PERMENUNGAN UNTUK HARI JUMAT
AGUNG
Di mana-mana ada penderitaan. Penyakit, bencana alam, kemiskinan, kelaparan, kecelakaan, perang, dan kematian. Mengapa semua bencana dan penderitaan ini harus terjadi? Mengapa Tuhan membiarkannya? Apakah Tuhan tidak bisa berbuat sesuatu?
Mungkin anda kenal dengan film yang berjudul King of Kngs, yang mengisahkan sejarah hidup Yesus. Banyak penghormatan dan piala diterima oleh Cecil B. DeMille atas suksesnya memproduksi film King of Kings itu. Namun dari segala penghormatan dan anugerah yang ia terima, ia paling menghargai sebuah surat yang ia terima dari seorang wanita yang sakit, yang tinggal beberapa minggu lagi pasti meninggal. Anak-anaknya telah membawa wanita itu dengan kursi rodanya untuk menonton film itu. Dan sesudah menonton film itu, wanita yang sakit itu menulis kepada Cecil B. DeMille: "Terimakasih, terimakasih atas King of Kings. Film itu telah mengobah apa yang akan terjadi dalam diriku, dari suatu ketakutan berobah menjadi penantian mulia".
Yang dirasakan wanita yang dekat ajal itu itu hampir sama dengan yang dirasakan oleh penjahat yang bertobat, yang disalibkan bersama dengan Yesus. Penjahat itu berkata: "Yesus, ingatlah akan daku, apabila Engkau datang sebagai raja". Yesus berjanji kepadanya: "Sesungguhnya, hari ini juga engkau akan bersama Aku di Firdaus". Wanita yang sakit dan penyamun yang disalibkan itu sama-sama dalam keadaan menderita. Keduanya ketakutan menghadapi ajal yang sudah sangat dekat. Dan keduanya menerima harapan baru dari Yesus, Raja segala raja itu.
Dalam kehidupan ini masing-masing kita harus menderita juga. Beberapa dari kita bahkan sedang menderita sekarang ini, penderitaaan jasmani atau penderitaan batin, atau bisa jadi keduanya.
Ada seorang raja, bahkan raja segala raja, king of kings, yang pernah menderita. Mengapa semuanya itu harus terjadi atas diriNya? Ia sendiri pernah menjawab: "... biji gandum harus jatuh ke tanah dan hancur untuk menghasilkan banyak buah". Dengan itu Ia mau mengatakan bahwa penderitaan adalah jalan untuk mencapai kejayaan dan keselamatan. Oleh sebab itu Ia menerima penderitaanNya dengan ikhlas, bahkan oleh keyakinan itu Ia menjadi tuan atas penderitaan dan sengsaraNya. Ia tidak kalah tetapi menang dalam penderitaanNya.
Berpalinglah padaNya, seperti penyamun yang disalibkan itu berpaling kepadaNya. Bermohonlah pada raja yang menderita itu agar kita bisa menjadi tuan atas penderitaan kita. HormatiIah Dia sebagai raja dari semua orang yang menderita.
Kebanyakan dari kita umumnya menikmati keadaan yang cukup baik. Kalaupun kita menderita, barangkali hat itu tidak terlalu sering terjadi. Namun saatnya akan tiba, bahwa kita harus menderita. Mengapa tidak menyiapkan diri untuk itu? Mengapa tidak berpaling pada Kristus, Raja yang menderita itu, yang meminta para pengikutNya untuk siap menderita, dan yang selalu menolong mereka dalam penderitaannya? Mari berpaling pada Dia selagi kita dalam keadaan baik, agar kita lebih siap berpaling kepadaNya sewaktu kita menderita. Dan demi Dia mari mencoba menolong siapa saja yang menderita; itu akan membuat kita menjadi pengikut yang lebih setia dari Raja yang menderita itu.
