Romo Agung: "Di dalam perkawinan suami istri Katolik masih ada cinta yang egosentris.”



Romo Agung: "Di dalam perkawinan suami istri Katolik masih ada cinta yang egosentris.”
Di satu siang yang terik pada 11 Oktober Biji Sesawi Media melakukan perbincangan dengan romo Agung Prihartana, MSF di kantornya di KWI di Komisi Keluarga. Romo Agung, begitu panggilan akrabnya, menerima Paulus Budiraharjo dengan tangan terbuka dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan serius namun tak lupa sesekali tersenyum dan tertawa kecil.

Romo Agung bisa ceritakan apa yang menjadi concern MSF secara umum dalam pelayanannya?Iya, yang jelas memang romo MSF itu memang perhatian utamanya pada kerasulan keluarga dan sebetulnya  bermula dari keprihatinan pada panggilan imamat… sedikit yang terpanggil untuk menjadi imam. Sehingga MSF mencoba untuk mengumpulkan para pemuda yang dalam kategori yang terlambat panggilan itu. Kemudian pada perjalanan waktu, konggreasi melihat bahwa orang-orang yang masuk ke seminari itu kan dari keluarga-keluarga. Sehingga, mau tidak mau panggilan itu akan menjadi subur kalau Gereja itu mempunyai imam-imam yang qualified yang berasal dari keluarga-keluarga yang baik. Oleh karena itu kerasulan keluarga menjadi sangat penting di dalam penggembalaan atau di dalam pastoral Gereja Katolik. Dari situlah kemudian kami para romo MSF itu mempunyai perhatian dan memberikan perhatian yang lebih istimewa kepada pastoral keluarga.

Kemudian, apa yang menjadi keprihatinan romo-romo MSF dengan keluarga Katolik dewasa ini?Kalau keprihatinan-keprihatinan sebetulnya muter-nya disitu-situ terus ya, pada persoalan-persoalan itu. Keluarga kalau di dalam pedoman pastoral keluarga yang baru itu kan diingatkan, bahwa keluarga adalah gereja rumah tangga. Sebagai gereja rumah tangga dengan sendirinya konsekwensinya dia mempunyai 5 tugas: koinonia, liturgia, kerigma, diakonia, dan marteria.

Bisa romo Agung jelaskan apa yang dimaksud dengan Koinonia itu? Koinonia itu lebih pada membangun persekutuan. Nah, selama ini sangat tampak bahwa keluarga-keluarga itu hanya berputar-putar pada masalah persekutuan itu. Perceraian, konflik,  kemudian perpisahan karena KRDT, itu kan muternya pada persoalan koinonia itu. Nah, bagaimana mungkin keluarga yang mempunyai 5 tugas itu kalau hanya berputar pada satu persoalan saja, lalu tugas yang lain-lain bagaimana? Tugas pewartaan, tugas perayaan sakramen-sakramen dalam liturgi, perayaan liturgi. Kemudian marteria, atau kesaksian iman. Itu tidak akan terjalankan dengan baik karena tampaknya atau akhir-akhir ini keluarga itu lebih berkutat pada masalah konflik dalam relasi hidup berkeluarga dan perkawinan.

Apakah Komisi Keluarga KWI pernah melakukan semacam riset mengenai kehidupan keluarga Katolik?Tahun 2007 itu komisi keluarga melakukan survey yang random saja samplingnya di tiga keuskupan: Bogor, Bandung dan Jakarta untuk melihat apakah antara  pengharapan dan kenyataan hidup perkawinan itu sejajar atau seimbang atau ada jurang. Ternyata dijumpai sebelum menikah itu (pasangan) punya harapan, punya cita-cita, punya impian tentang hidup perkawinan yang indah dan sebagainya. Tetapi kenyataannya, ternyata persoalan yang besar itu adalah konflik itu berawal dalam relasi suami istri itu sendiri. Ketika dilihat dengan beberapa persoalan ternyata konflik itu dipicu karena masing-masing pribadi suami istri itu mempunyai cinta yang lebih egosentris, artinya saya mencintai dia karena saya membutuhkan sesuatu, jadi saya mengharapkan mendapatkan sesuatu dari dia. Padahal spiritualitas perkawinan itu dalam ajaran Paulus kepada jemaat di Efesus kan kasihilah istrimu atau kasihilah pasanganmu itu  seperti Kristus mengasihi GerejaNya.

