Latest News

Wednesday, September 4, 2013

Ekaristi 2000 Tahun Lalu dan Sekarang



Ekaristi 2000 Tahun Lalu dan Sekarang
Ekaristi bagi umat non Katolik adalah satu skandal. Bagaimana mungkin Allah Yang Maha Kuasa hadir dalam rupa Roti dan Anggur? Kalaupun hal itu tersurat maupun tersirat dalam Kitab Suci banyak orang meyakini, bukankah itu hanyalah satu simbol belaka? Bagaimana hal itu mungkin terjadi dan dijelaskan? Bagaimana pula hal itu bisa diimani? Apakah Alkitab memberikan penjelasan tentang hal itu?
Bisa dipahami adanya kemungkinan timbul bermacam macam pertanyaan seputar Ekaristi, baik di kalangan masyarakat Katolik sendiri maupun non Katolik yang selama ini diperbincangkan dalam kelompok-kelompok kecil. Pertanyaan-pertanyaan sejenis ada yang mengemuka dalam pelajaran para katekumen namun ada pula yang tidak terlontar. Hal-hal yang menarik, seperti apakah dalam perayaan Ekaristi itu Tuhan sungguh hadir, dalam rupa Roti dan Anggur? Apakah perkataan “inilah TubuhKu” yang diucapkan oleh Yesus dua ribu tahun lalu sama dengan yang diucapkan oleh para imam kini dan sepanjang sejarah gereja Katolik? Apakah peristiwa yang diyakini oleh orang-orang Katolik sebagai satu peristiwa trans-substansiasi itu benar-benar terjadi, padahal komuni itu secara kasat mata masih dalam rupa roti dan anggur?
Tulisan ini berusaha untuk mengangkat topik hangat Ekaristi ke permukaan tentu dengan tujuan yang sangat positif, yaitu memberikan satu pemahaman akan Misteri Keilahian yang berujung pada pengurbanan Sang Putera itu sendiri di salib. Bagaimana Yesus sendiri yang menetapkan atau meng-institusi-kan Ekaristi itu sebagai satu puncak perayaan liturgis Gereja. Kita tahu, bahwa Ekaristi itulah yang pada mulanya menciptakan dan membentuk komunitas. Kita ingat, bahwa Kleopas murid Yesus yang frustrasi dan pulang kampung ke Emaus bersama temannya menjadi sadar akan kehadiran Yesusjustru ketika Ia mengucap syukur, memecahkan roti di hadapan mereka. Nampaknya, sosok Yesus yang berbincang pada mereka di perjalanan tak cukup membuka mata mereka akankehadiran alias kebangkitanNya. Pemecahan roti itulah yang menjadikan mereka ‘melek’ bahwa Yesus sendiri yang hadir di hadapan mereka.Kemudian, dengan bergelora dan kepala tegak mereka berlarian kembali ke komunitasnya di Yerusalem.
Kleopas murid Yesus yang frustrasi
dan pulang kampung ke Emaus
bersama temannya menjadi sadar
akan kehadiran Yesus justru ketika
Ia mengucap syukur,
memecahkan roti di hadapan mereka.
Kehadiran Nyata
Kita bisa menarik pelajaran berharga dari pengalaman Kleopas dan temannya di Emaus, bahwa mereka tak melupakan sakramen yang telah ditetapkan oleh Yesus sendiri di Ruang Atas pada saat Perjamuan Akhir.Pemecahan roti menjadi satu memori yang teramat kuat bagi mereka yang percaya.Dalam pemecahan roti, Yesus hadir di tengah mereka.
Namun sebelum melakukan pemecahan roti di Ruang Atas, Ia mengatakan hal yang harus diketahui oleh para pengikutnya.Apa yang diucapkan itu ibarat guntur di siang bolong bagi para pendengarnya. “Akulah roti yang turun dari sorga.Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan ialah dagingKu, yang akan kuberikan untuk hidup dunia.” (Yoh. 6:51)Para pengikutnya harus mendengar sesuatu yang belum pernah mereka dengar dan belum pernah mereka lihat atau bayangkan sebelumnya.
