I. PENEGASAN PANGGILAN
Panggilan hidup membiara yang telah saya pilih memiliki motivasi yang tentunya tidak langsung berupa motivasi yang adikodrati namun disertai dengan motivasi tidak sadar dan sadar. Dalam buku Penegasan Panggilan, Rm. J. Darminta, SJ dikenal dengan istilah motivasi benar dan sah, motivasi bercacat, dan motivasi tak mencukupi. Oleh karena itu, panggilan perlu didalami dan diolah agar menjadi jelas dan dewasa. Proses itu tidak memerlukan waktu satu dua hari melainkan merupakan perjuangan terus menerus setiap hari.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan panggilan hidup saya hingga menjadi jelas dan dewasa. Namun yang selalu saya pegang bahwa panggilan merupakan rahmat dan sarana langsung bagi penegasan panggilan itu sendiri adalah panggilan Ilahi yang tersirat dalam pengalaman-pengalaman rohani saya.
Menurut Rm. J. Darminta, SJ dalam bukunya yang berjudul Penegasan Panggilan, ada 2 faktor yang dapat membantu penegasan panggilan, yaitu faktor internal dan eksternal. Beliau menyebutnya dengan rahmat internal dan rahmat eksternal.
A. Penegasan Panggilan Internal
Penegasan internal melewati dua langkah, yaitu:
Pertama, apakah kita memiliki dasar panggilan, yaitu motivasi-motivasi, yang mungkin samar-samar menggambarkan empat kriteria:
1. Cita-cita dan bentuk hidup yang dipilih sesungguhnya tidak mengingkari kemanusiaan manusia, malahan meningkatkan kualitas hidup dan iman.
2. Cita-cita dan bentuk hidup itu sungguh bersumber dan kembali ke penghayatan hidup Yesus Kristus dan Injil-Nya, sebagaimana tampak dalam kebijaksanaan Salib sebagai pusat bentuk hidup itu.
3. Cita-cita dan bentuk hidup itu menyatu dan mengungkapkan empat fungsi atau aspek, atau salah satunya dari hidup menggereja, yaitu ibadah (liturgia), pewartaan (kerygma), persekutuan-persaudaraan (koinonia), kesaksian pergulatan rohani (martyria), dan pelayanan (diakonia).
4. Cita-cita bentuk hidup itu sungguh mengungkapkan peranan Roh Kudus dalam hidup sebagai Paracletus, yaitu penolong dan penguat bagi mereka, terutama yang miskin.
Kedua, apakah keinginan kita sudah mengandung kemampuan dan kelak akan menghasilkan buah. Oleh karena panggilan itu adalah rahmat, maka buah-buah yang dimaksud adalah buah-buah Roh sebagaimana disebutkan dalam Gal 5:22-23, yaitu kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kelemahlembutan, penguasaan diri, kerendahan hati, kesederhanaan, dan kemurnian. Bila dalam perjalanan panggilan tidak dihasilkan buah-buah itu, maka dapat dipertanyakan kembali apakah kita sungguh-sungguh dipanggil untuk hidup bakti dan apakah motivasi kita sudah benar dan sah atau merupakan motivasi adikodrati?
Dari beberapa orang yang memutuskan untuk mundur dari hidup bakti mengatakan bahwa motivasi mereka memilih hidup membiara belum jelas dan masih terlalu banyak keinginan dan cita-cita di luar jalan hidup membiara yang ingin dicapai. Mereka masih merasa berat meninggalkan segala sesuatu yang pernah mereka miliki sebelum masuk biara. Penghayatan ketiga kaul, ketaatan, kemurnian dan kemiskinan dirasa sangat berat. Akhirnya mereka pun tidak merasakan sukacita dalam biara, mereka sulit membentuk dan mengembangkan diri ke arah hidup religius dan itu berarti mereka tidak mampu menghasilkan buah.
Lalu bagaimana dengan perjalanan perkembangan panggilan saya sendiri? Apakah saya sudah memiliki kejelasan dan kedewasaan motivasi? Apakah sudah ada buah-buah yang dihasilkan selama di biara?