Kebanyakan dari kita umumnya menikmati keadaan yang cukup baik. Kalaupun kita menderita, barangkali hat itu tidak terlalu sering terjadi. Namun saatnya akan tiba, bahwa kita harus menderita. Mengapa tidak menyiapkan diri untuk itu? Mengapa tidak berpaling pada Kristus, Raja yang menderita itu, yang meminta para pengikutNya untuk siap menderita, dan yang selalu menolong mereka dalam penderitaannya? Mari berpaling pada Dia selagi kita dalam keadaan baik, agar kita lebih siap berpaling kepadaNya sewaktu kita menderita. Dan demi Dia mari mencoba menolong siapa saja yang menderita; itu akan membuat kita menjadi pengikut yang lebih setia dari Raja yang menderita itu.
Bila kita mengalami penderitaan, janganlah kita terlalu banyak bertanya: "Mengapa? Apa salah saya?" Tetapi marilah kita bertanya: "Bagaimana sikap saya terhadap penderitaan itu? Dan Tuhan memberi jawaban: “Engkau harus menjadi tuan atas penderitaanmu, karena penderitaan itu adalah jalan menuju kejayaan dan keselamatan".
Mari, saudara-saudariku, mari kita pandang Dia yang tersalib, mari... mari mencium salibNya, dan mari belajar daripadaNya. =====
Source : FB
Leo Sipahutar Ofmcap
PERMENUNGAN UNTUK HARI KAMIS PUTIH
(Yoh 13: 1–15)
Kejadian di ruang perjamuan terakhir di Yerusalem itu penuh dengan simbol yang padat arti. Kiranya terlalu dalam dan terlalu banyak segi yang bisa direnungkan. Saya mengajak saudara merenungkan satu segi saja.
Segi ini sudah terus nampak dari tindakan Yesus yang pertama. Yesus bangkit dari meja perjamuan tanpa kata, menanggalkan jubahNya dan membelitkan handuk besar di pinggangNya. Ia ambil air dalam baskom, berlutut di kaki rasul yang paling dekat dan mulai mencuci kaki rasul itu, lalu melapnya bersih. Satu demi satu para rasul itu mendapat giliran dicuci kakinya dan dilap. Tentu saja Petrus keberatan. Mencuci kaki adalah pekerjaan hamba. Masakan Guru dan Tuhan mencuci kaki murid? Tapi justru itulah yang dikehendaki Yesus. “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu” (Yoh 13: 13-14).
Mencuci kaki orang lain jelaslah suatu pekerjaan yang tidak enak. Apalagi kalau itu adalah kaki degil dari pengemis atau kaki berlumpur seorang buruh kasar. Ini menuntut kerendahan hati dan kemauan untuk melayani dan mengabdi. Kesediaan melayani dan mengabdi inilah yang ditunjukkan Yesus sebagai jalan untuk mendirikan KerajaanNya. Ia berbuat apa saja demi kebaikan dan kebahagiaan manusia saudara-saudaraNya.
Pengabdian ini diperagakanNya lebih dalam lagi dalam Perayaan Ekaristi yang pertama. Sebuah roti dipecahkanNya berkeping-keping, dan sambil membagi-bagikannya kepada para muridNya, Ia berkata: “Ini tubuhKu, ambillah dan makanlah”. Roti yang berkeping-keping itu disebutNya tubuhNya, diriNya yang habis dibagi berkeping-keping. Ia hancur dan mati, menyerahkan diri kepada manusia sampai sehabis-habisnya. Ini akan ditunjukkanNya secara nyata besok di Golgota. Ia mati di salib demi pengabdian kepada manusia.
Kemudian Ia mengambil piala berisi anggur merah dan memberikannya kepada para muridNya: “Ini piala darahKu, minumlah”. Anggur yang dituangkan dalam piala dan diminum habis oleh para muridNya itu disebutNya darahNya, hidupNya. Ia membagi-bagikan diriNya kepada manusia sampai habis. Ini akan ditunjukkanNya secara nyata besok di atas salib. Ia mencurahkan darahNya sampai habis di gunung Golgota. Dengan menyerahkan tubuh dan darahNya kepada manusia, Ia menyerahkan diriNya secara utuh. Ia mengadakan kontak yang sedalam-dalamnya dengan manusia. Daya hidup dan semangatNya menjadi milik manusia, menjadi kekuatan untuk membangkitkan manusia dari kelemahannya, menjadi tenaga yang menggerakkan kita berbalik dari dosa kita.