PernyataanYesus ini menimbulkan reaksi bagi mereka yang melihat segala sesuatu hanyalah secara fisik. “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapaNya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: “Aku telah turun dari sorga?” (Yoh. 6:42) Mereka bersungut-sungut. Tapi Yesus masih tidak putus asa dan mencoba lagi meyakinkan mereka:”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir jaman. Sebab dagingKu benar-benar makanan dan darahKu adalah benar-benar minuman.Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia.”(Yoh. 6: 53-56)
Apa yang dikatakan oleh Yesus ini adalah satu antisipasi dari apa yang akan diberikanNya di Perjamuan Akhir. Namun kata-kataNya terdengar terlampau keras bagi para pengikut yang telah mulai percaya. Reaksi bersungut-sungut, bahwa Ia adalah anak Yusuf dan pertengkaran diantara mereka tentang kanibalisme adalah satu bukti bahwa mereka tak percaya dengan apa yang dikatakanNya dan siap meninggalkanNya. Fulton J. Sheen mengatakan, bahwa penolakan ini sebagai satu bentuk penyaliban Yesus secara sosial, sebelum Ia secara sungguh-sungguh disalibkan secara fisik.
Reaksi mereka yang tidak percaya dan meninggalkan Yesus adalah satu refleksi bagi kita, apakah kita juga sama seperti mereka yang menganggap bahwa menyantap Roti Hidup berarti kanibalisme terhadap Yesus? Kehadiran nyata Yesus dalam bentuk roti menjadi sumber salah paham atau juga batu sandungan bagi banyak orang. Kehadiran nyata (real presence)Yesus dalam roti yang kita santap dalam Ekaristi sesungguhnya berarti mengamini apa yang dikatakanNya duaribu tahun lalu: “ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia.”
Fulton J. Sheen mengatakan, bahwa penolakan ini sebagai satu bentuk penyaliban Yesus secara sosial, sebelum Ia secara sungguh-sungguh disalibkan secara fisik.
Dialog dalam Injil Yohanes (6:12-52) itu menyiratkan satu hal penting, dimana Yohanes menggunakan kata phagodalam bahasa Yunani sebanyak sembilan kali yang mengacu pada kata kerja untuk disantap (to eat, to consume). Ini menjelaskan bahwa perkataan Yesus bukanlah besifat metaforis, akan tetapi lateral. Benar-benar untuk dimakan.Kemudian pada ayat 53-58 Yesus lebih mempertajam dengan menggunakan istilahtrogo (Yunani) yang artinya kurang lebih adalah mengunyah (to chew, gnaw).“Bagaimana orang ini memberikan dirinya pada kita untuk dimakan?”(Yoh.6:52)Kemudian kita tahu, Yesus bukannya melunakdan mengatakan bahwa maksudnya bukan demikian, melainkan secara lebih tegas Ia memberikan penjelasan: “”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darahNya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu…”
Dalam beberapa hal, Yesus memang memberikan penjelasan tentang diriNya secara metaforis, seperti Aku adalah pokok anggur (Yoh. 15:1,5), atau Aku adalah pintu bagi domba-dombaKu (Yoh. 10:7). Namun untuk kasus Aku adalah roti hidup, Yesus memaksudkan untuk dipahami perkataanNya secara lateral, tanpa ada maksud simbolik maupun metaforis dalam ungkapanNya. Dan para pengikutnya sebenarnya menangkap maksud Yesus yang mengatakan hal itu untuk diartikan secara lateral, karenanya mereka juga tidak mempertanyakan kambali apa yang dimaksudNya. Tapi,nampaknyamereka tak memiliki cukup iman untuk menerima ucapanNya, yang sebenarnya telah mereka tangkap secara benar (lareral). Inilah kuncinya. Satu ‘lompatan iman’ tak terjadi atas diri mereka untuk benar-benar mengerti dan mengikuti apa yang dikatakanNya. Mereka menggerutu dan bertengkar satu sama lain karena kantong iman mereka tak bisa menerima mukjijat yang dilakukan pada tubuh mistikNya. Kantong anggur lama akan koyak bila diisi oleh anggur baru.
Dan lebih jelasnya lagi, Yesus menggunakan istilah sarx (flesh)untuk dagingNya dan bukan soma (body) yang dalam Kitab Suci misalkan di Yoh. 1: 13; 3:6. Ini benar benar satu pernyataan yang tidak memiliki makna simbolik.Yesus secara eksplisit mengatakan hal yang teramat penting (klimaks) untuk dikatakan selama pewartaan sabdaNya, bahwa Ia benar-benar memberi diri untuk dimakan, bukan hanya sekedar untuk dipandang. Terbukti, setelah ditinggal banyak pengikut Ia tak berusaha mencegah mereka, misal dengan mengatakan, “berhenti, yang Akumaksudkan adalah simbol akan diriKu, dan bukan diriKu yang sesungguhnya,” Yang justru terjadi adalah Dia mengkonfirmasi pada para rasul “Apakah kamu tidak pergi juga?”
Yesus menggunakan istilah sarx (flesh)
untuk dagingNya dan bukan soma (body)
yang dalam Kitab Suci ( mis. Yoh. 1: 13; 3:6).