Bagaimana Kristus mengasihi GerejaNya? Ya dengan menyerahkan diri. Untuk apa Ia menyerahkan diri? Ya untuk menguduskan sesudah menyucikan dengan air dan fiman. Nah tampak di dalam perkawinan suami istri Katolik masih ada cinta yang egosentris. Sementara arah yang diharapkan atau yang dikehendaki oleh Allah  adalah perkawinan sebagai sakramen, ya seperti Kristus mengasihi Gereja itu. Bagaimana gereja mengimani dan menyakini bahwa perkawinan itu adalah tanda dan sarana kasih Allah yang menyelamatkan seperti Kristus menyelamatkan Gereja itu, ternyata sampai sekarang ini masih terlalu sering jatuh bangun. Dan dari hasil survei itu berawal  itu, tampak bahwa suami istri itu masih punya egoisme yang cukup tinggi di dalam relasi mereka. Sehingga penghayatan perkawinan itu  boleh dikatakan agak lambat lah untuk menuju kepada yang ideal itu.

Apa romo Agung bisa menceritakan satu kasus yang berkaitan dengan konflik seputar koinonia itu?Banyak.. banyak ya..Gambaran secara umum mengenai konflik  suami - istri koinonia suami istri itu bagaimana mereka sebagai pasangan itu belum tampak  belum total dalam persekutuan atau persatuan menjadi satu daging. Salah satu tanda misalnya  kami masih mempunyai privasi masing-masing, itu salah satu tanda bahwa persekutuan sebagai satu daging itu belum optimal atau belum maksimal. Ya memang kemudian (alasan) itu manusiawi, dia punya rahasia, saya punya rahasia. Saya punya privasi, dia punya privasi, itu sangat manusiawi.

Oleh karena itu di dalam pedoman pastoral keluarga yang baru nomor 8, itu ditegaskan kembali bahwa perkawinan itu bukan hanya sekedar atau semata-mata keinginan manusiawi tetapi dalam perkawinan itu juga ada tugas perutusan yaitu kehendak Allah. Kalau Gereja Katolik itu menyakini, mengimani bahwa perkawinan itu adalah panggilan, sebetulnya disitu mau dikatakan bahwa di dalam perkawinan juga mengandung tugas-tugas perutusan yang dikehendaki oleh Allah. Sekarang atau akhir-akhir ini kehendak Allah atau tugas perutusan yang dikehendaki oleh Allah itu agak terkalahkan, sehingga munculnya pedoman pastoral keluarga yang baru ini diharapkan supaya bisa kembali mengingatkan suami istri, bahwa perkawinan mereka itu tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan manusiawi, biologis, psikologis, sosial, budaya, ekonomi dan sebagainya. Tetapi di dalam persekutuan mereka itu juga ada tugas perutusan…
Dan untuk kasusnya (koinonia, red.) secara umum, pertama, bahwa ketika mereka mengatakan itu satu privasi. Kedua, karena ini menjadi gejala yang umum dan dianggap ya sudah umum, wajar. Itu seperti saya punya rekening sendiri pasangan saya punya rekening sendiri. Memang tidak ada salahnya dan tidak berdosa, tetapi jika kemudian kelemahan kita atau keterbatasan manusia itu mulai mendominasi, itu akan menjadi sarana yang cukup membahayakan. Uangku uangku, uangmu uangmu, itu kan? Gejala-gejala seperti itu kemudian menjadi jelas ketika saya kecewa pada pasangan saya. Penginnya pisah, memisahkan diri dari dia.  Perceraian itukan sebetulnya menjadi sebuah tanda, bahwa tugas saya sebagai pelayan sakramen perkawinan itu terabaikan.

