Apakah Hukum Taurat Dibatalkan Yesus?
Banyak orang yang bingung tentang apakah Yesus membatalkan atau menggenapi Hukum Taurat. Mat 5:17 menuliskan “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Mat 5:17 menuliskan bahwa Yesus tidak membatalkan Hukum Taurat namun Ef 2:15 menyatakan bahwa Yesus membatalkan Hukum Taurat, dengan menuliskan “sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera.” Untuk mengerti tentang hal ini, maka kita melihat terlebih dahulu 3 macam hukum di dalam Perjanjian Lama. St. Thomas Aquinas (ST, I-II, q. 98-108) mengatakan bahwa ada 3 macam hukum di dalam Perjanjian Lama, yaitu:
Moral Law atau hukum moral: Hukum moral adalah bagian dari hukum kodrati, hukum yang menjadi bagian dari kodrat manusia, sehingga Rasul Paulus mengatakan “Sebab dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka dan suara hati mereka turut bersaksi dan pikiran mereka saling menuduh atau saling membela” (Rom 2:15). Contoh dari hukum ini adalah yang tertulis di 10 perintah Allah, dimana terdiri dari dua loh batu, yang mencerminkan kasih kepada Allah (perintah 1-3) dan juga kasih kepada sesama (perintah 4-10). Hukum kodrati ini adalah hukum yang tetap mengikat (bahkan sampai sekarang) dan digenapi dengan kedatangan Kristus, karena hukum kodrati ini adalah merupakan partisipasi di dalam hukum Tuhan.
Dalam pengertian inilah maka memang Tuhan Yesus tidak mengubah satu titikpun, sebab segala yang tertulis dalam hukum moral ini (sepuluh perintah Allah) masih berlaku sampai sekarang. Dengan prinsip ini kita melihat bahwa menguduskan hari Sabat dan memberikan persembahan perpuluhan, sesungguhnya adalah bagian dari hukum moral/ kodrat, di mana umat mempersembahkan waktu khusus (Sabat) dan hasil jerih payah (perpuluhan) kepada Allah.
Ceremonial law atau hukum seremonial: sebagai suatu ekpresi untuk memisahkan sesuatu yang sakral dari yang duniawi yang juga berdasarkan prinsip hukum kodrat, seperti: hukum persembahan termasuk sunat (Kel 17:10, Im 12:3), perpuluhan (Mal 3:6-12), tentang kesakralan, proses penyucian untuk persembahan, tentang makanan, pakaian, sikap, dll. Hukum ini tidak lagi berlaku lagi dengan kedatangan Kristus, karena Kristus sendiri adalah persembahan yang sempurna, Kristus menjadi Anak Domba yang dikurbankan. Maka persembahan yang paling berkenan kepada Allah adalah kurban kita yang dipersatukan dengan korban Kristus dalam Ekaristi kudus.
Itulah sebabnya di Gereja Katolik sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Yesus dan juga para rasul (Petrus dan Paulus) juga tidak mempermasalahkan makanan-makanan persembahan, karena bukan yang masuk yang najis, namun yang keluar. Ulasan ini dapat melihat di jawaban ini (silakan klik ini, dan juga klik ini). Kalau kita mau terus menjalankan hukum seremonial secara konsisten, maka kita harus juga menjalankan peraturan tentang makanan yang lain, seperti larangan untuk makan babi hutan, jenis binatang di air yang tidak bersisik (ikan lele), katak, dll. (Lih Im 11).
Judicial law atau hukum yudisial: Ini adalah merupakan suatu peraturan yang menetapkan hukuman/ sangsi sehingga peraturan dapat dijalankan dengan baik. Oleh karena itu, maka peraturan ini sangat rinci, terutama untuk mengatur hubungan dengan sesama, seperti: peraturan untuk penguasa, bagaimana memperlakukan orang asing, dll. Contoh dari hukum yudisial: kalau mencuri domba harus dikembalikan empat kali lipat (Kel 22:1); hukum cambuk tidak boleh lebih dari empat puluh kali (Ul 25:3); mata ganti mata, gigi ganti gigi (Kel 21:24, Im 24:20, Ul 19:21); sangsi jika hukum perpuluhan dilanggar (lih. Bil 18:26,32). Setelah kedatangan Kristus, maka judicial law ini tidak berlaku lagi. Kalau kita mau konsisten, kita juga harus menjalankan hukuman rajam, hukum cambuk, dll. Di masa sekarang, hukum yudisial ditetapkan oleh penguasa/ pemerintah negara yang bersangkutan sebagai perwakilan dari Tuhan, sehingga hukum dapat ditegakkan untuk kepentingan bersama. Menarik bahwa Yesus tidak mengajarkan hukum yudisial, karena hal itu telah diserahkan kepada kewenangan otoritas pada saat itu. Dan kewenangan disiplin di dalam kawanan Kristus diserahkan kepada Gereja, di mana disiplin ini dapat berubah sejalan dengan perkembangan waktu dan keadaan. Ini juga yang mendasari perubahan Kitab Hukum Gereja 1917 ke 1983.
