EKM: Emang Kamu Misa?

2
belajar taat

EKM: Emang Kamu Misa?

Biasanya, setiap mendengar kata EKM kita langsung berpikir soal Ekaristi Kaum Muda. Hmmm… Emangnya ada Ekaristi Kaum Tua atau Ekaristi Anak-anak?
EKM biasanya menjadi perayaan Ekaristi yang digemari oleh anak muda (mungkin juga ada orang tua yang suka). Umumnya dalam perayaan Ekaristi Kaum Muda tata perayaannya dibuat berbeda. Katanya menurut selera orang muda:  tarian, musikalisasi puisi, visualisasi cerita kitab suci atau drama hidup sehari-hari, dengan iringan kor maupun band, dengan bintang tamu dan simbol-simbol orang muda. Hal ini ditempuh untuk membantu orang muda berjumpa dengan Yesus dalam perayaan Ekaristi.
Sejauh saya mengerti dan paham hanya ada satu Ekaristi, yaitu Ekaristi yang kita rayakan setiap hari minggu atau hari biasa yang sesuai dengan petunjuk TPE. Yang membedakan adalah intensi atau ujudnya saja. Ekaristi yang satu itu sifatnya perayaan resmi Gereja. Karena sifatnya yang resmi itulah Gereja membuat aturan-aturan untuk memastikan bahwa Ekaristi itu sah dan valid.
Emangnya dengan tata perayaan yang katanya dibuat sesuai selera kaum muda itu, Anda (kaum muda) merayakan misa? Gereja yang kudus mengajarkan dengan teramat jelas mengenai hakekat perjumpaan atau kehadiran Yesus dalam liturgi. Ajaran Gereja ini dengan mudah akan kita jumpai jika kita berani dan mau membuka dokumen Konsili Vatikan II, khususnya SC. Konstitusi tentang Liturgi Suci,Sacrosanctum Concilium, menjelaskan bahwa Kristus selalu hadir dalam diri umat beriman yang sedang berliturgi. Sebab, dalam setiap kegiatan liturgi, kita berkumpul dalam nama Kristus untuk merayakan karya keselamatan Allah. “Dalam karya seagung itu, saat Allah dimuliakan secara sempurna dan manusia dikuduskan, Kristus selalu menggabungkan Gereja, Mempelai-Nya yang terkasih, dengan diri-Nya” (SC 7).
Oleh karena itu, marilah dalam setiap kegiatan liturgi, kita selalu menyadari bahwa Tuhan hadir dalam komunitas atau kebersamaan kita. Dengan kesadaran ini, tentu setiap perayaan liturgi akan kita persiapkan dan kita hayati dengan sungguh-sungguh. Akhirnya, liturgi yang kita hayati dengan sungguh-sungguh ini akan mengalirkan rahmat yang melimpah sehingga kita sehati sejawa dalam kasih dan dapat mengamalkan iman kita dalam kehidupan sehari-hari (SC 10).
Konstitusi Liturgi juga menyatakan: “Kristus hadir dalam kurban Misa, baik dalam pribadi pelayan ‘karena yang sekarang mempersembahkan diri melalui pelayanan imam sama saja dengan Dia yang ketika itu mengorbankan diri di kayu salib’, maupun terutama dalam (kedua) rupa Ekaristi” (SC 7). Betapa agung dan mulianya Kristus yang berkenan hadir di tengah kita umat-Nya melalui diri para pastor atau pelayan Misa ini. Itulah sebabnya, saat memimpin Misa seorang imam benar-benar sedang menjadi alter Christus (Kristus yang lain). Karena Kristus hadiri dalam diri imam saat memimpin Misa itulah, umat berdiri saat imam masuk, atau para petugas menundukkan kepala kepada imam selebran sebelum bertugas.
Kiranya dapat dikatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi Kristus sendiri hadir dan menjumpai kita. Luar biasa kan? Nah, perayaan Ekaristi sendiri ya mulai dari awal sampai akhir. Mulai dari ritus pembuka sampai ritus penutup. Jika sudah demikian luar biasa ajaran Gereja, masihkah kita menggunakan argumen “untuk membantu umat berjumpa dengan Tuhan” sebagai pembenaran atas utak atik tata perayaan Ekaristi? Jangan-jangan, “kita melihat namun tidak percaya”. Artinya Kristus jelas hadir tetapi tidak mampu kita lihat. Kristus ada namun kita malah sibuk mencari cara untuk menghadirkan Yesus. Wong sudah hadir kok masih dicari-cari dengan cara ini dan itu.