Romo Agung bisa menjalaskan bagaimana sikap Gereja terhadap perceraian?Kalau saya melihat dari konseling-konseling itu banyak orang yang datang untuk konseling, sebetulnya pasangan katolik itu tahu bahwa Gereja menghendaki begini-begini dalam perkawinan mereka tahu, tapi ketika ada salah satu atau satu pasangan itu datang dan tanya: bagaimana menurut romo? Saya mengatakan perkawinan Gereja seperti itu, kalau kemudian ada suami istri yang cerai sipil, katakanlah, kemudian konsekwensinya tidak bisa menikah karena cerai sipil itu tidak diakui oleh Gereja. Lalu mereka mengatakan ya kami sih tahu bahwa gereja mengajarkan perkawinan katolik seperti ini, sakramen dan sebagainya tapi apa boleh buat? Jawaban apa boleh buat, jawaban ternyata kami tidak bisa memenuhi ajaran gereja, itu sangat menyedihkan, sangat memprihatinkan.
Padahal sebagai orang Katolik dia tahu bahwa perkawinan itu seperti demikian. Tetapi kemudian akhirnya egosentrisme  yang lebih menguasai sehingga yang umum itu terjadi yah itu menjadi sangat manusiawi. Kemudian Gereja yang mengatakan perkawinan itu Kudus, Suci bukan hanya diberkati saja. Tetapi itu menjadi kehendak Allah yang dikehendaki Allah sejak semula dan menjadi Sakramen cinta kasih Allah yang menyelamatkan itu (menjadi) terlalu idealis, terlalu mengawang-awang sehingga tidak akan terjadi penghayatan yang semestinya. Itu yang saya lihat dari beberapa pasutri yang datang untuk diskusi atau konseling.

Lantas bagaimana sikap gereja terhadap KDRT? Itu kasuistik ya. Bahwa KDRT atau kekerasan dalam bentuk apapun Gereja tidak menyetujui,  itu iya. Tetapi dalam konteks KDRT apakah dalam perkawinan atau KDRT terhadap anak itu kasuistik. Dalam arti dalam kasus yang satu ini harus diselesaikan secara khusus. Kasus yang lain juga mempunyai cara lain untuk menyelesaikan itu. Ada prinsip umum, bahwa KDRT itu Gereja jelas menolak mentah-mentah. Lalu korban KDRT itu harus diselamatkan.  Nah, bagaimana cara menyelamatkannya? Yah kasus per kasus. Jelas perceraian tidak disetujui, tetapi bahwa upaya menyelamatkan si istri sebagai korban KDRT harus dilakukan. Apakah si istri itu dalam arti tertentu dijauhkan oleh suaminya untuk sementara waktu demi keselamatan jiwa, itu harus dilakukan.
Bukan hanya Pastor Paroki tetapi sebetulnya siapapun yang melihat itu harus menyelamatkan si istri dari ancaman bahaya yang mengancam  keselamatan jiwa si istri itu. penyelamatan. Apakah perceraian itu menyelesaikan KDRT? Mungkin banyak orang yang mengatakan itu bisa menyelesaikan secara hukum tetapi bahwa Gereja yang ingin lakukan pertama-tama menyelamatkan jiwa si istri/korban. Itu yang wajib. Perkawinan mereka harus dijaga, dipelihara supaya perkawinan ini, nantinya atau situasi relasi mereka nantinya dikembalikan pada relasi yang harmonis, dibantu. Kemudian dalam perjalanan waktu bagaimana kasus itu berkembang.
Ketika kasus itu berkembang sampai mengancam jiwa si istri katakanlah tindakan penyelamatan jiwa si istri harus dilakukan. Bentuknya tergantung kasusnya bagaimana? Ada yangt namanya kalau secara hukum Gereja namanya surat pisah meja makan & ranjang dalam arti memisahkan untuk sementara waktu karena alasan-alasan yang sangat berat, itu ada surat pisah meja makan dan ranjang. Tetapi surat pisah meja makan dan ranjang itu bukan surat perceraian, tetapi hanya katakanlah memisahkan antara dua pribadi itu untuk sementara waktu demi keselamatan jiwa salah satu dari mereka yang terancam keselamatannya itu.