Sejak sambut komuni pertama sampai ajal kita, Yesus menawarkan diri menjadi sumber yang tak habis-habisnya, kekuatan yang takkan pernah surut untuk menjalani segala liku dan suka duka hidup kita. Inilah pengabdian Yesus, pelayanan tanpa batas.
Malam semakin larut di ruang perjamuan di Yerusalem itu. Di luar gelap dan sunyi. Suasana semakin sayu. Yesus menatap murid-muridNya dengan penuh kasih. Lalu Ia mengucapkan kata-kata perpisahan yang panjang dan bernas. Pada pokoknya Yesus menekankan sekali lagi dasar KerajaanNya, yakni: saling mengasihi.Kasih itu dinyatakan dengan melayani, menyerahkan diri, memberikan nyawa bagi sahabat. Yesus menyebut muridNya sahabat, dan mengharapkan setiap orang menerima orang lain sebagai sahabat. Dan untuk sahabat setiap orang bersedia menjadi pelayan dan abdi, malah menyerahkan nyawa, artinya: mengabdi tanpa batas.
Akhirnya Yesus mengangkat tangan ke langit dan mendoakan murid-muridNya kepada Bapa, supaya Bapa melindungi mereka dari yang jahat, supaya mereka bersatu dalam kasih, supaya terbentuk persatuan antara Bapa dan manusia, sama seperti antara Bapa dan Putera.
Begitu cemasnya Yesus mengusahakan kebaikan dan kebahagiaan kita sampai Dia bersedia melayani kita sehabis-habisnya, menyerahkan seluruh diriNya untuk kita, mengorbankan hidupNya sampai tetes darah penghabisan, meninggalkan pedoman hidup bagi kita dalam InjilNya, mendoakan keselamatan kita kepada BapaNya. Inilah pengabdian yang sehabis-habisnya.
Dan sekarang dengan cemas dan harap Ia menantikan jawaban kita. Ia sabar menunggu sampai kita sadar dan siap menerima dan membalas pengabdianNya. Tapi setiap saat Ia menanti dan memandang kita dengan penuh harap. Jawaban yang diharapkanNya jelas. Ia mengharap kita bersedia mencuci kakiNya dengan mencuci kaki orang di sebelah kita. Ia menanti kita berani berkata: “Ini tubuhku, ini darahku, bagi kalian sahabat-sahabatku”. Ia menantikan kata-kata hiburan, dorongan dan petunjuk dari mulut kita untuk sahabat-sahabatNya, orang-orang sekitar kita. Ia mengharapkan doa kita untuk umat manusia. Pendeknya Ia mengharapkan kita mengabdi sesama seperti Ia sudah mengabdi sehabis-habisnya. Ia tahu kita kecil dan lemah; tapi dari yang paling kecil dan lemah pun Ia mengharapkan sesuatu….
Ia menanti setiap saat….
Jawablah Dia!! ======
RENUNGAN
KAMIS, 17 APRIL 2014.
YOHANES 13:1-15 BP=Kel.12:1-8,11-14 BK=1 Kor.11:23-26
Hari Kamis Putih mengenang Perjamuan Tuhan – Adorasi
APP (Belajar Sepanjang Hidup)
KAMIS, 17 APRIL 2014.
