kekal dalam Kerajaan Allah. Sukacita dan dukacita adalah gelombang hidup kaum beriman yang tak membuat ia kehilangan dirinya, namun sebaliknya, ia akan menggapai kemenangan berselancar diatas gelombang karena harapannya yang tak pernah pupus akan Kerajaan Allah, yang menjadi tujuan akhirnya, dan bukannya kerajaan dunia. Amin?
Post a Comment