Dalam sebuah film yang berjudul Vertical Limit, dikisahkan sebuah keluarga sedang melakukan pendakian pada sebuah tebing batu yang tinggi dan terjal. Mereka sangat percaya diri karena sebelumnya telah menaklukan banyak tebing. Dengan saling terhubung sebuah tali, mereka mendaki dengan gembira.
Mereka masing-masing juga telah membawa peralatan yang lengkap. Ketika berada tidak jauh dari puncak tebing, tiba-tiba tas yang dibawa salah seorang dari mereka terjatuh diikuti pemiliknya yang kemudian menarik tali yang menghubungkannya dengan yang lain sehingga 3 orang dari mereka tergelantung dengan mengandalkan paku pengaman dari 2 orang yang masih bertahan berpegang pada tebing. Oleh karena panik dan ketakutan, salah seorang dari yang tergelantung itu terus saja meronta-ronta. Akhirnya ia pun terjatuh dan mati.
Ketika saya merenungkan kisah dalam Injil Markus 4:35-41, saya melihat ada hal yang behubungan dengan ceirta di atas. Injil menceitakan, para murid meninggalkan orang banyak lalu bertolak ke seberang dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu dimana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak yang menyembur masuk ke dalam perahu sehingga perahu itu penuh dengan air. Para murid panik dan takut, lalu membangunkan Yesus yang tertidur di buritan di sebuah tilam. Yesus kemudian menghardik angin itu dan angin itu reda serta danau menjadi teduh sekali.
Para pendaki dan para murid merupakan orang-orang yang telah berpengalaman. Sebelumnya para pendaki telah menaklukan banyak tebing dan kita ingat juga bahwa para murid sebagian adalah nelayan dari Galilea yang berpengalaman dalam melaut. Orang-orang dalam kedua kisah itu sama-sama telah membawa perlengkapan yang cukup. Para pendaki membawa peralatan mendakinya dan para murid membawa perahu lengkap dengan peralatannya.
Selain itu, ada perahu-perahu lain dan Yesus yang menyertai mereka. Semua telah dirasa ok dan siap dengan segala resiko yang akan terjadi. Namun, ada perbedaan dari kedua kisah ini yaitu sikap yang diambil oleh pendaki yang jatuh dan para murid ketika dalam keadaan panik dan takut. Ketika merasa panik dan takut, seorang pendaki yang tergelantung meronta-meronta terus sehingga akhirnya ia terjatuh dan mati, sedangkan para murid ketika panik dan takut segera membangunkan Yesus dan meminta pertolongan kuasa-Nya.
Sebelum memutuskan untuk hidup membiara, saya merasa telah memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi perjalanan hidup membiara: restu dan dukungan dari orang tua, kakak dan seluruh anggota keluarga besar, kesehatan yang baik, serta gambaran mengenai kehidupan di biara. Ketika ditanya suster apakah sudah pernah bekerja dan pacaran, dengan mantap saya jawab ya, pernah. Suster mengatakan bahwa pengalaman bepacaran perlu karena dapat membantu dalam proses perkembangan kepribadian dan penghayatan kaul kemurnian. Dengan demikian, saya menjadi lebih percaya diri dan rasanya bekal saya sudah sangat lengkap. Saya sudah pernah pacaran lebih dari satu kali. Saya bepikir bahwa saya akan lebih mengerti bagaimana berhadapan dengan lawan jenis agar tidak mudah tergoda karena setidaknya saya sudah berpengalaman.
Suatu ketika saya mengikuti sebuah kegiatan bersama dengan para postulan dari beragai kongregasi selama beberapa hari. Dari pengalaman itu, ada seorang postulan dari kongregasi bruder yang baik dan secara fisik menarik untuk saya. Saya tidak pernah berpikir untuk jatuh cinta, rasanya itu tidak mungkin karena saya sudah tahu bagaimana akibatnya. Namun ternyata, setelah selesai acara itu, ketika bedoa, bekerja dan belajar, wajah teman itu terbayang-bayang terus. Ketika saya menyadari bahwa saya jatuh cinta saya panik dan merasa takut sekali. Saya menjadi tidak tenang dan berusaha keras untuk menghilangkan bayangannya. Sungguh, saya dibuat kelabakan oleh perasaan itu. Aneh dan terkesan bodoh memang, tapi itu terjadi.