Awal munculnya keinginan menjadi seorang biarawati adalah waktu masih kecil. Motivasi saat itu adalah ingin menjadi seperti tante saya yang adalah seorang suster. Setelah menginjak SMP keinginan itu makin kuat. Saya melihat seorang suster begitu anggun dan sepertinya memiliki kehidupan yang suci, tidak berbeban berat dan selalu bersukacita. Saya ingin menikmati hidup seperti itu. Menginjak SMA keinginan itu tetap ada dan motivasinya masih sama dengan saat SMP, demikian pun saat kuliah. Baru setelah selesai kuliah saya ingin mempersembahkan diri saya untuk Tuhan, terserah Tuhan mau buat saya menjadi seperti apa. Seolah-olah saya ingin mengosongkan diri dan lepas dari kehidupan saya sebelumnya yang sungguh tidak baik. Dari hasil refleksi perjalanan hidup saya, saya merasa Tuhan begitu mencintai saya hingga Ia kerap hadir dalam mimpi-mimpi saya. Demikian pun dengan Bunda Maria. Sungguh saya merasa bahwa Tuhan inginkan saya untuk lepas dari dunia dan menjadi hamba-Nya dengan menjadi seorang religius. Ketika merasa ragu dan ingin mundur, saya mencoba untuk kembali ke motivasi itu dan itulah yang menguatkan saya dan meyakinkan saya.
B. Penegasan Panggilan Eksternal
Faktor eksternal yang dapat membantu penegasan panggilan, yaitu aptitude (kecocokan dan kekuatan). Menjadi seorang religius diperlukan kecocokan dan kekuatan yang cukup dalam menghayati panggilan religius. Gereja menetapkan kecocokan dan kekuatan yang dituntut untuk diterima bergabung dengan tarekat religius. Sebagai contoh, Gereja mengetengahkan syarat-syarat minimal untuk keabsahan, misalnya telah dibaptis, kemudian syarat-syarat kelayakan (liceitas), misalnya dalam keadaan rahmat artinya percaya kepada Kristus secara benar bukan bidaah, usia sesuai dengan kanonik, dsb. Dari situ ditentukan dan digambarkan hal-hal yang menjadi penghalang dan penghambat-penghamabat yang tidak memungkinkan orang menghayati panggilan imamat atau religius (irregularitas). Bila syarat-syarat minimal terpenuhi dan tidak ditemukan adanya penghalang, dapatlah disimpulkan bahwa calon memiliki kecocokan dan kekuatan untuk menghayati panggilannya. Selain itu perlu dilihat juga kesehatan fisik, kesehatan mental dan keseimbangan rohaninya.
Dari beberapa kejadian mundurnya calon religius ada yang karena faktor kesehatan yang tidak memungkinkan atau kesehatan mentalnya terganggu dan keseimbangan rohaninya kurang baik. Untuk syarat-syarat minimal sebagian besar para calon religius mampu memenuhinya.
Lalu bagaimana dengan saya? Dari semua faktor yang disebutkan, sampai hari ini saya telah mampu melewatinya. Namun bagi saya pribadi, ada faktor eksternal yang amat menentukan juga bagi penegasan atau kejelasan dan kedewasaan panggilan saya, yaitu dukungan dari keluarga, sahabat, teman-teman sepanggilan dan yang tidak kalah penting kebersamaan dengan anggota sekomunitas. Sukacita dan kegembiraan, persaudaraan, yang penuh kasih, kebaikan dalam komunitas membuat saya kerasan dan semakin ingin lebih dalam dalam mempersembahkan diri dalam hidup bakti.
Namun demikian, saya masih dalam proses mencari dan terus mencari, sebab keadaan tak selamanya indah. Dalam masa-masa sulitlah justru ujian datang, apakah saya tetap setia atau tidak atau malah meragukan panggilan diri sendiri lalu mundur. Maka, bagi saya kejelasan dan kedewasan panggilan adalah sesuatu ynag terus dicari dan diperjuangkan setiap hari dalam perjalanan panggilan ini sebab bisa jadi hari ini aku yakin dengan panggilanku tapi hari berikutnya bimbang dan ragu. Tetapi sejauh ini saya merasa yakin akan panggilan saya sebab saya merasakan buah-buah Roh dalam komunitas ini.
II. KONSEKUENSI MENJADI SEORANG RELIGIUS
Menjadi seorang religius berarti mengikuti Kristus secara radikal. Maka konsekuensi yang dihadapi seorang religius tentunya berbeda dengan awam. Sebab Yesus sendiri bersabda: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagiku.” (Mat 10:38). Salib yang ditanggung oleh masing-masing orang tentu berbeda. Namun dalam hal ini saya mencoba merumuskan konsekuensi-konsekuensi bagi orang yang mau mengikuti Kristus dengan jalan menjadi seorang biarawan, biarawati atau imam. Konsekuensi-konsekuensi ini juga yang saya sendiri tanggung dan rasakan.
