SAATNYA INTOLERANSI DIHENTIKAN DAN PANCASILA TETAP JADI PEREKAT KEHIDUPAN BANGSA
Pada periode Januari-Juni 2013, SETARA Institute mencatat 122 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 160 bentuk tindakan, yang menyebar di 16 provinsi. Separuhnya terjadi di Jawa Barat (61) peristiwa, pelanggaran tertinggi berikutnya yaitu, Jawa Timur (18) dan DKI Jakarta (10) peristiwa.
Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama berkeyakinan, terdapat 70 tindakan negara yang melibatkan penyelenggara negara sebagai aktor. Dari 70 tindakan negara, 58 tindakan merupakan tindakan aktif (by commission) termasuk 11 tindakan penyegelan tempat ibadah dan 8 tindakan diskriminasi. Sementara 12 tindakan merupakan tindakan pembiaran (by omission).
Termasuk dalam tindakan aktif negara adalah pernyataan-pernyataan pejabat publik yang provokatif dan mengundang terjadinya kekerasan (condoning). Untuk pelanggaran yang melibatkan negara sebagai aktor, kerangka legal untuk mempertanggung-jawabkannya adalah hukum hak asasi manusia, yang mengikat negara sebagai konsekuensi ratifikasi kovenan dan konvensi internasional hak asasi manusia.
Namun demikian, penyikapan dalam kerangka politik dapat saja dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan menyoal kegagalan negara menjalankan mandat Konstitusi RI yang memerintahkan negara menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan.
Institusi negara yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian RI (23) tindakan, disusul unsur pemerintah daerah di semua tingkatan pemprov, pemkab/pemkot dengan (20) tindakan, serta Satpol PP (14) tindakan. Selebihnya adalah institusi-institusi dengan jumlah tindakan di bawah 8 tindakan. Dari 160 bentuk tindakan pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan, terdapat 90 tindakan yang dilakukan oleh warga negara. Tindakan yang paling menonjol adalah dalam bentuk intoleransi (19) tindakan, (9) tindakan berbagai motif pengancaman, dan (6) tindakan diskriminasi.
Walaupun wacana pluralisme dan toleransi sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, namun praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama, namun pandangan atas ‘agamaku’, ’keyakinanku,’ justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.
Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, namun praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu. Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas dan toleransi antarumat beragama di Indonesia.
Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan korporatis negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan.
Aparat hukum bertindak di atas dan berdasarkan pada fatwa agama tertentu dan penghakiman massa. Padahal, institusi penegak hukum adalah institusi negara yang seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang.
Dapat dilihat di sini, negara gagal mempromosikan, melindungi, dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara, bahkan bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan, dan membiarkan warga atau organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan.
Di sini kita melihat banyak kontradiksi. Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin, tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan yang menghambat umat untuk beribadah. Ada pengekangan.
Misalnya dalam konteks rumah ibadah. Itu bukanlah soal bagaimana rumah ibadah diserbu bahkan dibakar oleh sekelompok orang. Itu ekses saja. Jauh lebih penting dipikirkan adalah bagaimana peran pemerintah menjadi mediator, perumus dan pelaksana kebijakan-kebijakan yang mengatur pendirian rumah ibadah.
SKB yang menjadi dasar aturan itu terkesan tidak adil. Dengan demikian, pelaksanaannya melahirkan dampak umat yang tidak dewasa memandang umat lain. Bukanlah umat beragama yang serta merta dipersalahkan dalam kasus ini, melainkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat pluralitas dengan kacamata lebih adil dan menguntungkan bagi semua.
Negara gagal memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya masing-masing. Jika demikian, lalu Pancasila untuk apa? Apa untuk gagah-gagahan saja? Untuk apa para founding fathers merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan terhormat itu, jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktikkannya dengan sepenuh hati?
Membuka Ruang Dialog
Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Beribadat, seperti kata Romo Magnis, adalah hak warga paling asasi, dan hanya rezim komunis yang melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi?
Pemerintah berkewajiban menjaga, melestarikan dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat, terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama yang dianggap ”lain”. Pemerintah berkewajiban memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan pluralisme.
Itulah yang dimaui Pancasila. Dengan begitu kebijakan yang berpeluang menumbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsanya yang lain perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan. Buat apa mempertahankan sesuatu yang dianggap tidak adil? Pemerintah harus mendengar dan benar-benar mendengar tuntutan seperti ini.
Kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus dengan ornamen keagamaan dan kesukuan. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di bumi pertiwi ini. Meski kita seharusnya merajut nilai persaudaraan yang secara jelas mengacu pada Pancasila, tapi kian hari Pancasila tidak lagi menjadi tujuan hidup bersama.
Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin hari semakin terkikis oleh kefasikan keagamaan, kedaerahan dan kesukuan. Pancasila sering diucapkan tapi sama sekali tak dipahami maknanya. Sampai di sini, tak perlu lagi banyak dikatakan kecuali, kita merindukan pemimpin yang berani bertindak, pemimpin yang selaras antara ucapan dan tindakan.***
(Komentar ini ditulis oleh Pastor Antonius Benny Susetyo Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Agama dan Kepercayaan KWI, setelah membaca Mid Term Report, Januari-Juni 2013 dengan judul “Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia” yang dikeluarkan oleh SETARA Institute, 8 Juli 2013).
Oleh Pastor Benny Susetyo Pr
Source : PEN@ Indonesia
إرسال تعليق