Adakah faktor lain disamping egosentrisme yang menyebabkan perpecahan dalam rumah tangga? Selain egosentris, itu sebetulnya juga bersumber atau berawal dari ketidakdewasaan seorang pribadi. Pribadi yang tidak dewasa itu kemudian menghasilkan salah satu sikap egois itu tadi. Ketika seseorang mengalamai tekanan atau kesulitan di dalam pekerjaannya itu wajar  dan manusiawi dia tertekan dan wajar kemudian dia mempunyai kecenderungan-kecenderungan untuk melampiaskan, tetapi justru disinilah letak makna sakramen perkawinan itu harus kemudian makin ditanamkan kepada suami istri Katolik, bahwa saya sebagai pelayan Sakramen Perkawinan Katolik mempunyai tugas yang tidak mudah, tidak ringan yaitu menyelamatkan pasangan saya dari ancaman seperti itu bukan hanya menyelamatkan dari perceraian saja tetapi bagaimana menyelamatkan si suami atau si istri dari katakanlah beban, katakanlah kemarahan, stress, keselamatan yang sangat kongkret.
Cinta itu bukan sekedar yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata? Bisa. Paulus mengatakan kasih itu sabar, kasih itu murah hati, itu kan sangat kongkret. Sehingga keselamatan itu sangat kongkret. Keselamatan tidak hanya nanti setelah mati tetapi keselamatan jiwa sekarang ini sudah mulai juga keselamatan iman ketika salah satu pasangannya mau menyimpang dari imannya, bagaimana saya sebagai suami/istri harus menyelamatkan pasangan saya itu? Jadi tugas menyelamatkan itu sangat kongkret sebetulnya. Itu yang kemudian dimasukkan, ditekankan dan diingatkan kembali melalui Pedoman Pastoral Keluarga yang baru itu, mengenai makna sakramen perkawinan itu.

Secara fenomenal perceraian itu terjadi karena ego yang dominan atau ada juga factor-faktor lain yang ikut menentukan?Kalau dari hasil survey dari tahun 2007 itu minimal ada lima faktor, yang pertama itu pribadi pasangan, lalu masalah ekonomi / keuangan, lalu ketiga itu masalah kehadiran pihak ke tiga. Pihak ketiga itu bisa  WIL, PIL, atau , bisa pihak keluarga besar, seperti mertua, atau ipar. Lalu yang keempat itu masalah anak. Pendidikan anak, misalnya. Suami inginnya di sekolah ini, istri ingin anak di sekolah katolik, misalnya itu juga sempat menjadi sumber konflik. Kemudian pasangan suami istri yang tidak  mempunyai anak setelah sekian tahun menikah, itu menjadi sumber masalah juga. Lalu yang kelima itu (tergolong) lain-lain. Beda agama, beda usia, beda latar belakang sosial keluarga, status sosial, atau beda suku.

Dari kelima factor itu yang paling besar pengaruhnya yang mana?Dari ke lima nya itu yang paling besar adalah faktor pribadi pasangan dan  (diikuti) ekonomi atau keuangan rumah tangga.
Sebetulnya suami istri sama-sama bekerja itu bukan sesuatu yang salah dan bukan sesuatu yang melanggar komitmen perkawinan, malah sebetulnya itu justru merupakan ungkapan mereka berdua bertanggung jawab atas kesejahteraan jasmani keluarganya. Mereka bertanggung jawab, tetapi kadang-kadang ketidakseimbangan itu membuat mereka merasa, bahwa pekerjaan kemudian lama-lama menjadi sumber kekeringan dalam relasi mereka sebagai suami istri karena sudah tidak menyediakan waktu, atau merasa tidak mempunyai waktu lagi.
Pada awalnya sibuk bekerja kejar target lalu waktu untuk bersama tidak ada. Bagaimana mungkin kalau waktu nggak ada, bagaimana mungkin relasi mereka itu akan segar terus. Sebetulnya motivasi mencari uang, motivasi bekerja, dua-duanya bekerja itu bukan sesuatu yang jahat, hanya kemudian karena ketidakdewasaan pribadi itulah yang kemudian menyebabkan mereka tidak seimbang di dalam mengatur waktu. Banyak factor sih sebetulnya, hanya dari hasil survey tahun 2007 itu tampak minimal lima penyebab itu. Untuk menyelesaikan riset itu saja komisi membutuhkan 2 tahun lebih  untuk benar-benar melihat indikasi apa yang muncul dari hasil wawancara dan hasil riset tertulis itu, itu butuh waktu lama.