A. Meninggalkan Kekayaan dan Keluarga
Kisah orang muda yang kaya dalam ketiga Injil sinoptik (Mat 19:16-26; Mrk 10:17-27; Luk 18:18-27) menegaskan bahwa jika kita mau mengikuti Yesus, kita harus meninggalkan kekayaan kita. Artinya kita tidak boleh lekat pada kekayaan atau harta duniawi. Konsekuensi ini tertuang dalam kaul kemiskinan yang dihidupi oleh seorang religius. Dengan demikian kita pun tidak boleh khawatir tentang pemenuhan-pemenuhan kebutuhan kita (Mat 6:25-34; Luk 12:22-31). Inilah kemiskinan religius, yakni menyerahkan diri sepenuhnya kepada Penyelenggaraan Ilahi.
B.Memilih hidup Membiara.
Memilih hidup membiara berarti juga rela meninggalkan keluarga, sahabat, teman dan siapa saja yang berelasi dengan kita sebelum masuk di biara. Tujuannya adalah supaya kita pun belajar untuk lebih fokus pada pembentukan relasi yang erat dan dekat dengan Allah. Kita menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dan pengharapan kita. Injil mengisahkan tentang hal ini juga, yaitu dalam Mat 8:18-22; Mat 10:34-42; Luk 9:57-62.
C. Tidak Menikah
Menjadi seorang religius rela untuk tidak menikah. Sebagaimana dikatakan dalam Injil Mat 19:12 bahwa ada orang yang membuat dirinya tidak menikah karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Hal tersebut tertuang dalam kaul kemurnian, meski sebernarnya kaul kemurnian bukanlah berarti perawan secara biologis saja melainkan merupakan pengertian hati yang tak terbagi untuk Allah. Namun sampai saat ini keperawanan secara biologi penting demi mutu integrasi hati pribadi seorang religius. Fr. Timothy Radcliffe, OP menjelaskan hal ini dengan cukup jelas dalam bukunya yang berjudul Sing A New Song.
D. Taat
Seorang religius mengikrarkan kaul ketaatan. Ketaatan erat kaitannya dengan kewajiban yang harus dipenuhi sebagai seorang religius. Oleh karena seorang religius adalah orang yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah maka ia pun harus taat kepada peraturan-peraturan yang berlaku dalam tarekat yang diikutinya sebagai bentuk pengosongan dirinya. Seorang religius harus siap diutus kemana pun.
Meski lepas dari dunia, namun seorang religius tetaplah merupakan warga negara dan masyarakat yang merupakan sasaran karya pelayanan. Maka Injil mengatakan tentang hal ini: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat 22:21).
Tentunya konsekuesi-konsekuensi lain juga turut menyertai dalam menghayati ketiga kaul tersebut terutama dalam menghayati hidup bersama di komunitas. Konsekuensi tersebut dapat berupa pengorbanan dalam hal perasaan, tenaga, pikiran, dsb yang sebetulnya semuanya harus merupakan konsekuansi yang membebaskan sebab seperti yang telah dikatakan di atas bahwa panggilan ini adalah rahmat dan tawaran jalan panggilan ini adalah bebas bagi siapa saja. Oleh karenanya, buah-buah Roh dapat dijadikan faktor untuk menentukan ketegasan panggilan. Bila segala konsekuensi itu dihadapi dengan penuh sukacita, maka itulah rahmat panggilan.
III. MENGENDALIKAN LIBIDO
Manusia merupakan mahluk biologis yang tak pernah bisa lepas dari dorongan seksualnya. Namun seseorang yang memilih jalan panggilan hidup membiara dengan bebas dan rela melepas pilihan itu. Hal ini tidak menyalahi kodrat manusia yang diciptakan berpasang-pasangan, sebab seperti telah disebutkan bahwa dalam Injil pun dikatakan bahwa ada orang yang dengan rela tidak menikah demi Kerajaan Sorga (Mat 19:12). Seorang religius mau menyerahkan dirinya secara utuh bagi karya penyelamatan Allah di dunia. Bila menikah tentu pelayanannya tidak akan fokus. Seorang suami akan memikirkan bagaimana membahagiakan istri dan anaknya dan sebaliknya seorang istri akan berusaha untuk membahagiakan suami dan anak-anaknya juga. Hidup selibat mengarahkan sesorang untuk fokus pada Allah dengan hati yang tak terbagi.