YOHANES 13:1-15 BP=Kel.12:1-8,11-14 BK=1 Kor.11:23-26
Hari Kamis Putih mengenang Perjamuan Tuhan – Adorasi
APP (Belajar Sepanjang Hidup)
Perjamuan Malam Terakhir
Dalam Ekristi Kudus
Dalam Ekristi Kudus
Sebelum hari raya Paskah mulai, Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa. Sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya. Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia. Yesus tahu, bahwa Bapa-Nya telah menyerahkan segala sesuatu kepada-Nya dan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah. Lalu bangunlah Yesus dan menanggalkan jubah-Nya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggang-Nya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh kaki murid-murid-Nya lalu menyekanya dengan kain yang terikat pada pinggang-Nya itu. Maka sampailah Ia kepada Simon Petrus. Kata Petrus kepada-Nya: "Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?" Jawab Yesus kepadanya: "Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak." Kata Petrus kepada-Nya: "Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya." Jawab Yesus: "Jikalau Aku tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian dalam Aku." Kata Simon Petrus kepada-Nya: "Tuhan, jangan hanya kakiku saja, tetapi juga tangan dan kepalaku!" Kata Yesus kepadanya: "Barangsiapa telah mandi, ia tidak usah membasuh diri lagi selain membasuh kakinya, karena ia sudah bersih seluruhnya. Juga kamu sudah bersih, hanya tidak semua." Sebab Ia tahu, siapa yang akan menyerahkan Dia. Karena itu Ia berkata: "Tidak semua kamu bersih." Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.
Makan bersama dalam keluarga merupakan medium dialog yang sangat baik untuk menjalin komunikasi aktif antara orang tua dan anak dan anak dengan orang tua. Kebiasaan makan bersama dalam keluarga dapat menjembatani diri kita dalam anggota keluarga menjadi keluarga yang bahagia dan harmonis.
Yesus sebelum malam terakhir paskah tiba mengadakan perjamuan makan malam terakhir dengan keluarga para murid-muridNya. Dimana perjamuan malam terakhir Tuhan ini telah menjadi warisan puncak hidup rohani para pengikut Kristus sampai sekarang. Perjamuan ini di namakan Ekaristi Kudus di mana Yesus Putra Allah telah menyerahkan mutlak diriNya dalam tubuh dan darahNya demi keselamatan umat pilihanNya.
Perjamuan paskah ini sebagai kenangan bagi bangsa Israel dalam pembebasan mereka dari belenggu dosa. Tindakan Yesus kepada muridNya dalam kerendahan hatiNya, Ia rela membasuh kaki para murid agar kelak mereka bersih dari noda dosa dan menjadi penerus berita keselamatan kepada semua orang. Dan hendaklah apa yang telah Ku perbuat kepadamu maka perbuat jugalah kepada sesamamu. Pesan Yesus ini sungguh bermakna dalam diri kita, agar apa yang telah Ia perbuat, maka kita juga wajib melakukannya kepada orang lain.
DOA = Ya...Bapa, layakkanlah aku orang berdosa ini datang pada undangan perjamuan perayaan Ekaristi Kudus_MU.
SALAM KASIH KRISTUS
A.Fernando Zai
SALAM KASIH KRISTUS
A.Fernando Zai
PERMENUNGAN UNTUK HARI MINGGU PALMA (13 April 2014)
Bagian pertama dari perayaan Minggu Palma menampakkan suasana sukacita. Itu nampak dari warna liturgi merah, menggantikan warna ungu yang berlaku selama Masa Prapaskah. Suasana sukacita itu nampak juga dalam bacaan Injil yang dibacakan sebelum perarakan. Injil itu mengisahkan bagamana Yesus masuk kota Yerusalem sebagai pemenang, sebagai seorang Raja. Inilah langkahNya yang terakhir untuk menuntaskan misiNya sebagai Messias: bersengsara, mati, dan bangkit kembali. Maka peringatan ritual masuknya Yesus ke Yerusalem pada awal perayaan hari ini pada dasarnya terarah menuju perayaan Misteri Paskah.
Penginjil Matius mengetengahkah kepada kita gambaran Yesus sebagai Raja yang rendah hati dan pendamai. Dengan mengendarai seekor keledai, Ia mewujudkan nubuat Nabi Zakharia: “Lihat, Rajamu datang kepadamu, lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai betina yang muda” (Mat 21: 5). Messias adalah seorang penguasa yang sederhana dan pendamai yang membawa pemenuhan Kerajaan Allah dengan menyerahkan nyawaNya di salib.
