Imam adalah orang yang dikuduskan Tuhan untuk mempersatukan manusia dengan Tuhan. Kuasa mempersatukan ini telah diberikan oleh Allah melalui penumpangan tangan pada saat tahbisan, yaitu sebagai suksesi apostolik yang pernah dilakukan Yesus terhadap para rasul untuk menyalurkan rahmat Allah bagi manusia. Namun dalam prakteknya, identitas tersebut sering terhalang oleh dimensi manusiawi para imam.
Fakta di lapangan dimana para imam sering kehilangan kendali untuk tetap teguh secara khusus dalam janji selibatnya. Meskipun hal itu dilakukan oleh oknum imam yang jumlahnya sedikit tetapi hal itu sungguh mencoreng wajah Gereja secara khusus identitas imam sebagai orang yang dikuduskan untuk mengabdi secara tulus dan bulat kepada Tuhan. Dari fakta tersebut, kita patut bertanya, mengapa para imam yang telah dikuduskan demi Tuhan masih tergiur melanggar janji yang pernah diungkapkan di depan umat dan altar? Apakah masih relevan imam hidup selibat di jaman modern?
Identitas Imam
Seperti yang telah dituliskan di atas bahwa imam ministerial/jabatan merupakan sarana mempersatukan manusia dengan Allah karena dia memiliki tri tugas Kristus yaitu sebagai nabi, imam dan raja. Identitas imam memiliki tiga dimensi yaitu, pneumatologis, kristologis dan eklesiologis Struktur asli teologis imam dipanggil untuk menjadi pelayan keselamatan. Imam merupakan abdi Allah dan berpangkal dari dan kepada Kristus.
Jati diri atau identitas imam bersumber dari Allah Tritunggal. Hubungan mendasar imam dengan Yesus Kristus sangat erat. Sebagaimana Yesus Imam agung adalah seorang gembala yang baik. Yesus mengenal domba-dombaNya dan mengorbankan hidupnya bagi mereka dan mengumpulkan mereka yang tercerai berai dalam satu kawanan yaitu di dalam diriNya sendiri (Yoh 10:11-16). Yesus adalah Gembala yang datang bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (Mat 20: 28), dan Gembala yang rela mencuci kaki para muridNya (Yoh 13:1-20). Dia adalah pribadi yang berusaha melawan godaan-godaan setan/iblis (Mat 4:1-11), hidup dalam doa (Matius 26: 36-46, Mrk 14:32-42, Luk 22:39-46) dan memberikan pengampunan bagi orang berdosa, tidak mau jatuh ke dalam dosa tetapi membantu orang agar tidak jatuh ke dalam dosa (Mrk 26:6-13). Melalui dan di dalam Dia, banyak orang bertobat dan diselamatkan (Yoh 1:1-18). Sebagaimana imam adalah wakil Kristus di dunia (in persona christi), maka para imam pula harus selalu menyerupai Kristus agar mampu memantulkan wajah Kristus.
Faktor-faktor Penyebab Ketidaksetiaan Imam pada Janji Selibat
Di atas, penulis telah menuliskan masalah selibat sebagai janji yang sering menjadi momok para imam. Masalah selibat para imam yang terbongkar sering membuat pendengar baik itu umat, calon imam atau siapa saja menjadi miris terhadap imam. Selain itu orang mulai mengajukan sejumlah keberatan dan pertanyaan akan makna hidup selibat. Ada banyak faktor yang menyebabkan imam melanggar janji selibatnya. Pertama, faktor psikologis (intern). Kematangan afeksi dapat juga sebagai pendorong kematangan seksual. Semakin seseorang mampu mengontrol emosionalnya maka semakin besar kemungkinan baginya untuk mengatur dorongan seksualnya. Kematangan afeksi sangat dipengaruhi oleh sejumlah memori pengalaman masa lalunya. Bila seseorang memiliki kematangan masa lalu yang tidak bahagia, ada kemungkinan dia mencari sublimasi ketenagannya melalui seksual. Kedua, faktor globalisasi. Globalisasi merupakan sistem peradapan penyeragaman nilai-nilai. Ada kecenderungan di jaman ini bahwa sesuatu dianggap bernilai bila sesuatu itu menyenangkan, membahagiakan, bersifat gebyar, hedonis, materialis, tidak menuntut askese, maupun matiraga, memiliki banyak uang dan penyaluran seks secara bebas, tidak ada nilai yang absolut. Nilai dalam tataran spiritual yang menuntut askese, matiraga, keheningan, memikul salib/penderitaan diaggap sudah tidak relevan lagi.