Ini benar benar satu pernyataan yang
tidak memiliki makna simbolik.
Ia yang memberikan diri dalam rupa Roti lebih besar dari Musa. Superioritas Yesus itu diucapkanNya secara gamblang dan tanpa basa basi, bahwa nenek moyang mereka yang memakan manna di padang gurun telah mati, dan hanyamereka yang mau menyantap roti yang turun dari surga yang memperoleh kekekalan. “Akulah roti hidup.Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun dari sorga.Jikalau seseorang makan dari dari padanya, ia tidak akan mati.”(Yoh. 6: 48-50)
Perjanjian Baru
Sesungguhnya, akan datang waktunya, demikian firman Tuhan, Aku akan mengadakan perjanjian baru dengan kaum Israel dan kaum Yehuda.”(Yer. 31:31) Perjanjian baru seperti apakah yang akan Tuhan buat bagi umatNya? Apakah yang akan Tuhan berikan bagi Musa yang akan membebaskan bangsa Israel untuk beribadat di padang gurun?
“Bukan seperti perjanjian yang telah Kuadakan dengan nenek moyang mereka pada waktu Aku memegang tangan mereka untuk membawa keluar dari tanah Mesir..”(ay.32)Perjanjian seperti apa yang dilakukan oleh Allah tak lain adalah dengan mengurbankan anakNya sendiri seperti yang ditulis dalam Yoh 3:16. Benediktus XVI dalam homili pada perayaan paskah 5 April yang dikutip Scott Hahan dalam bukunya, “Covenant and Communion”mengatakan, bahwa Yesus merayakan Paskah tanpa seekor anak domba dan tanpa Bait Suci.Sebelumnya, orang-orang Yahudi merayakannya dengan anak domba dan di Bait Allah. Dia sendiri yang menjadi Anak Domba yang dinantikan, Anak Domba yang sesungguhnya, seperti yang telah dikatakan Yohanes Pembaptis pada waktu Yesus memulai pelayanan publik: “Lihatlah Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia!” (Yoh. 1:29)
Benediktus dalam tulisannya, “Pilgrim” mencatat tradisi Yahudi kuno tentang sebuah Bait Allahyang dibangun oleh Salomo di gunung Moria, tempat dimana Abraham mengurbankan anaknya yang dicintai, Ishak. (2 Taw. 3:1)Disamping mengkaitkan kurban Ishak dengan kurban pertama yang berkenan di hati Allah yang dilakukan oleh Habel, Benediktus XVI memfokuskan adanya satu pemenuhan akan ucapan yang keluar dari iman Abraham: “Allah sendiri yang akan menyediakan anak domba …” (Kej. 22: 8) Dengan demikian, apa yang diimani Abraham kini telah tiba dalam pengurbanan Kristus.
Nama Ishak sendiri berarti “yang tertawa” oleh Benediktus XVI diartikan secara etimologis dalam diskusi tulisannya,“Pieced” sebagai satu perayaan Paskah yang membahagiakan (Easter laughter). Analisa spiritual yang mendalam dari Benediktus XVI ini menggiring pada satu keyakinan, bahwa Ishak adalah satu tanda bagi mereka semua yang mengetahui bahwa Allah telah menyediakan Domba dan kita tidak akan mati. Kita boleh bergembira karenanya.
Mazmur 23 sering kita baca dan kita kenang sebagai Tuhan adalah Gembala yang baik dan kuat ternyata adalah satu bentuk ramalan yang terpenuhi dalam Ekaristi.“Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah.” (Mzm. 23: 5) Tuhan sungguh telah menyediakan ‘piala keselamatan’ yang berlimpah bagi kita yang hidup di tengah ancaman di berbagai jaman. Ekaristi lebih dari sekedar makanan, lebih mirip Perjamuan Nikah, satu perjamuan yang penuh sukacita akan keselamatan bagi umat Allah. Pesta Perjamuan di Kana adalah satu momen dimana Yesus sendiri hadir dalam Perjamuan Nikah dan waktu diberitahu oleh ibuNya bahwa mempelai kehabisan anggur, Ia mengatakan, “SaatKu belum tiba.” Yang dimaksudkan saatKu tentu mengarah pada satu momen yang paling ia nantikan: Perjamuan Akhir di Ruang Atas.