Kenyataan berbicara bahwa yang berkaul kemurnian adalah pribadi orangnya sedangkan hormonnya tidak. Hormon tetap bekerja normal dan hal tersebut menimbulkan dorongan-dorongan seksual atau libido. Lalu bagaimana seorang religius mengatasi hal tersebut supaya kemurniannya tetap terjaga?
Hal penting yang harus dipegang adalah bahwa kita tidak boleh melarikan diri dari kodrat itu. Artinya, mengatasi libido tersebut dengan menyalurkannya pada aktivitas lain. Fr. Timothy mengatakan bahwa bila hal tersebut dilakukan maka itu merupakan pengingkaran terhadap kerapuhan yang ada dalam relasi insani. Orang yang mencari kepuasan dengan cara melampiaskannya dengan banyak beraktivitas dapat tetap menjaga diri, tetap kokoh dan terkendali, tetapi selalu merasa takut. Padahal penghayatan kemurnian tidak mungkin bila dilandasi oleh ketakutan akan seksualitas.
Libido merupakan bentuk dari emosi atau perasaan dan merupakan sebuah dorongan dari kerja hormone yang mengakibatkan muncul perasaan ingin dipuaskan dan sebagainya. Br. Theo, FIC dan Br. Martin, FIC dalam bukunya yang berjudul Membangun Hidup Religius Yang Damai dan Sejahtera menyebutkan bahwa hal pertama yang harus dilakukan dalam mengelola emosi adalah menyadari dan menerima bahwa kita sedang emosi, bahwa kita sedang merasakan atau terdorong untuk melakukan atau memenuhi sesuatu dalam diri kita. Diperlukan sebuah sikap yang tenang dan sebagai religius, kita perlu menyerahkannya kepada Tuhan dan mohon kuasa Roh-Nya untuk dapat meolong kita mengatasi libido kita.
Menurut pengalaman saya pribadi, sikap tersebut memang sangat membantu. Usaha konkretnya yakni dengan membaca Kitab Suci dan meresapkan sabda Allah sendiri serta selalu kembali kepada motivasi yang benar dan sah kita mejadi seorang religius. Ada beberapa ayat dalam Ktab Suci yang membantu kita dalam mengendalikan libido kita, yaitu:
2 Tim 2:22 “Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hatio yang murni.”
2 Kor 10:5 “ Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukannya kepada Kristus.”
Mat 28:20 “ dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu sampai kepada akhir zaman.”
Ibr 10:24-25 “ Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.”
Rm 1:16 “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.”
Dari ayat-ayat tersebut, maka penting juga bagi kita untuk menghindari dorongan seksual yaitu dengan menjaga pergaulan dan relasi dengan lawan jenis, tapi bukan berarti membatasi diri dan diliputi rasa takut melainkan cinta yang bebas dan tidak posesif. Atau dapat juga dengan meresapkan ayat-ayat favorit yang dapat meneguhkan iman dan harapan akan Allah yang mampu mengatasi segala.
Bagi saya pribadi, kecenderungan dan kelekatan-kelekatan yang mengganggu perjalanan panggilan saya adalah dalam hal kemurnian ini. Saya memiliki kecenderungan yang selalu ingin diperhatikan apalagi oleh lawan jenis. Juga karena didorong oleh pengalaman masa lalu yang telah beberapa kali mengalami pacaran. Melalui aktivitas-aktivitas yang ada dalam biara membuat saya jarang sekali mengalami dorongan-dorongan itu.
Kalau pun saya teringat akan relasi-relasi dengan lawan jenis, maka seperti yang saya katakan, saya berusaha untuk menyadarinya dan menyerahkannya pada Allah dalam doa-doa saya, sebab saya tahu bahwa saya sangat lemah dalam hal ini. Aktivitas doa amat sangat menolong saya. Saya tidak takut menjalani perjalanan dalam bahtera panggilan saya sebab saya percaya terang Kristus yang memanggil saya akan senantiasa menyertai saya. Amin.
WITH JESUS IN MY VESSEL
I CAN SMILE AT THE STROAM
DAFTAR PUSTAKA
Darminto, J. 2006. Penegasan Panggilan. Kanisius, Yogyakarta.
Lembaga Alkitab Indonesia. 1976. Alkitab Deuterokanonika. LAI, Jakarta.
Radcliffe, Timothy. 2009. Sing A New Song, Nyanyikanlah Lagu Baru. Dioma, Malang.
Riyanto, Theo dan Martin Handoko. 2008. Membangun Hidup Religius Yang Damai & Sejahtera. Kanisius, Yogyakarta.
Oleh: Ancilla Sutrisno
Source : ancillasutrisno.blogspot.com
Post a Comment