KWI melihat Pedoman Pastoral Keluarga bisa merespon hal-hal negatif dalam pernikahan Katolik?Jelas bahwa terbitnya Pedoman Pastoral Keluarga yang baru itu salah satunya juga bertujuan menanggapi masalah-masalah perkawinan itu. KWI dalam hal ini mengajak para bapak Uskup yang tugasnya sebagai gembala adalah mengajar. Sebagai pemimpin Gereja mereka itu melaksanakan tugas mengajar, mater et magistra, untuk melindungi keluarga-keluarga Katolik yang akan mengajarkan apa yang menjadi kehendak Allah itu. Secara nasional katakanlah Pedoman Pastoral Keluarga ini dikeluarkan untuk menjadi pegangan di seluruh keluarga Katolik. Kemudian bagaimana karena KWI itu lebih kantornya dan para Uskup yang mempunyai wewenang, yang mempunyai otoritas dan mempunyai kesempatan untuk mengaplikasikan itu keuskupan dan yang mempunyai umat adalah para bapak Uskup itu sendiri.

Lalu disosialisasikan kemana aja Pedoman Pastoral Keluarga ini?Kami sangat giat mensosialisasikan Pedoman Pastoral Keluarga  selama setahun ini baik melalui Keuskupan atau melalui kelompok-kelompok kategorial. Kami kemarin bulan Juni tanggal 10-12 mengundang 4 kelompok kategorial : ME, CFC, Choice  Warakawuri, Santa Monika. Di dalam ME ada Choice, Anthiokia, Discovery, di dalam CFC ada Youth Christ. Mereka itu kami undang untuk sosialisasi  Pedoman Pastoral Keluarga ini. Lalu kami mengharapkan supaya mereka mensosialisasikan Pedoman Pastoral Keluarga ini ke seluruh anggota, komunitas. Yang hadir waktu itu yang kami undang adalah pengurus komunitas kategorial itu. Jumlah totalnya 112 orang berarti 56 pasang dari seluruh Indonesia. Ada yang dari kalimantan, Sumatra bahkan ada yang dari Papua juga.
Harapannya bahwa kami nggak bisa menjangkau semuanya maka juga dihimbau dituliskan dalam pedoman pastoral keluarga, supaya kelompok kategorial ini juga menjadi agen yang mensosialisasikan dan supaya Pedoman Pastoral Keluarga itu tidak hanya menjadi arsip saja. Untuk ke depannya tahun 2012  - 2013 bagaimanapun kami masih ingin mensosialisasikan, karena untuk menyelesaikan pedoman itu pun kami juga butuh waktu 2 tahun dari tahun 2008 -2010 baru kemudian diterima disahkan oleh Presidium KWI.

Kemudian bagaimana dengan bentuk kepedulian Komisi Keluarga Keuskupan?Kepedulian dari penangung jawab komisi keluarga keuskupan, ada yang komisi keluarga keuskupan yang membuat modul-modul kursus perkawinan itu yang lebih banyak memberikan porsi melibatkan peserta. Sementara ini atau selama ini kursus itu hanya mendengarkan, sementara kalangan kita itu kalau mendengarkan itu berapa persen yang bisa benar mendengarkan dan menempel dengan benar.
Bandung misalnya itu adalah KPP yang seperti biasanya lalu ada yang bentuk alternatif itu paduan kasih dari keuskupan bandung. Dari sharing-sharing itu sangat bagus dan calon suami istri itu sangat dibantu ketika mereka Komisi Keluarga Keuskupan Bandung mengadakan pertemuan dan untuk para pemberi materi di kursus perkawinan saya diundang untuk memberikan masukan juga.
Melihat dan mendengarkan sharing mereka sangat bagus hanya kemudian kesulitan penyelenggaraan adalah karena masalah si calon peserta itu pertemuan seperti itu diajak semacam privat bukan masalah yang 100 pasang tapi 2, 3, 4 pasang diajar secara privat begitu kemudian satu kali disuruh tinggal bersama keluarga, keluarga tertentu dan keluarga itu mau berkelahi, keluarga itu mau konflik atau keluarga itu rukun-rukun membangun jerukunannya bagaimana supaya mereka juga tahu melihat o..ternyata dalam keluarga hal kecil itu juga bisa menjadi konflik. Mereka belajar langsung sangat bagus, saya melihat sangat bagus itu memang saya mengatajan saya sangat mendukung dengan bentuk seperti itu sangat-sangat mendukung secara pribadi saya sangat mendukung mau melanjutkan silahkan dilanjutkan dan rasanya tampaknya di keuskupan Bandung sekarang jalan dengan dua bentuk itu.
Ada keuskupan malang, misalnya  mereka mengistilahkan retret pra perkawinan, kursus persiapan perkawinan dilaksanakan dalam bentuk retret, silahkan itukan kreativitas masing-masing keuskupan silahkan saja.