Rasul Paulus mengatakan, bahwa apa yang dituliskan dalam surat Korintus tentang Ekaristi ini didapat langsung dari Tuhan dan bukan dari manusia. Bukan dari Aristoteles, Plato, maupun para filsuf lain dan musafir:Tuhan Yesus, pada malam waktu Ia diserahkan, mengambil roti dan sesudah itu Ia mengucap syukur atasnya; Ia memecah-mecahkannya dan berkata: “Inilah tubuh-Ku, yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini sebagai peringatan akan Aku. Demikian juga Ia mengambil cawan, sesudah makan Ia berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimateraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini , setiap kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku!” (1Kor. 11:23-25)
Scott Hahn dalam bukunya “First Comes Love” mengatakan, bahwa kata ‘peringatan’ di sini bukan hanya berarti mengenang, tetapi juga mengaktualisasikan kembali (re-actualizing) dan menghadirkan kembali (re-presenting).Apa yang dikatakan oleh Scott Hahn merujuk pada satu hal yang penting, bahwa yang dilakukan oleh imam atau uskup dalam setiapPerjamuan Ekaristi sejak jaman Gereja Perdana hingga kapanpun adalah sama seperti yang dilakukan oleh Yesus sendiri duaribu tahun lalu.
Sikap Dalam Menyambut Ekaristi
Dialog yang terekam dalam Injil Yohanes bab 13 tentang pembasuhan kaki menggali dengan sangat sempurna tentangsiapa Yesus dan apa yang diperbuat olehNya. “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.”(Yoh. 13:12-15)
Benediktus XVI dalam bukunya “God is Near Us” berusaha menerangkan, bahwa Yesus mengambil rupa sebagai hamba yang membungkukkan diri dalam keseluruhan hidup dan penderitaanNya pada kaki kita yang kotor, pada kaki kemanusiaan (humanitas) kita yang kotor, dan dengan cintaNya yang lebih besar Ia membersihkannya. Pelayanan yang dilakukan oleh hamba dalam pembasuhan kaki adalah dalam rangka menyiapkan seseorang untuk layak duduk di meja perjamuan. Yesus Kristus mempersiapkan bagi kita akan kehadiran Allah, sehingga kita layak duduk bersama di meja perjamuan.
Dia menanggalkan jubahNya, menyatu dengan kemiskinan kita dan membuat kita mampu untuk duduk bersama Allah.Yesus menjadi saudara bagi kita yang menghantar dengan kasihNya kita yang tak layak untuk duduk di meja perjamuan dengan tanpa syarat, bahkan dalam kondisi kita yang tak layak menerima cintaNya.Yesus menjadi saudara yang mentransformasikan kita.
Ketika imam mengangkat hosti dan mengatakan apa yang diucapkan Yesus di ruang atas: “Inilah tubuhKu, yang diberikan untukmu, inilah darahKu yang ditumpahkan bagimu dan bagi banyak orang …”maka sikap apakah yang kita layak persembahkan padaNya yang telah menjadi hamba yang menderita seperti yang digambarkan di Yesaya 53? Tiada lain, harusnya adalah rasa syukur atas segala karunia yang diberikan bagi diri kita semua. Pujian bahwa Dia memberi diri bagi kita yang sebenarnya tak layak menerima kasihNya.Dia datang memberi sebagai hamba yang menderita dan kelak sebagai hakim agung yang kita junjung tinggi.
Dan bagaimana sikap tubuh kita yang seharusnya dalam menyambut Komuni Kudus?Apakah kita menyambutnya secara berdiri – di tangan, atau berlutut – di mulut?Ketika para rasul dan jemaat perdana memecah roti tentulah mereka menggunakan roti yang tak beragi yang besar, seperti yang menjadi santapan di antara masyarakat Ibrani yang merayakan Paskah.Roti yang tak beragi itu dipecah dan dibagikan tentu di diterima di tangan.Namun dengan perkembangan jemaat, roti yang besar tak lagi praktis dan digantilah dengan Hosti yang kita terima sampai hari ini.
Paus Benediktus ke XVI mengatakan, bahwa sebaiknya tetap ada toleransi baik mereka yang menerima dengan tangan –berdiri, maupun dengan mulut- berlutut. Karena, Paus Benediktus XVI melihat bahwa yang lebih penting dari semua sikap (tangan- berdiri atau mulut – berlutut) dalam menyambut komuni kudusitu adalah hati kita terlebih dahulu. Bukankah yang terjadi sebenarnya hati kita menjadi kotor terlebih dahulu sebelum tangan atau mulut kita melakukan tindakan berdosa?Tidakkah hati kita berdosa terlebih dulu sebelum kita berkata-kata jahat atau memfitnah?Bukankah hati kita terlebih dulu ternoda sebelum kita membunuh orang atau memukul dengan tangan kita?