Di atas, penulis telah menuliskan masalah selibat sebagai janji yang sering menjadi momok para imam. Masalah selibat para imam yang terbongkar sering membuat pendengar baik itu umat, calon imam atau siapa saja menjadi miris terhadap imam. Selain itu orang mulai mengajukan sejumlah keberatan dan pertanyaan akan makna hidup selibat. Ada banyak faktor yang menyebabkan imam melanggar janji selibatnya. Pertama, faktor psikologis (intern). Kematangan afeksi dapat juga sebagai pendorong kematangan seksual. Semakin seseorang mampu mengontrol emosionalnya maka semakin besar kemungkinan baginya untuk mengatur dorongan seksualnya. Kematangan afeksi sangat dipengaruhi oleh sejumlah memori pengalaman masa lalunya. Bila seseorang memiliki kematangan masa lalu yang tidak bahagia, ada kemungkinan dia mencari sublimasi ketenagannya melalui seksual. Kedua, faktor globalisasi. Globalisasi merupakan sistem peradapan penyeragaman nilai-nilai. Ada kecenderungan di jaman ini bahwa sesuatu dianggap bernilai bila sesuatu itu menyenangkan, membahagiakan, bersifat gebyar, hedonis, materialis, tidak menuntut askese, maupun matiraga, memiliki banyak uang dan penyaluran seks secara bebas, tidak ada nilai yang absolut. Nilai dalam tataran spiritual yang menuntut askese, matiraga, keheningan, memikul salib/penderitaan diaggap sudah tidak relevan lagi.
Semua nilai di jaman modern tersebut telah berusaha memasuki dimensi kesadaran para imam. Salah satu penyebab imam yang tidak setia pada janji selibatnya adalah karena dia telah dipengaruhi oleh faktor destruktif globalisasi tersebut. Ketiga, faktor pemahaman teologi. Imam yang tidak setia pada selibatnya bisa juga dipengaruhi bahwa dia kurang memiliki wawasan yang luas tentang hidup selibat. Dia tidak memahami konsekuensi dan akibatnya seperti yang tertulis dalam KHK, kan. 599, Perfectae Caritatis, art. 12, Vita Consecrata art.88. Keempat, faktor lawan jenis. Pesona lawan jenis yang indah ditatap berpengaruh dalam membuat imam untuk tidak setia pada selibatnya. Kelima, faktor hidup rohani. Hidup rohani berkaitan dengan relasi intim seorang imam dengan Sang Gembala Agungnya. Relasi intim ini mengandaikan kesadaran imam bahwa dia tidak dapat menjalankan hakikat keimamatannya sendiri sehingga dia selalu berpasrah, dan menimba kekuatan dari Sang Gembala Agungnya. Imam yang tidak setia pada janji selibatnya karena dia tidak menjadikan Kristus sebagai pusat segala hidup dan jalannya. Keenam, konskupisensi. Kesalahan dosa manusia pertama telah merembes ke dalam setiap umat manusia. Imam juga manusia yang memiliki kecenderungan berbuat dosa.
Saran-saran Pembinaan
Ketika imam melanggar hidup selibatnya, tidak relevan kalau kita mempertanyakan efisiensi dan efektivitas maupun keaktualan/kerelevanan hidup selibat. Hidup selibat imam tetap relevan karena Kristus dan para rasul telah melakukannya sebagai persembahan diri agar imam dapat memberikan cinta universal kepada semua manusia dan Allah dan demi efektivitas pelayanan dan pewartaan Sabda Allah. Hal yang kita pertanyakan adalah cara hidup para imam dan bukan esensi selibatnya. Esensi/hakikat hidup selibat sebagai sarana penyerahan diri total kepada Tuhan tidak akan teraktualisasi dengan baik bila cara hidup imam tidak terarah pada hakikat keselibatannya.
Atas masalah yang dihadapi oleh segelintir umat dan berbagai faktor penyebab tersebut, diharapkan agar imam kembali menyadari hakikatnya sebagai alat Tuhan untuk mewartakan keselamatan. Upaya-upaya juga mencakup upaya promotif (selibat demi pemberian kasih secara bebas), preventif (imam harus selalu hidup dalam kehati-hatian), kuratif (imam harus mau bertobat bila telah melakukan kesalahan) dan rehabilitatif (imam harus selalu mengusahakan diri pada nilai-nilai Kristus). Usaha tersebut dirinci dalam dua bagian yaitu internal dan eksternal.