Bagaimana dengan pengaruh globalisasi dalam keluarga?Dulu orang tua itu, sering kali motonya ”banyak anak banyak rejeki” itu kalau anak sekarang mengatakan itu kuno, tapi ada positifnya menurut saya mengatakan, bahwa banyak anak banyak rejeki. Sikap orang tua terhadap kelahiran dan kehadiran anak itu diahargai, itulah kekayaan keluarga sangat respektif. Sekarang banyak anak banyak beban, banyak biaya maka 2 anak lebih baik, 2 anak cukup lalu pandangan orang tua atau penerimaan orang tua secara tidak sadar, secara tidak langsung anak ini biaya, anak itu beban, bukan anugerah lagu bukan rejeki lagi. Itu pergeseran, pergeseran yang mau tidak mau kemudian orang menganggap wah ini lumrah, wajar karena perkembangan jaman tetapi spiritualitas anak sebagai mahkota perkawinan, anak sebagai anugerah dari Allah yang harus dilindungi yang harus dicintai apapun itu harus dilakukan demi kelahiran anak.
Pergeseran atau pengaruh globalisasi, sekulerisasi ternyata nampaknya tidak terasa tapi lama kelamaan kok membahayakan juga. Sekarang coba bayangkan kalau anak dianggap kehadiran seorang anak dianggap beban lalu dalam pendidikan kamu sudah saya didik sekian ratus juta, untuk menyekolahkan kamu produk yang memuaskan, sementara kita atau gereja mengajarkan anak ini adalah anugerah dari Allah mahkota bagi suami istri. Suami istri menjadi rekan Allah dalam karya penciptaan yang melahirkan kehidupan baru  ya itu omong kosong. Saya melihat secara pribadi pengaruh globalisasi itu kalau tidak diingatkan cepat-cepat pergeserannya semakin besar dan tampaknya mengubahnya semakin drastis, semakin besar juga.

Bagaimana pelaksanaan di tingkat paroki dengan Seksi Kerasulan Keluarga nya?Banyak yang mengatakan SKK paroki sama dengan penyelenggaraan kursus perkawinan. Banyak yang menyatakan seperti itu, bahwa kegiatannya SKK paroki itu menyelenggarakan kursus perkawinan, retret keluarga, rekoleksi keluarga, kadang-kadang saya melihat kok belum ya? Program yang berkelanjutan katakanlah katekis keluarga itu sangat lemah. Mgr. Michael Angkur sebagai ketua komisi keluarga KWI dalam pembukaan pertemuan kelompok kategorial juga mengatakan, bahwa menegaskan lagi bahwa katekis perkawinan dan keluarga itu sangat lemah. Sekarang globalisasi mengenai lifestyles keluarga itu seperti ini tidak diimbangi dengan katekis perkawinan yang semestinya. Lalu bagaimana mungkin pasangan suami istri itu.. jangankan menghayati, tahu saja mengenai makna sakramen perkawinan itu saja kadang-kadang tidak, apalagi disuruh menghayati dan disuruh menjalankan. Bagaimana saya harus menyelamatkan pasangan saya,  kalau dia menyakiti saya, masa saya harus menyelamatkan. Lalu istilahnya deuces saya melakukan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu. Itu yang sekarang keprihatinan yang menjadi keprihatinan dan umumlah itu terjadi.