Paus Benediktus XVI melihat bahwa
yang lebih penting dari semua sikap
(tangan- berdiri atau mulut – berlutut)
dalam menyambut komuni kudus
itu adalah hati kita terlebih dahulu.
Menerima dengan tangan, dimata Paus Benediktus VXI adalah sikap yang pantas karena tangan memang seharusnya digunakan untuk tujuan-tujuan mulia.Untuk mengerjakan tugas-tugas keseharian, membantu orang lain, dan juga untuk memuji dan memuliakan Tuhan.
Santo Agustinus mengatakan, “tidak ada seorangpun yang menerima Komuni tanpa mengucap syukur sebelumnya.”Benediktus XVI memberikan ilustrasi pentingnya sikap kita dalam menyambut Komuni Kudus dengan mengutip apa yang terjadi pada rahib rahib dari Cluny sekitar tahun seribu-an. Mereka melepas sepatu karena menyadari “semak terbakar” (kehadiran Allah di depan Musa) sedang berada di tengah mereka.
Makna Ekaristi
Apa yang dikatakan oleh Benediktus XVI tentang “misteri Paskah” memberi satu penerangan bagi kita semua, bahwa perayaan Ekaristi telah memberikan satu jawaban terhadap kematian yang selama ini tak terjawab. Benediktus XVI mengutip ungkapan tradisi yang terkenal: “Ekaristi adalah satu pengurbanan, presentasi pengurbanan Yesus Kristus di salib.”
Perjamuan Ekaristi telah menambal dalamnya liang kubur. Ekaristi memberikan satu penegasan yang selama ini samar-samar akan misteri yang menakutkan dari kematian. Oleh pengurbanan Sang Putera sebagai hamba yang menderita di salib dan KebangkitanNya mengalahkan kematian, kita orang Kristen mampu bersorak. Kematian telah diantisipasi di Ruang Atas dalam kata-kata penetapan sakramen Ekaristi yang berbuah kemenangan atas kematian itu sendiri oleh Dia yang membasuh “kaki” kita yang kotor, hati kita yang ternoda.
Kata-katayang terucap dalam Ekaristi itu sendiri tak cukup, kematianNya itu sendiri juga tak memadai, dan bahkan keduanya juga tetap kurang, tetapi harus dilengkapi oleh Kebangkitan. Melalui semua matrix (Ekaristi - kematian - Kebangkitan) ini Ia mentransformasikan kematian menuju satu kehidupan baru dalam tindak cintakasih yang tak terbatas dan penyerahan segala-sesuatunya pada Bapa. Melalui pemahaman akan matrix ini kita dituntun untuk menyelami betapa dalamnya pengurbanan Allah dalam misteri Tritunggal, Allah yang menjadi manusia dan tinggal diantara kita.
Keseluruhan matrix (Ekaristi - kematian - Kebangkitan) yang dalam tradisi Kristen disebut misteri Paskah ini memberikan jawaban akan pentingnya ucapan Yesus, “Akulah roti hidup …sesungguhnya Aku adalah makanan dan Aku adalah minuman… Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia.”
Namun Benediktus XVI juga mengingatkan kita untuk tidak tergoda dalam satu pemikiran, bahwa di Ruang Atas Yesus melakukan Ekaristi itu adalah santapan bagi orang-orang berdosa.Apalagi pemikiran yang kelihatannya luhur, bahwa Ekaristi adalah santapan bagi para pendosa di seluruh muka bumi dimana Yesus ingin merangkulnya. Dalam Alkitab yang tertuang dalam Yohanes 13:10 menjadi jelas, bahwa yang menerima Ekaristi adalah mereka yang telah bersih. “ … Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua.”Kita tahu bahwa ada seorang yang tidak bersih dari muridNya, namun Yesus telah membasuh semua dosa para rasul sebagai satu syarat bagi mereka yang akan menyantap roti secara layak. Demikian pula dengan kita dalam ibadat Ekaristi kita yang telah berbuat dosa berat atau mematikan (mortal sins) handaknya masuk ke ruang pengakuan terlebih dulu.
Paus Benediktus XVI mengatakan, bahwa perjmuan akhir itu adalah perjamuan yang diperuntukkan bagi keluarga, yang didasarkan atas perjamuan Paskah.Jadi Yesus mempersiapkan dengan satu keluarga baru yang dibentukNya bersama keduabelas rasul, yang telah dibasuh kakinya.Sakramen Ekaristi itu sendiri bukan sakramen rekonsiliasi., melainkan sakramen yang mensyaratkan sakramen rekonsiliasi (pengakuan dosa) sebelum itu diterima. Seperti yang dikatakan oleh rasul Paulus yang tertuang di 1Kor. 11:27: “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.” Benediktus XVI mengutip apa yang tertuang dalamDidache 10:6 yang merupakan ajaran dari keduabelas rasul yang tertua dan ditulis pada awal abad ke dua: “Barangsiapa kudus, silakan dia menyantap-barangsiapa tidak, silakan dia melakukan pengakuan dosa.”