Dengan adanya penjelasan dari St. Thomas ini, maka, kita mengetahui bahwa memang Kristus merupakan penggenapan Hukum Taurat Musa. Dan dengan peranNya sebagai penggenapan, maka Kristus tidak mengubah hukum moral, namun hukum seremonial dan yudisial yang dulu tidak berlaku lagi, karena hukum- hukum tersebut hanya merupakan ‘persiapan’ yang disyaratkan Allah agar umat-Nya dapat menerima dan menghargai kesempurnaan yang diberikan oleh Kristus. Maka dalam PB, sunat, tidak lagi sunat jasmani, tetapi sunat rohani (Rom 2:29).
Penekanan kerohanian ini juga nampak dalam pengaturan persembahan; sebab persembahan perpuluhan PL disempurnakan oleh perintah untuk memberi persembahan kepada Allah dengan suka cita sesuai dengan kerelaan hati (lih. 2 Kor 9:7). Dengan demikian, maka Allah tidak lagi memberikan patokan tertentu; dan pada orang-orang tertentu, “kerelaan hati dan sukacita” ini malah melebihi dari sepuluh persen. Kita ketahui dari kisah hidup para kudus, dan juga pada para imam dan biarawan dan biarawati, yang sungguh mempersembahkan segala yang mereka miliki untuk Tuhan. Dengan demikian mereka mengikuti teladan hidup Kristus yang memberikan Diri-Nya secara total kepada Allah Bapa dan manusia. Di sinilah arti bagaimana penggenapan Hukum Taurat memberikan kepada kita hukum kasih yang baru. Yesus tidak membatalkan hukum Taurat, sebab dengan mengenal hukum Taurat, kita akan dapat lebih memahami Hukum Kasih yang diberikan oleh Kristus.
Demikian juga dalam hal hukum yudisial/ judicial law. Penggenapan PL oleh Kristus mengakibatkan dikenalnya nilai-nilai Injil secara universal di seluruh dunia. Maka prinsip martabat hak-hak azasi manusia ditegakkan secara umum di negara manapun, oleh pihak otoritas pemerintahan setempat. Atau, di dalam kalangan umat Allah, penetapan hukum yudisial ini diberikan Yesus kepada Gereja, seperti yang tertera dalam Kitab Hukum Kanonik. Gereja yang menjadi umat pilihan Allah yang baru mendapat kuasa untuk mengatur anggota-anggota-nya (lih. Mat 18:18) dan segala ketentuan hukum yudisial ini adalah berdasarkan ajaran Kristus. Dengan Kristus sebagai penggenapan Hukum Taurat, maka tidak lagi dikenal prinsip denda, ‘mata ganti mata dan gigi ganti gigi’ (Kel 21:24, Mat 5:58) namun kembali ke pengajaran asal mula ‘kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri’ (Mat 22:39), yang disempurnakan Kristus menjadi, ‘kasihilah musuhmu’ (Mat 5:44). Pemahaman kita akan perintah kasih yang diajarkan oleh Yesus ini akan dapat lebih kita hayati setelah pertama- tama mengetahui bahwa kita harus melakukan prinsip keadilan seperti yang sangat ditekankan di dalam PL. Baru setelah kita menerapkan prinsip keadilan, kita mengetahui bahwa ajaran Kasih Kristus di PB ternyata jauh melampaui prinsip keadilan itu.
Demikian yang dapat kami tuliskan tentang pertanyaan anda. Mari kita bersama membaca Kitab Suci dengan selalu memperhatikan kesatuan antara Perjanjian Lama (PL) dan Perjanjian Baru (PB). Jangan lupa, sekitar 2/3 Kitab Suci terdiri dari Perjanjian Lama; maka terdapat pengajaran-pengajaran di PL yang memang masih sangat relevan bagi kita untuk dikaitkan dengan PB, sehingga kita dapat semakin lebih menghargai dan menghayati penggenapannya di dalam diri Kristus Yesus Tuhan kita. Dengan pengertian ini maka Yesus memang tidak menginginkan seorangpun untuk menghilangkan satu titikpun dari hukum Taurat (lih. Mat 5:17-19), sebab Ia ingin agar kita dapat melihat secara utuh penggenapan dan penyempurnaan hukum Taurat itu dalam diri-Nya.
By : Stefanus Tay & Ingrid Tay
Source : katolisitas.org
إرسال تعليق