Bagaimana dengan perhatian Paus Yohanes Paulus II tentang keluarga .. kan ia pernah menuliskan Letters to the Family?Perhatian Paus Yohanes Paulus II terhadap keluarga itu boleh dikatakan dalam kacamata manusia sangat sempurna. Yang pertama dia mengajarkan secara tertulis kemudian apa yang dituliskan itu didukung dengan perbuatan kongkret, yaitu mengembangkan Komisi Keluarga  di Vatikan menjadi Dewan Kepausan untuk Keluarga. Kemudian dia menuliskan Familia Spousio tahun 81. Setelah menuliskan Familia Spousio  Paus Yohanes Paulus II mengatakan ini tidak cukup, ini harus diajarkan, dipertanggungjawabkan secara ilmiah akademis. Maka sesuai dengan suratnya  dia mendirikan Institut Paus Yohanes Paulus II itu yang khusus mempelajari dari teologi perkawinan dan keluarga.
Saya lulusan disana. Dia menulis surat atau menulis banyak tentang keluarga. Dia mendirikan atau mengembangkan komisi keluarga menjadi Dewan Kepausan, meningkatkan statusnya berarti kan perhatiannya jauh lebih besar supaya pastoral nya lebih meluas. Yang ketiga, secara akademis, mendirikan institut untuk studi teologi perkawinan dan keluarga. Yang keempat itu disempurnakan dengan “mengangkat pasangan suami- istri Lougi dan Maria” menjadi keluarga yang kudus. Dan dari tulisan-tulisannya mengarahkan Paus Yohanes Paulus II mengarahkan bahwa keluarga jantungnya evangelisasi.  Paus Paulus VI juga mengatakan bahwa dari keluarga itu terpancarkan nilai-nilai Injil. Injil harus dipancarkan, diwartakan, Yohanes Paulus II menegaskan kembali Gereja di masa depan, pewartaan Injil itu ditangan keluarga. Maka visi misinya kenapa keluarga itu menjadi begitu istimewa dimata Paus Yohanes Paulus II karena ia jantungnya evalisasi.
Lalu kedua,  gereja tidak akan ada kalau tidak ada keluarga. Ketiga dari keluarga itulah lahirnya kedamaian umat manusia. kalau dalam salah satu pertemuan keluarga  sedunia itu kalau tidak salah saya lupa-lupa ingat pertemuan yang ke 4 itu temanya adalah ”Family: Hope, Comitmen & Future of Humanity” jadi keluarga itu anugerah tapi sekaligus sebuah komitmen demi masa depan umat manusia, itu sangat bagus sekali. Itu sangat, sangat mendasar. Dan itu muncul karena Yohanes Paulus II yang begitu besar perhatiannya terhadap keluarga.
Sekarang siapa sih yang mempunyai pemikiran atau perhatian yang begitu sempurna terhadap keluarga, bukan sempurna tapi lengkap kalau sempurna terlalu berlebihan lengkaplah dari yang sangat konseptual sampai yang sangat realistis. Kebetulan saya tahun 2001-2005 ditugaskan untuk studi di Institut itu. Memang sangat berat, sangat konseptual, sangat teologis, filosofis, tapi  itulah spiritualitas perkawinan.

Tanpa terasa kami telah berbincang selama kurang lebih dua jam. Dari persoalan yang renyah sampai ke problematika yang rumit dalam kehidupan. Terkesan romo Agung adalah orang yang sangat terbuka dan berbicara dari hati ke hati, dengan logatnya yang halus dan santun. Pribadinya yang ramah dan concernnya yang sangat tinggi terhadap kehidupan keluarga Katolik dewasa ini yang berada dalam terpaan Globalisasi, membuatnya tekun mengadakan dialog dengan berbagai pihak dan menerbitkan Buletin Keluarga untuk memberi panduan bagi keluarga Katolik.
bijisesawimedia.com

Post a Comment

Previous Post Next Post