Orang Miskin Dilarang Sakit!

 

Orang Miskin Dilarang Sakit!

 

Bukan saja dilarang sakit, tapi juga dilarang merengek. Camkan!

 

SEMOGA provokasi kalimat di atas membawa Anda pada baris ini. Bukan mengada-ngada atau sekedar mencari sensasi bila kalimat di atas menggelitik atau bahkan menjengkelkan Anda. Pasalnya, inilah yang terjadi di negeri kita tersayang Indonesia. Ketika orang miskin bukan saja dilarang sekolah, dilarang pandai, dilarang sukses, tapi juga dilarang sakit – mungkin suatu saat dilarang kentut!
Kegusaran ini mampir di benak saya ketika berobat ke rumah sakit beberapa hari lalu. Minggu lalu, tenggorokan saya sakit sekali – setelah sebelumnya ada sariawan yang berbaring asik di bawah pangkal lidah – silahkan bayangkan menderitanya saya ketika menyeruput kuah soto tongkar pedas. Karena tak kunjung sembuh walau sudah diobati sendiri – bagaimana mau sembuh kalau tiap malam kripik pisang dan kripik lainnya menjadi teman ketika menyaksikan pertandingan Euro – akhirnya dengan alasan demi masa depan tenggorokkan, saya hampiri rumah sakit khusus THT tak jauh dari rumah. Namanya RS THT Prof. Nizar.
Tak butuh waktu lama untuk mengantri. Tak lama setelah mendaftar, nama saya diteriaki, “Tuan Roy Thaniago…”, lumayan disapa Tuan sesekali, ledek saya dalam hati. Dokternya perempuan berjilbab. Cukup muda. Dari wajahnya saya tafsir angka di bawah 40 untuk usianya. Orangnya ramah. Namanya singkat: Zuniar.
Setelah menanyakan apa masalahnya, saya didudukkan pada sebuah kursi periksa yang mirip kursi dokter gigi. “Oh…hanya radang”, seru si dokter. Setelah izin untuk mengolesi sariawan saya dengan sebuah obat, pemeriksaan selesai. Dituliskannya beberapa resep untuk menebus obat. Saya jadi tahu mengapa dia meminta ‘restu’ ketika ingin mengoleskan obat pada sariawan saya: perih parah baged gila itu obat!!!
Di loket pembayaran, saya cukup kaget ketika melihat biayanya: Rp. 155.ooo. Tertulis tanpa dosa dalam perincian: Adm. Rumah Sakit Rp 30.000 + Konsultasi Rp. 125.000. Mencoba memaklumi dalam hati, “yah..wajarlah biaya itu di jaman sekarang. Tinggal ngambil obat nih…”.
Setelah memberi salinan resep di loket pengambilan obat, tak lama saya dipanggil. Sang petugas berujar, – yang kemudian membuat ledakan sepi di dalam diri saya – “Jadi dua ratus delapan belas ribu dua ratus empat puluh”. ASTAGA! BUSET! ALAMAK! GAWAT! PARAH! MONYET! SIALAN! Dan seterusnya, dan seterusnya – bahaya kalau diteruskan umpatan itu.
Obat yang berisi 3 macam obat, yang tiap jenisnya berjumlah 10 biji itu, dihargai dua ratus ribu lebih! Ternyata biaya 155.oo tadi tidak beserta obat. Sepanjang jalan menuju parkiran motor sampai di rumah – bahkan sampai di kamar, sampai minum obat, sampai berak dan kencing, sampai tidur dan bangun lagi, sampai detik ini – saya terus berpikir tentang nominal tadi. Pantas saja orang miskin enggan berobat. Jumlah tadi terlalu besar. Bukan bagi mereka saja, tapi bagi saya sendiri. Honor mengajar dan menulis bisa ludes kalau sering begini.
Sangat amat disesalkan ketika sebuah lembaga publik yang harusnya melayani masyarakat, malah membebani. Motif komersilnya malah memeras dan menimbun jengkel pada masyarakat. Apakah sebenarnya tujuan rumah sakit, sekolah, pengadilan, dan lain-lain? Bukan melayani masyarakat? Bukankah mengobati orang sakit, mendidik orang bodoh, dan menegakkan kebenaran? Kalau tujuan seperti ini yang melandasi, tentunya motif komersil tidaklah diperlukan. Kalau memang mau mengeruk laba sebesar-besarnya, dirikanlah perusahaan bangsat, jadilah makelar, bangunlah rumah bordil, rayakanlah perjudian!
Ketika saya merengek pada nyokap soal biaya, dia malah melarang, dan berujar, “yah emang segitu!”. Berarti, orang miskin pun dilarang merengek, terlebih protes. Atau nanti ada yang menyahut, “Siapa suruh miskin!”.
Sementara itu, saya baru saja membaca di halaman depan KOMPAS edisi 27 Juni ketika menunggu pengambilan obat. Pada judul ‘Cendikiawan Berkomitmen’ yang ditulis ST Sularto itu, tertulis di sana, “Cendikiawan harus memihak kelas atau kelompok tertentu. Justru kalau kaum intelektual terbenam dalam menara gading dengan moralitasnya dan abai memberikan sumbangan untuk masyarakatnya, mereka adalah intelektual yang tak bermoral.”
Masihkah ada dokter (baca: cendikiawan) yang bermoral di negeri ini? Pasti ada! Walau sejumput…
Source :  http://roythaniago.wordpress.com/2008/06/30/orang-miskin-dilarang-sakit/

Post a Comment

Previous Post Next Post