Satu hal lagi yang termamat penting untuk dilewatkan adalah apa yang dikatakan oleh Benediktus XVI, bahwa perkataan: “inilah tubuhKu” bukanlah berarti bahwa Yesus hanya memberikan tubuhNya saja dan tidak sekaligus jiwaNya.
Transubstansiasi atau Transignifikasi?
Sebagai umat Katolik kita meyakini, bahwa menyambut Komuni Kudus berarti menerima tubuhNya sendiri.Keyakinan ini dilandasi oleh iman yang percaya bahwa Yesus sungguh hadir (real presence) dalam rupa roti dan anggur.Namun, bagaimana peristiwa trasubstansiasi ini dipandang oleh sementara umat non Katolik maupun umat Katolik itu sendiri dalam sejarah?
Paus Benediktus XVI dalam, “God is Near Us” menuturkan adanya satu keterbelahan sikap yang melanda sementara umat Kristen di abad keduabelas, dimana diantara mereka gagal memahami hati Ekaristi (makna) yang sesungguhnya.Ada diantara mereka yang dipenuhi oleh pemahaman bahwa Yesus secara real ada di dalam Ekaristi, namun “realitas” bagi mereka adalah pemahaman yang sangatlah fisik semata. Konsekwensinya, mereka sampai pada satu kesimpulan: dalam Ekaristi kita mengunyah daging dari Tuhan. Benediktus XVI menyimpulkan, bahwa mereka berada dalam kesalahpahaman serius.Sebenarnya, karena Yesus telah bangkit, kita tidak memakan daging seperti yang dilakukan orang-orang kanibal.
Kubu yang sebaliknya, bagi Benediktus XVI, juga terjebak pada kesalahan fundamentalisme yang serupa karena memandang apa yang bisa dilihat dan diukur sebagai realitas. Mereka mengatakan, “Karena Kristus tidak berada di situ dalam daging yang bisa kita kunyah, maka roti hanyalah penanda (simbol saja) dari tubuh, tetapi tidak menjadi tubuh.”
Paus Benediktus XVI melihat bahwa kesalahpahaman ataupun pemelintiran pemahaman (desputing) ini bisa terjadi karena kurang pahamnya kita akan pengertian yang sesungguhnya tentang “realitas.” Realitas harusnya tidak hanya dimengerti sebagai segala sesuatu yang hanya bisa kita ukur, hanya “quantum”, entitas kuantitatif, yang sesungguhnya real.Akan tetapi sebaliknya, hal yang real itu bisa termanifestasi dalam misteri tersembunyi dari keberadaan yang sesungguhnya (hidden mystery of true being).Kristus menjumpai kita di sini dalam Ekaristi. Inilah yang disebut sebagai: substansi.
Jadi kehadiran Kristus tidak mengacu pada “kuantum” , pada satu kuantitas yang dapat dilihat oleh mata dan diukur, diraba, atau diinderakan. Manusia tak dapat mengukur segala sesuatu yang Ilahi, yang tak terbatas, dan diluar wilayah kekuasaannya. Kuasa manusia (pikiran, perasaan, indera) sangatlah terbatas dan manusia hendaknya tidak menjadi jumawa dengan apa yang dimiliki untuk digunakan sebagai satu alat ukur bagi Allah Yang Mahakuasa (Pantokrator).
Sebaliknya, apabila kita menerima Komuni kudus dengan iman, berarti kita taat dan percaya dengan apa yang dikatakanNYa duaribu tahun lalu sebagai satu hal yang “real” : “Inilah tubuhKu” dan “Inilah darahKu”. Jadi apabila kita menyantap Ekaristi yang adalah tubuh Kristus yang bangkit, secara iman kita percaya bahwa secara substasi roti yang secara kasat mata adalah roti telah diubah menjadi tubuhNya. Dengan demikian kita menyadari bahwa Ekaristi benar benar satu anugerah Tuhan yang berada diantara kita, yang mengintitusikan Ekaristi sebelum Ia menderita dan wafat di salib dan bangkit dengan mulia.