Selain pernah mengalami sendiri, saya juga pernah membaca buku bagaimana kalau kita jatuh cinta. Tapi saat cinta itu datang tanpa kita sadari, ternyata membuat bingung juga. Dalam keadaan demikian, saya mencoba untuk tenang.
Bukan sebuah kebetulan bahwa suatu hari bacaan Injil yang direnungkan adalah Markus 4:35-51 dan tiba-tiba saya ingat cerita film Vertical Limit. Saya bepikir bahwa kalau saya tetap panik dan tidak dapat mengontrol perasaan saya, saya akan jatuh dan mati seperti pendaki itu. Namun, bila saya seperti para murid dalam perahu itu, saya pasti akan selamat. Artinya, saya harus membangunkan Yesus. Maksudnya adalah, saya perlu membangkitkan pengalaman-pengalaman saya bersama Yesus terutama pengalaman ketika saya merasa sungguh-sungguh dicintai oleh Yesus.
Dengan demikian, kebutuhan cinta yang dipenuhi oleh Yesus membuat saya merasa serakah dan malu bila harus mencari cinta yang lain. Saya perlu belajar dari masa lalu untuk mengetahui apa yang harus saya lakukan supaya dapat mengatasi gejolak perasaan saya demi kelangsunan perjalanan panggilan saya. Br. Timothy Radcliffe, OP dalam buku Sing A New Song mengatakan, kita mempelajari masa lalu untuk menemukan benih-benih masa depan yang tak tebayangkan. Sasaran utama studi kita adalah mengasah ingatan dan banyak studi kita adalah studi tentang masa lalu.
Akhirnya, dalam meditasi saya mengingat pengalaman rohani saya ketika saya sungguh merasa istimewa bagi Yesus dan Ia memanggil saya untuk menikmati cinta-Nya di tempat ini. Pengalaman yang tak terlupakan dan ternyata mampu membuat saya merasa penuh dengan cinta. Rasa takut dan gelisah karena gejolak perasaan itu lambat laun akhirnya dapat saya atasi. Saya menyadari bahwa cinta itu anugerah yang harus saya syukuri. Apa yang saya alami adalah sebuah sapaan cinta dari Dia yang mencintai saya dalam keheningan. Dia menyapa, “Apa kabar Cinta?
Apakah cintamu masih seperti yang dulu ataukah sudah berubah dengan adanya si dia?”. Setiap kali bayangannya muncul, saat itu saya katakan. “Tuhan, aku mencintai-Mu. Terima kasih Engkau telah hadirkan dia sebagai sapaan cinta-Mu padaku.” Dengan demikian saya menjadi lebih tenang dalam menghadapinya. Saya tidak menolaknya apalagi memaksa diri untuk melupakannya tetapi saya juga tidak selalu mengikuti keinginan untuk berkhayal tentang dia. Saya bisa menikmati hari-hari saya tanpa rasa panik dan takut.
Dari pengalaman jatuh cinta ini saya juga belajar untuk rendah hati dan tidak sombong. Saya merasa telah terlalu angkuh dan sombong. Saya hanya mengandalkan kekuatn diri. Dengan penuh percaya diri saya mengatakan bahwa saya tidak mungkin akan mudah tergoda oleh oleh lawan jenis dan jatuh cinta lagi. Oh..., saya bukan Tuhan. Tuhanlah yang memilki cinta itu. Dia bisa memberi rasa cinta itu pada siapa saja, kapan saja sekehendak hati-Nya. Dia pula yang sanggup menolong kita bilamana kita jatuh cinta. Kita tidak bisa mengatur cinta itu boleh datang atau tidak. Saya juga menemukan bahwa ternyata jatuh cinta itu juga studi. Selama saya bergulat dengan perasaan itu, saya mengolah budi dan hati saya, merenungkan dan mencari jalan keluar untuk dapat mengatasi gejolaknya.
Saya juga berkontemplasi. Dalam situasi itu saya dibawa kepada pengalaman cinta Yesus dan sekali lagi mengalaminya serta memperbaruinya. Saya mampu mensyukuri dan mengagumi karya Tuhan dalam dirinya. Saya menyadari kelemahan saya yang akhirnya membuat saya selalu mencari kekuatan Tuhan. Maka saya menjadi orang yang berbahagia karena anugerah cinta itu dan pengalaman yang indah dan berharga yaitu studi tentang jatuh cinta dalam masa pembinaan sebagai calon religius. Syukur pada Tuhan, Sang Cinta Sejati.
oleh ancilla sutrisno
ancillasutrisno.blogspot.com
Post a Comment