Setiap Pribadi merupakan Aset Paroki

Setiap Pribadi merupakan Aset Paroki


Kiranya seruan Berbenah Diri ini semakin digaungkan agar juga akrab didengar oleh umat asli Kelor yang berada di perantuan…..
Sepucuk surat dari Tim Penyusun Buku Kenangan Lustrum I Paroki Kelor Gunungkidul yang bermaksud meminta saya untuk menulis sharing pengalaman sebagai putri Paroki, mengingatkan saya pada suatu kenangan masa lalu. Masih segar dalam ingatan saya, masa-masa indah sebagai anak Sekolah Minggu dan Mudika di Lingkungan Tobong yang merupakan bagian dari Wilayah Sambeng, sebelah Timur dari Paroki Kelor. Ada kegiatan sekolah Minggu dan kegiatan Mudika yang dihidupi dengan berbagai acara seperti halnya arisan, ziarah, rekreasi, makan bersama, koor, lomba-lomba, bahkan sekedar berkumpul dan berbagi cerita yang lucu-lucu. Kala itu terasa bahwa Gereja menjadi arena untuk berekspresi, berkreasi, dan mengkomunikasikan iman satu dengan yang lain. Senang sekali rasanya bila suatu hari hal itu bisa terulang kembali.
Kegembiraan semakin terasa dan semangat semakin menyala pada waktu itu manakala ada Suster/Frater/Bruder/Romo yang datang menyapa dan menemani kegiatan kami. “Andai ada Suster yang bisa intensif mendampingi Mudika, andai ada Romo yang ditugaskan di Tobong”, demikian si Irene remaja berandai-andai. “Daripada hanya berandai-andai kenapa saya sendiri tidak merealisasikan pengandaian tersebut?”, demikian saya menantang diri sendiri.
Kondisi Gereja yang membuat saya bisa berekspresi, berkreasi, dan mengkomunikasikan iman serta pengandaian yang muncul dari suatu keprihatinan bahwa “tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit” (Mat 9:37) menjadi salah satu hal yang memunculkan keinginan untuk menjadi seorang Biarawati/Suster. Sharing singkat saya tersebut saya awali untuk menyampaikan bahwa panggilan bertumbuh karena saya sebagai pribadi diberi ruang/tempat untuk belajar dan bertumbuh dalam iman oleh Gereja. Hal ini menjadi investasi yang luar biasa untuk panggilan saya saat ini.
Pada waktu saya memutuskan untuk masuk Suster (tahun 2000), saya tidak tahu bagaimana caranya menjadi Suster, yang saya tahu bahwa menjadi Suster itu hidupnya untuk pelayanan Gereja dan sesama. Saya juga tidak tahu meski bertanya kepada siapa karena belum ada orang di desa saya yang menjadi Suster/Bruder/Romo. Akhirnya saya memberanikan diri untuk datang ke Susteran OP Wonosari, saya yakin bahwa Suster disana baik-baik dan mau menerima saya. Saya sempat menjadi anak asrama di sana selama 3 bulan. Inilah langkah pertama saya menginjakkan kaki dalam kancah Kongregasi Suster-suster Santo Dominikus di Indonesia (OP) yang didirikan oleh Santo Dominikus de Guzman.
Ruarrr biasaaa…!!!, sepucuk surat dari Tim Penyusun Buku Kenangan Lustrum I Paroki Kelor juga mengingatkan bahwa telah 5 tahun saya meninggalkan Wonosari yang merupakan tempat tugas perutusan saya pertama. Menjalani tugas perutusan di daerah sendiri mengingatkan saya akan Sabda Yesus,”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya”(Luk 4:24). Maka ketika saya datang ke komunitas Wonosari pada bulan Juli 2003, saya sempat mengalami ketakutan yang luar biasa. Sepanjang perjalanan dari Novisiat Baciro Yogyakarta ke Wonosari, saya mengalami keragu-raguan, kecemasan, dan kekuatiran. Apakah saya nanti diterima didaerah kelahiran saya sendiri? Kalau tidak diterima bagaimana?. Berbagai pertanyaan muncul dalam benak hati saya, meskipun saya yakin bahwa WAKTU yang akan memberikan jawabannya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut kini telah terjawab bahwa saya sangat diterima di Paroki Wonosari (waktu itu Kelor belum mandiri) termasuk di Paroki Kelor. Bahkan saya sempat menyampaikan kepada salah satu teman Suster saya demikian,”Dulu waktu mau datang ke Wonosari saya merasa cemas dan takut. Namun, sekarang saya merasa bahwa saya takut, … takut dipindah maksudnya”. Sontak Suster yang mendengarkan ungkapan saya dengan serius menjadi tertawa. Ungkapan tersebut menandakan bahwa saya diterima di daerah asal sendiri dan saya juga mencintai daerah asal saya sendiri.