Bagian kedua dari perayaan Minggu Palma ini bergeser ke nada yang suram. Kepada kita diketengahkan kisah sengsara dan kematian Yesus. Lho, aneh. Mengapa kisah sengsara itu dibacakan hari ini? Cukup jelas, bahwa hari ini kita merenungkan sebuah paradoks antara kemenangan dan tragedi: di satu pihak diperingati masuknya Yesus ke Yerusalem sebagai Raja pemenang dan di pihak lain dimaklumkan Yesus yang bersengsara dan lalu mati di salib. Yang ingin disampaikan ialah bahwa bahkan dalam tragedi Jumat Agung ada kemenangan Paskah.
Mengapa kita hari pada hari Minggu Palma ini membaca kisah sengsara Yesus? Sepertinya tidak pada tempatnya, karena Yesus tidak mati pada Minggu Palma. Tampaknya tidak pantas, karena seharusnya hari minggu ini menjadi hari sukacita dan bukan hari perkabungan. Namun, setelah episode gembira masuknya Yesus ke Yerusalem, menyusullah realitas sengsara yang mengerikan. Dan jika kita masuk lebih dalam dan menyelami misteri Paskah, maka memang tepatlah membacakan kisah sengsara Tuhan pada hari ini, sebab kita harus tetap sadar bahwa masuknya Yesus ke kota Yerusalem dengan kemenangan itu tidak bisa dilepaskan dari kematianNya di kayu salib.
Juga, ada semacam paralelisme dan sekaligus kontradiksi antara keduanya. Apa itu? Pada Minggu Palma Yesus naik ke bukit Sion, sedangkan di hari Jumat Agung Dia naik ke bukit Kalvari. Pada Minggu Palma Dia “dipanggul” masuk ke kota Yerusalem, dan pada hari Jumat Agung Dia sendiri memanggul salib-Nya. Pada Minggu Palma orang berjejer di pinggir jalan untuk memujaNya, dan di hari Jumat Agung orang berjejer di pinggir jalan untuk menghinakanNya. Pada hari Minggu Palma orang banyak membuka mantel dan menghamparkannya di jalan untuk menghormatiNya, sedangkan pada hari Jumat Agung pakaian Yesus dilucuti sebelum Dia disalibkan. Pada hari Minggu Palma semua orang memuji Yesus dan meneriakkan "Hosana!" sedangkan dalam sengsaraNya Yesus dihina, diejek dan ditertawakan.
Selain itu, hari Minggu Palma adalah kunci untuk memahami sengsara Kristus, dan sebaliknya sengsara Kristus adalah kunci untuk memahami Minggu Palma. Kita berdiri dengan daun palma di tangan karena kita ingin menyembah Tuhan dan memberiNya kehormatan yang sungguh merupakan hakNya. Di pihak lain kita juga berdiri sebagai orang berdosa; keberdosaan kita itulah yang menjadi alasan mengapa Yesus mati di salib. Kita memuji Tuhan dan sekaligus memohonkan pengampunanNya. Di satu sisi, kita membayangkan bahwa kita sudah sampai di surga memuliakan Tuhan, tetapi di sisi lain kita masih membiarkan setan menarik kita ke neraka. Apakah kita merupakan bagian dari orang banyak yang mengagungkan Yesus? Atau… kita merupakan bagian dari orang banyak yang menuntut agar Dia disalibkan? Kita termasuk keduanya.
Hendaknya kita tidak membayangkan diri sebagai orang yang begitu baik sehingga merasa diri tidak pernah menuntut kematianNya. Setiap kali kita melakukan dosa, sebenarnya kita ikut berdiri bersama kerumunan manusia yang meneriakkan: “Salibkan Dia! Salibkan Dia!".
Memang, darah-Nya tercurah atas kita, dan darah itulah yang menyelamatkan kita. ====
Perayaan Minggu Palma Gereja Paroki St Barnabas (Parsanbas) Pamulang.
إرسال تعليق