Aksi di depan Istana Negara
GKI Yasmin kecam pernyataan Menteri Agama terkait ibadah di depan istana
Jemaat GKI Yasmin di Bogor, Jawa Barat yang sampai sekarang masih menghadapi masalah terkait pendirian gereja, mengecam pernyataan Menteri Agama Suryadharma Ali yang mengkriritik langkah GKI Yasmin menggelar ibadah di depan Istana Negara di Jakarta, untuk menggugah pemerintah menyelesaikan persoalan yang mereka alami.
Dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Selasa (9/7), Suryadharma meminta GKI Yasmin agar tidak membesar-besarkan persoalan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja mereka, serta mengatakan, masalah IMB tidak hanya dialami oleh kaum minoritas, tetapi juga oleh kaum mayoritas.
“Bukan hanya gereja yang menghadapi masalah IMB, masjid juga mengalami hal yang sama”, katanya.
Ia mencontohkan pembangunan sebuah masjid milik Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz di Jalan Talang, Menteng, Jakarta Pusat yang menghadapi kendala IMB.
“Waktu dibangun posisi Pak Djan Faridz adalah pengusaha, ketua wilayah NU di Jakarta. Gubernurnya Fauzi Bowo, mantan ketua NU DKI. Keduanya orang NU. Tapi, masjidnya pak Djan tidak dapat IMB karena persyaratan dapatkan IMB belum dapat dilengkapi,” ujar Suryadharma.
Ia mengatakan, “Kalau masjid bermasalah tidak ada membawa umatnya salat di depan istana.”
Dalam kasus GKI Yasmin, kata menteri yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini, ada upaya oknum-oknum yang tidak suka dengan kerukunan agama lalu membesar-besarkan masalah ini.
Ia mengajak semua pihak untuk melihat persoalan secara lebih komprehensif. “Masih banyak persoalan rumah ibadah di Bali dan Papua. Jika ini terus diangkat, hal ini tidak baik,” ujanya.
Merespons penyataan Suryadharma, Bona Sigalingging, juru bicara GKI Yasmin mengatakan, contoh rumah ibadah yang disebutkan Menteri Agama yang kebetulan adalah sebuah masjid tidak cocok untuk menggambarkan kasus yang dialami GKI Yasmin.
Menurut Bona, kasus itu konteksnya adalah sebuah rumah ibadah yang sedang dalam upaya dan proses mendapatkan IMB, sedang melengkapi IMB.
“Saat dulu GKI Yasmin belum ber-IMB, dan sedang mengurus persyaratan, jemaat juga tidak menggelar peribadatan di bangunan gereja di Taman Yasmin, atau di trotoar gereja atau di seberang istana”, katanya kepada ucanews.com, Rabu (10/7).
Ia menjelaskan, kasus GKI Yasmin adalah kasus dimana gereja telah ber-IMB sah sejak 2006, namun dibekukan oleh Walikota Bogor Diani Budiarto pada 2008 dan pembekuan ini digugat ke pengadilan yang ternyata hingga ke tingkat Kasasi di Mahkamah Agung pada 2009 dan bahkan tingkat Peninjauan Kembali (PK) pada 9 Desember 2010.
“Semua putusan pengadilan itu mengukuhkan bahwa IMB gereja adalah sah dan pembekuan adalah melawan hukum”, jelas Bona.
Alih-alih mengikuti putusan MA, kata Bona, justeru Walikota mencabut permanen IMB gereja pada 2011 dan pencabutan permanen ini oleh Ombudsman RI pada 8 Juli 2012 telah dinyatakan sebagai perbuatan mal-administrasi dan melawan hukum.
“Hal ini ternyata juga tidak diindahkan Walikota Bogor dan pemerintah pusat sama sekali tidak mengkoreksi perbuatan melawan hukum ini”, ungkapnya.
Bona mengatakan, karena adanya pembangkangan hukum yag terjadi bertahun-tahun dan didiamkan oleh Presiden RI lah, maka jemat GKI Yasmin menggelar ibadah diseberang Istana Merdeka Jakarta.
“Ibadah di seberang istana yag kami lakukan adalah gugatan publik pada negara yang mendiskriminasi warga negaranya sendiri dengan memakai aturan IMB sebagai alat legitimasi pendiskriminasian”, tegasnya.
Senada dengan itu, Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG), sebuah koalisi dari 24 LSM HAM mengatakan, pernyataan tersebut tidak pantas diucapkan seorang pejabat tinggi negara.
“Karena negara wajib melindungi semua golongan masyarakat baik mayoritas dan minoritas.”, katanya.
Menurutnya, terkait kasus GKI Yasmin, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak melaksanakan keputusan hukum tertinggi dari MA
“Jadi, ia (Menag) tidak bisa membandingkan persoalan administratif dengan sebuah gereja yang yang izin berdirinya sudah mempunyai kekuatan hukum tertinggi , yaitu dari MA”, tegas Rafendi.
Theophilus Bela, Sekjen Indonesian Committee of Religion for Peace(IComRP), mengatakan, sudah saatnya pemerintah tidak menutup mata terhadap berbagai aksi kekerasan dan tindakan memalukan yang dilakonkan oleh kaum yang melanggengkan intoleransi dan diskriminasi..
“Dalam hal ini Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri serta aparat penegak hukum harus mengambil langkah yang tegas. Mereka juga tidak boleh cuci tangan terhadap persoalan yang ada sekarang” katanya.
Sebuah laporan tentang situasi kebebasan beragama di Indonesia yang dikeluarkan Setara Institute awal pekan ini menunjukkan bahwa selama Januari – Juni 2013, telah terjadi 122 tindakan pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Korbannya antara lain didominasi oleh kelompok Kristen, Ahamdiyah dan Syiah.
Ryan Dagur, Jakarta
Source : indonesia.ucanews.com
Post a Comment