Identifikasi diri
Pertama, internal. Seorang imam harus selalu mengidentifikasikan dirinya dengan Kristus. Identifikasi berarti berusaha menyerupai Kristus baik dari segi kekudusan/selibaterNya, perjuangan, humanitas, dsb (lihat identitas imam di atas). Sebagaimana sebuah perbuatan baik dapat dilakukan dengan baik bila pribadi yang bersangkutan membiasakan diri untuk melakukan perbuatan baik tersebut. Demikian juga seorang imam akan mampu menyerupai Kristus bila dia selalu mengindentifikasi dirinya dengan Kristus. Dari identifikasi ini, imam akan mampu menyadari dirinya sebagai in persona christi, mampu membedakan antara apa yang menjadi kebutuhan (lebih mendalam) dan keinginannya (bersifat dangkal:hasrat, nafsu, dsb), mampu hidup di dunia modern/globalisasi meskipun tidak harus lari dari dunia (fuga mudi), mampu melihat seks bukan hanya sebagai hubungan intim tetapi sebagai persembahan diri yang utuh kepada Tuhan secara bebas dan pada akhirnya mampu mengatasi konkupisensianya. Oleh sebab itu, para imam harus selalu mengambil waktu tenang baik pada pagi hari ataupun sore hari untuk selalu merefleksikan dirinya apakah sudah selaras/identik dengan kehendak Kristus.
Dalam refleksi tersebut, imam harus sadar bahwa hidup selibatnya diperuntukkan demi semakin optimalnya pewartaaan Sabda Allah dan sebagai perwujudan wajah Kristus di dunia. Imam harus memberikan seluruh tubuhnya bagi Allah, totalitas dirinya, sebagaimana Kristus berkata, “Inilah tubuhKu” tanpa memiliki pretensi seks sebagai persatuan pria dan perempuan tetapi sebagai totalitas diri tanpa syarat demi keselamatan umat manusia. mempersembahkan diri seutuhnya berarti masuk dalam kesunyian afektif rohani, menerima dengan berani dan setia. Seperti Bunda Maria menerima kesuburan hidupnya dalam pertemuan dengan misteri keselamatan. Dengan demikian adanya integrasi antara spiritualitas dan seksualitas. Integrasi tersebut akan memampukan imam untuk mengekspresikan imamat sebagai karunia. Selain itu, bagi imam yang memiliki luka batin atau pengalaman masa lalu yang suram diharapkan agar selalu mengolahnya/menyembuhkannya dengan bantuan iman, psikolog.
On going formation external
Kedua, eksternal. Konggregasi/serikat/ordo maupun keuskupan imam yang bersangkutan harus memfasilitasi imam kesempatan untuk retret, pembinaan-pembinaan, seminar, dsb. Agar kesadaran imam akan hakikat keimamatannya semakin bertumbuh dan berkembang, dan pihak yang berwenang (konggregasi/serikat/ordo/keuskupan) harus juga selalu setia untuk selalu mensosialisasikan KHK, kan. 599, Perfectae Caritatis, art. 12, Vita Consecrata art.88 dan mengambil tindakan yang tegas terhadap setiap pelanggaran imam sesuai dengan porsi atau beratnya masalah selibat yang diperbuat imam.
Penutup
Imam merupakan pribadi yang bertindak atas nama Kristus (in persona christi). Sebagaimana Kristus telah memberikan seluruh tubuhNya bagi keselamatan manusia, maka para imam juga harus memberikan keutuhan tubuhnya bukan untuk dikonsumsi dalam tataran hubungan seksual dengan perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan imam tidak setia dengan selibatnya. Ketidaksetiaan ini dapat diatasi bila imam selalu mengidentifikasi diri dan tubuhnya dengan diri dan tubuh Yesus Kristus. Dengan identifikasi ini, hari demi hari imam semakin berusaha menyelaraskan diri dengan kehendak Kristus. Melalui identifikasi ini, imam selalu diarahkan pada nilai injili bukan pada nilai globalisasi. Identifikasi ini disebut pula dengan internalisasi hidup Kristus ke dalam diri imam. Semakin orang mengidentifikasi dirinya dengan Kristus maka dia akan setia pada nilai-nilai selibatnya di tengah hiruk piruk pemaknaan tubuh hanya dalam tataran seks atau hubungan intim. Dengan demikian hidup selibat tetap aktual. Namun keaktualannya tergantung pada kemauan imam untuk selalu mengindetifikasi dirinya dengan Kristus.
Daftar Pustaka
Darminta, J, S.J, Persembahan Cintaku, Yogyakarta: Kanisius, 1974
Dokumen Konsili Vatikan II, Presbyterorum Ordinis.
KWI, Kitab Hukum Kanonik, Jakarta: KWI, 2006.
Konggregasi Klerus, Imam Gembala dan Pemimpin Paroki, Yogyakarta: Dokpen KWI, 2005.
Paulus II, Yohanes,. Pastores Dabo Vobis, Jakarta: Dokpen KWI, 1992.
Rahmadhani, Deshi, S.J, Lihatlah Tubuhku, Membebaskan Seks bersama Yohanes Paulus II,
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Suparno, Paul, SJ, Seksualitas Kaum Berjubah, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Suparno, Paul, SJ, Seksualitas Kaum Berjubah, Yogyakarta: Kanisius, 2007
Post a Comment