Bagi yang suka pencitraan, memegang teguh kesantunan, menempatkan
keselarasan
dlsb.
"marah" adalah perilaku yang tidak terpuji. Ini
adalah salah satu dari tujuh induk dosa "sokicailomama"
(sombong, kikir, cabul, iri-hati, loba,
marah dan malas). Lalu mengapa di da1am Injil yang diperdengarkan dan
diwartakan hari ini (Minggu Prapaska III 2015: Yoh 2: 13-25),
Tuhan Yesus marah-marah dan mengusir orang-orang yang menyalah
gunakan Bait Allah untuk bisnis? Jelas bahwa secara sosial kemasyarakatan tindakan Yesus tidak
simpatik, tidak etis, tidak populer, arogan, dlsb. Ia bukan seorang konformis, yang memegang keselarasan agar keharmonisan di dalam keberagaman sosial tetap terjaga. Ia tidak merasa minor di tengah-tengah para imam, ahli taurat, orang-orang
farisi, penjaga Bait Allah, dIsb. yang permisif menjadikan Bait
Allah sebagai "a big market" alias "super market". Para murid Yesus, di akhir nanti mengambil kesimpulan bahwa cinta akan rumah AllahBapa telah membakar hati Yesus. HatiNya menjadi hangus. Ia
benci terhadap praktek mencampuradukkan tempat sakral dengan berbagai macam kegiatan yang
profan. Ini bagian dari misi Yesus untuk mengalahkan dosa manusia.
"Marah" dapat menjadi ambivalen, yang artinya bermakna ganda. Nah, di
da1amYesus Kristus, yang sungguh Allah dan sungguh manusia, dapat kita perhatikan dua hal berikut ini :
Pertama, "Orang tidak bisa marah" dan menjadi santun menurut ukuran
sosial-kemasyarakatan adalah bagian dari dosa sosial yang membelenggu. Mengapa? Karena ada larangan,
"Jangan marah!" Pembatinan larangan ini
masuk ke dalam pribadi kita dan menjadi mekanisme
pertahanan diri. Kita menjadi permisif untuk hal-hal yang sebenarnya
menimbulkan kekecewaan karena diperlakukan tidak adil, merasa tidak
dihargai atau disepelekan, dlsb. Orang tidak lagi berperilaku
spontan, karena sela1u harus menjaga diri demi keselarasan hidup bersama orang lain, terlebih yang jauh lebih tua
daripada dirinya.
Spontanitas, kepolosan, berterusterang, transparan...ada1ah kualitas kepribadian manusia,
yang bisa hilang dari dirinya, karena ditekan oleh otoritas
di luar dirinya, yaitu tatanan masyarakat yang secara imperatif mengatakan, "Jangan marah! Jangan
emosionil! Jangan sok melawan! Jangan arogan! Kamu harus bisa
menjaga diri!" Yesus mengajak kita
untuk menjadi seperti anak kecil, "Aku berkata
kepadamu, sesungguhnya
jika kamu tidak bertobat dan
menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Solga."(Luk 11:3). Yesus, yang tidak mau pura-pura dan mengajak kita untuk dengan tegas melaksanakan sabdaNya, "Jika ya, hendaklah kamu katakan:
ya, jika tidak,
hendaklah kamu katakan:
tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat," adalah Dia
yang ingin menempatkan kita ini sebagai anak-anak Allah Bapa di Surga.
Kedua, Yesus marah,
karena Ia sedang menempatkan kehendak Allah Bapa sebagai "Suprema Lex" atau "Hukum Yang Utama dan Pertama". Di dalam Doa Bapa Kami kita temukan, "Jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam Sorga." Oleh Yesus doa ini bukan
sekedar diucapkan, tetapi dihidupi. Sampai-sampai ketika Dia sedang berdoa di taman
Getsemani, Ia mengatakan, "Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu,
ambillah cawan ini dari pada-Ku,
tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki." (Mrk 14: 36). Godaan
terbesar manusia jatuh ke dalam dosa ialah ketika ia mau menempatkan dirinya sebagai pusat dan
bahkan menyamai Allah. Para hamba Allah yang bertugas melayani Jema'atNya dapat jatuh ke
dalam dosa berat, yaitu ketika atas nama Allah bertindak secara sewenang-wenang terhadap umatNya.
Kekuasaan para hamba Allah dapat sedemikian tidak terbatas, bahkan sampai mencabut nyawa manusia,
seperti sedang dilakukan oleh anggota ISIS di daerah Timur Tengah.
Demikian sudah lebih dulu terjadi 2000 tahun lalu seorang Imam Agung, yaitu Kayafas,
mengambil keputusan agar Yesus dihukum mati. Yesus yang dapat membangkitkan orang mati
dan Dia sendiri dibangkitkan oleh Allah Bapa,
telah mengosongkan diri untuk menjadi "obyek" kemarahan orang-orang berdosa. Dia yang atas
nama Allah dapat marah, telah merendahkan Diri agar kehendak Allah terjadi. Demikianlah di hadapan
Konstitusi atau Undangundang Dasar
untuk hidup Berbangsa dan Bernegara, kepentingan
rakyat di-kedepankan lebih daripada kepentingan
sekelompok orang atau partai. Ungkapan dari jaman Santo Ambrosius (th 339-397), "Vox Populi = Vox Dei" (Suara Rakyat = Suara Allah) sering
dijadikan pegangan oleh kita yang hendak memperjuangkan kesejahteraan rakyat
lebih daripada kepentingan segerombolan "begal”. Ketika hal ini tidak terjadi, maka ada alasan untuk marah seperti Tuhan Yesus marah, tanpa terjebak pada kesantunan sosial dengan
istilah sok jagoan, arogan, sombong,
dlsb.
Semakin menyerupai
Yesus, yang adalah Allah dan sekaligus manusia, memang tidak mudah. Karena dari satu sisi kita hidup di
dalam transendensi ilahi, namun dari lain sisi kita juga hidup di dalam immanensi kemanusiaan dengan corak
khas humilitas (humus = Tanah) yang memang tidak
bisa disangkal. Kita sekaligus sombong, karena ambil-bagian di dalam keilahian A11ah dan
sekaligus rendah hati karena memang corak kefanaan diri manusia yang dapat mati ini tidak dapat
dipungkiri. Kita berasal dari tanah dan akankembali menja ditanah.
Doa: Tuhan Yesus, ajarilah kami untuk berpegang
teguh pada kehendak Allah Bapa, sebagaimana Engkau telah memberi contoh teladan sampai wafat di kayu salib. Juga apabila kami mesti "marah", buatlah kami marah seperti Engkau yang mencintai Allah Bapa dengan segenap hati, jiwa, pikiran dan tenaga. Jauhkan kami
dari semangat suam-suam
kuku ketika mesti berhadapan dengan
hal-hal yang tidak sesuai dengan kehendak Allah di Sorga. Amin.
Salam dan Doa
Pastor Hadrianus Wardjito
SCJ
Warta Paroki Santo Barnabas No 10 THN xxII 08 Maret 2015
UNTUK KALANGAN SENDIRI
Warta Paroki Santo Barnabas No 10 THN xxII 08 Maret 2015
UNTUK KALANGAN SENDIRI
Post a Comment