Secara jeli Benediktus XVI membedakan pemahaman antara transubstansiasi dengan transignifikasi.Yang terakhir disebut sebagai satu perubahan fungsi saja atau “change of use”, sedang yang awal disebut adalah satu genuine transformation atau transformasi yang sesungguhnya. Paus kita mengumpamakan apabila sebuah baju kemudian berubah fungsi dan digunakan menjadi bendera nasional satu bangsa yang merdeka maka disitu yang ada hanyalah perubahan fungsi atau change of use dan change of meaning (perubahan makna) belaka. Menurut Benediktus XVI, pada tahun enampuluhan Gereja pernah dilanda satu krisis pemahaman bahwa Ekaristi hanya sebagai satu proses transignifikasi saja, seperti halnya baju yang beralih fungsi menjadi simbol negara-bangsa. Seandainya hal ini yang terjadi, maka Ekaristi tak lebih hanya satu bentuk game atau sandiwara saja.Tapi tidak demikian halnya pemahaman yang benar mengenai Ekaristi.Dalam Ekaristi yang terjadi adalah perubahan hal yang mendasar (roti menjadi tubuhNya) dan bukan sekedar perubahan makna atau fungsi belaka.
Ekaristi, bagi Benediktus XVI, mengatasi segala kenyataan dari fungsionalitas. Ekaristi benar-benar satu anugerah dan bukan satu permainan (game) atau sandiwara saja. Sayangnya, kita kini berada dalam kehidupan dan pemikiran dimana manusia diklasifikasikan menurut fungsinya, dimana keberadaannya yang sesungguhnya ditolak. Apa yang dikatakan Paus kita ini bisa kita lihat dalam kehidupan orang-orang yang tak berdaya, seperti orang miskin, cacat, jompo, atau tak berpendidikan. Mereka bukanlah produsen dan bukan pula konsumen.Dalam masyarakat modern, mereka berada dalam posisi terpinggirkan atau kalau tidak terabaikan.
Ekaristi sesungguhnya adalah sakramen iman yang sesungguhnya yang berada diatas semua fungsionalitas dan menjangkau basis dari realitas.Karena itu, yang sesungguhnya, Ekaristi lebih real dari pada semua hal yang kita lakukan tiap hari.Ini adalah realitas yang sesungguhnya (genuine reality). Ekaristi adalah satu ukuran, jantung dari semua hal, yang sebenarnya justru paling kita butuhkan bagi kita untuk belajar mengukur setiap realitas lain dalam kehidupan.
Apa yang diucapkan oleh Benediktus XVI ini tentulah menjadi satu daya tarik besar bagi kita. Selama ini, mungkin secara jujur harus diakui bahwa dalam keseharian kita seringkali tidak menempatkan Ekaristi sebagai satu realitas tertinggi. Kita justru banyak tertipu dengan memandang kehidupan dan manusia dari segi fungsi, peran, materi, seremonial, atau atribut apapun dalam diri atau keluarganya. Apa yang terjadi bila setiap hari kita menempatkan Ekaristi sebagai jantung pertimbangan moral kita dalam memberi penilaian atas kehidupan dan sesama? Bukankah Tuhan yang hadir dan kita santap adalah Allah yang sangat mencinta? Dan kasih Allah yang demikian besar bagi kita yang telah kita terima sudah selayaknya pula menjadi satu pedoman atas sikap dan penilaian kita akankehidupan, keberadaan atau pribadi orang lain, bukan segala embel-embel fungsionalitas atau seremoni yang tidak esensial.
Ekaristi adalah satu ukuran, jantung dari semua hal, yang sebenarnya justru paling kita butuhkan bagi kita untuk belajar mengukur setiap realitas lain dalam kehidupan.
Benediktus XVI secara luarbiasa bukan hanya berusaha memberikan satu argument bahwa Yesus sungguh hadir dalam Ekaristi, melainkan juga sudah seharusnya Ekaristi menjadi satu realitas, realitas tertinggi dalam kehidupan beriman dimana menjadi sumber utama bagi kita dalam mengadakan penilaian terhadap kehidupan dan eksistensi manusia.
Dengan pemahaman demikian kita akan menjadi lebih mengerti mengapa ibunda Teresa dari Kalkuta yang mengatakan, bahwa ia menjadi kuat dalam melayani mereka yang papa, sekarat dan hampir membusuk di selokan-selokan di India karena setiap hari ia dikuatkan oleh Ekaristi. Ibu Teresa menempatkan Ekaristi di pusat hidupnya dan menggunakan sebagai ukuran dalam pelayanan kasih.Dia melihat Yesus berada dalam diri orang yang terabaikan dan terpuruk di selokan-selokan, berpenyakitan, bau, dan sekarat. Dengan proses pembelajaran kita akan misteri iman ini mampukah kita menyongsong tahun 2012 nanti sebagai tahun Ekaristi secara lebih baik.[]
Ekaristi di mata Paus Benediktus XVI
Dalam bukunya, “God is Near Us” Paus Benediktus XVI memberikan penjelasan, bahwa perjamuan akhir itu sendiri tak cukup untuk menginstitusikan Ekaristi. Karena kata-kata Yesus yang terucap kemudian adalah satu antisipasi terhadap kematiannya, satu trasformasi kematianNya menuju satu event cintakasih. Satu transformasi dari yang tidak bermakna ke arah satu yang signifikan, signifikan bagi kita.