Sangat bagus tema yang diangkat pada peringatan Lustrum I yaitu “Berbenah Diri Membangun Citra Gereja yang Bersih dan Peduli”. Didalam tema tersebut terkandung suatu cita-cita, harapan, dan sesuatu yang akan diwujudkan bersama. Cita-cita dan harapan tersebut akan terwujud apabila dimulai dari masing-masing pribadi umat itu sendiri. Dan bila ini terjadi, maka akan menjadi gerakan bersama dalam koridor cita-cita yang satu dan sama yaitu terwujudnya Citra Gereja yang Bersih dan Peduli.
Setiap pribadi baik tua, muda, remaja, anak-anak, bahkan yang masih dalam kandungan merupakan asset yang luar biasa bagi Paroki. Mungkin banyak yang beranggapan bahwa orang tua yang sudah berusia lanjut tidak dapat digolongkan sebagai asset Paroki karena terkesan tidak banyak berbuat sesuatu. Bagi saya pribadi, tidaklah demikian. Satu hal yang membuat saya memiliki pandangan demikian berkat sebuah pengalaman sederhana. Suatu hari saya pernah berjalan menyusuri jalan yang sepi dan banyak pepohonan. Saya terkesan melihat sebatang pohon yang tua dan sudah ditebang separuh. Nampaknya mustahil dari pohon tersebut akan muncul kehidupan, namun kenyataannya dari pohon tersebut justru muncul tunas baru bak memunculkan harapan-harapan baru.
Berbenah Diri Membangun Gereja yang Bersih dan Peduli perlu memperhatikan bahwa setiap pribadi merupakan aset yang sangat berharga yang perlu diberi ruang/tempat untuk berkreasi, berekspresi, saling mengkomunikasikan iman, dan menggali potensi sebagai pribadi. Sebaliknya juga diperlukan kesadaran dari tiap pribadi umat bahwa dirinya merupakan asset yang berharga untuk Paroki. Pertanyaan,”Apa yang dapat saya sumbangkan untuk Paroki?”, baik untuk kita tanyakan pada diri kita masing-masing dan bukan sebaliknya, menuntut apa yang telah diberikan Paroki kepada saya?
Kiranya seruan Berbenah Diri ini semakin digaungkan agar juga akrab didengar oleh umat asli Kelor yang berada di perantuan. Waktu dan jarak tidak menghalangi untuk tetap peduli dan terlibat untuk mewujudkan cita-cita bersama ini. Siapapun diri kita dan dimana pun sekarang ini berada, perlu kembali menengok ke belakang bahwa Paroki telah meletakkan dasar iman yang benar dan kokoh dalam diri kita.
Saya sebagai umat yang sekarang ini bertugas di Jakarta (istilahnya di perantauan) juga masih “say hello” kepada orang-orang yang saya kenal untuk menanyakan bagaimana perkembangan Paroki. Pertanyaan yang sederhana seperti halnya siapa Romo Parokinya, bagaimana bangunan fisik gedungnya, siapa saja Dewan Parokinya dan sebagainya dapat menumbuhkan rasa “andarbeni”. Dibalik pertanyaan tersebut terselip juga harapan yang besar, banyak pemudi yang tergerak menemani saya untuk bergabung dalam barisan Suster-suster OP.
Teriring rasa syukur pada peringatan Lustrum I Parokiku tercinta, saya ingin menyampaikan harapan dan kerinduan saya khususnya kepada kaum muda untuk berani mengambil keputusan menanggapi panggilan sebagai Romo/Suster/Bruder. Saya yakin, diantara kaum muda-mudi ada yang terpanggil namun belum berani menanggapi sapaan Allah tersebut. Saya yakin seiring dengan semakin majunya Paroki Kelor, semakin tumbuh subur pula benih-benih panggilan.
Proficiat kepada Rm. Kristiyanto, Pr, para Romo, Dewan Paroki, para Panitia, dan segenap umat atas ulang tahun Paroki St. Petrus dan Paulus Kelor yang ke-5 yang dirayakan pada tanggal 5 Agustus 2011. Semoga terwujudlah suatu harapan untuk Berbenah Diri Membangun Citra Gereja yang Bersih dan Peduli.***
Sr. Irene, OP
Source : 
dominikanid.org


Post a Comment

Previous Post Next Post