Kata-kata Yesus bisa menjadi kosong bila tidak menunjukkan bahwa cintaNya lebih kuat dari kematian, yang berarti lebih kuat dari ketidakbermaknaan. Kematian juga bisa menjadi tanpa makna, yang juga sama dengan kata-kataNya, apabila Kebangkitan tidak terjadi. Maka ketiganya akan menjadi satu matrix yang saling bertautan: kata-kata, kematian, dan Kebangkitan. Inilah yang oleh tradisi Kristen disebut sebagai “misteri Paskah.”
Dalam ensikliknya, “Deus Caritas Est” Benediktus XVI juga menekankan, bahwa Setiap insan yang menyambut Tubuh Kristus, hendaknya tidak bersikap selfish dan mampu keluar dari kungkungan diri sendiri menuju pada cintakasih pada Allah dan sesama.”Karena roti adalah satu, maka kita sekalipun banyak, adalah satu tubuh karena kita semua mendapat bagian dari roti yang satu ini.” (1Kor. 10:17) Ayat ini dikutip oleh Paus Benediktus XVI untuk mengajarkan pada kita bahwa menyatu dengan Kristus berarti menyatu dengan semua, dimana Kristus memberi diri. Saya tidak pernah bisa memiliki Kristus untuk diri sendiri. Komuni menarik saya untuk keluar dari diri sendiri menuju Kristus dan juga menuju pada penyatuan semua orang Kristen. Cinta akan Allah dan cinta akan sesama kini menjadi satu kesatuan: Allah dalam inkarnasi menarik kita semua pada penyatuan dalam diriNya. Cintakasih bisa menjadi ”perintah” karena itu yang terlebih dahulu diberikan.

Ekaristi bagi Yohanes Paulus II
Paus Yohanes Paulus II dalam bukunya, “The Way to Christ” mengatakan, “Ekaristi adalah sakramen terbesar dalam iman kita, dan segala sesuatunya terkonsentrasi padanya,”Yohanes Paulus II memiliki satu penjelasan yang unik dan menarik tentang proses yang terjadi dalam Ekaristi. Dalam Ekaristi, Kristus sungguh hadir dan terjadi marvelous exchange atau satu pertukaran tempat yang luarbiasa dan terjadi secara konstan di dalam Ekaristi, dimana Yesus mulai ambil bagian dalam kemanusiaan kita melalui Dia dan dalam Dia. Admirabile commercium – marvelous exchange dilihat oleh Paus Yohanes Paulus II sebagai satu persembahan diri kita, kemanusiaan kita padaNya dimana Dia memberikan diriNya dalam sakramen Ekaristi, dalam rupa roti. Itulah yang disebut sebagai misteri iman (mystery of faith).
Ia mengatakan, bahwa ketika mengambil roti Yesus berucap, “Inilah tubuhKu yang diberikan untukmu.” Dia lalu mengambil cawan dan berkata, “Inilah darahKu yang ditumpahkan bagimu ..” (Luk 22:19-20). Ini terjadi pada Kamis Putih, tapi kata-kataNya mengacu pada kejadian pada Jum’at Agung. Hari ini kita mengulang, “Kristus telah wafat. Kristus telah bangkit. Kristus akan datang kembali.” Dengan kata-kata ini dan dengan cara ini, setiap kali kita ambil bagian dalam Ekaristi, kita ditarik lebih dekat menuju momen kunci keselamatan kita – kejadian-kejadian Kamis Putih, Jum’at Agung dan Paskah, hari Kebangkitan. Ini bagi kita adalah siklus liturgis yang tertinggi.
Ekaristi menyiapkan diri kita pada satu kesatuan yang sesungguhnya (true union) dengan Tuhan. Menerima Tuhan berarti terjadi kesatuan yang sesungguhnya denganNya, dan pada titik ini seseorang masuk dalam perspektif eskatologis. Anda menerima Yesus Kristus berarti anda memulai ikatan ini yang menjadi tujuan akhir hidup anda (eskatologis).

bijisesawimedia.com

No comments:

Post a Comment

Tags