Gereja mengajarkan bahwa “Kristus hadir dalam Sabda-Nya, sebab Ia sendiri bersabda bila Kitab Suci dibacakan dalam Gereja” (SC 7). Ajaran ini kembali ditegaskan dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 1088. Mengingat agung dan luhurnya kehadiran Tuhan dalam Sabda-Nya, Instruksi Redemptionis Sacramentummenegaskan, “Tidak juga diperkenankan meniadakan ataupun menggantikan bacaan-bacaan Kitab Suci yang sudah ditetapkan, atas inisiatif sendiri, apalagi “mengganti bacaan dan Mazmur Tanggapan yang berisi sabda Allah, dengan teks-teks lain yang bukan dari Kitab Suci” (RS 62). Jelas kan bahwa Yesus hadir dalam sabda-Nya? Lha kok masih berani-beraninya kita mencari-cari kehadiran Yesus dalam sabdaNya itu dengan membuat injil tandingan yang terwujud dalam visualisasi. Teks Injil yang demikian agung justru kita gantikan dengan visualisasi atau drama. Bacalah dan pahamilah, wahai rekan-rekan muda.
Masih ada contoh lain. Konstitusi Liturgi artikel 7: “Kristus hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur, karena Ia sendiri berjanji: Bila dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situlah Aku berada di antara mereka (Mat 18:20)”. Konstitusi Liturgi menunjuk  bahwa Tuhan hadir saat Gereja memohon dan bermazmur. Jelas kan jika Yesus hadir ketika umatNya sedang berdoa? Tapi coba kita lihat apa yang terjadi pada saat EKM? Ada lho yang selama perayaan Ekaristi malah sibuk dengan SMS atau BBM. Ada yang tidak peduli dengan apa yang terjadi, yang penting bisa menerima komuni.
Ketika omong soal perjumpaan, kita itu ngomong soal sesuatu yang ada dalam diri kita. Kita berbicara soal disposisi batin. Cobalah rekan-rekan muda bertanya bagaimana simbah-simbah kita dahulu menyiapkan diri untuk merayakan Ekaristi. Ada lho yang rela berjalan jauh selama berjam-jam dengan kondisi perut lapar karena berpuasa. Itu semua untuk apa? “Supaya pantas menerima Kristus” adalah jawaban yang sering terdengar. Bagi saya ini jelas: disposisi batin memudahkan kita untuk mengalami perjumpaan dengan Tuhan.
Tanpa disposisi batin yang tepat, Ekaristi hanyalah sebuah tontonan. Kita tinggal duduk menikmati drama visualisasi Injil; mendengarkan salah satu penyanyi yang disorot kamera dan ditampilkan di layar sembari bergumam: “suarane apik yo”, “penyanyine ayu tenan”; atau ritus-ritus lain yang diciptakan untuk “membantu umat bertemu dengan Tuhan”. Atau terserah mau ngapain yang di dalam gereja, yang penting saya bisa terima komuni.
Disposisi batin yang tepat akan membawa kita sampai kepada keterlibatan yang sadar dan aktif. Ada yang bilang, “Kalau gak ada keterlibatan, ya sebetulnya gak ada perayaan syukur bersama, dan kalau gak ada perayaan syukur bersama, berarti imamnya doang yang “bikin misa”. Sejauh mana kita mengartikan keterlibatan? Memberikan kesaksian tentang kegelisahan hidup pada saat ritus tobat? Ikut menjadi pemain dalam visualisasi Injil? Berjabat tangan dengan orang-orang yang ada di gereja?
Kita akan bisa terlibat secara sadar dan aktif dalam berliturgi ketika kita sungguh mengerti dan paham apa yang dimaksudkan oleh Gereja. Seluruh ritus yang ada disusun sedemikian rupa sehingga membantu umat untuk semakin menyadari bahwa Perayaan Ekaristi adalah perayaan iman yang didalamnya kita merayakan karya keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus dalam Roh Kudus. Dengan mengerti dan memahami makna dari ritus-ritus  yang ada, saya yakin kita akan mampu menghayatinya dengan sikap batin yang luar biasa. Ketika kita mampu melakukan dan menghati ritus-ritus itu, itulah keterlibatan yang sadar dan aktif. Masing-masing menempatkan diri seturut peran dan fungsinya.
Akhirnya, jika kita sungguh-sungguh menghayati liturgi dan Ekaristi dengan segala kekayaan maknanya seperti dikehendaki Gereja, kita tentu dikobarkan untuk mengamalkan pengalaman doa atau Ekaristinya itu dalam hidup dan tingkah laku sehari-hari. Pergilah kita diutus! Dan dengan semangat 45 kita menjawab amin.
Namun, kita sering membenturkan Ekaristi dan perutusan. Kita menganggap Ekaristi tidak menggerakkan orang muda untuk terlibat dalam kehidupan. Lalu, yang diutak-atik adalah liturgi. Sungguh, saya tersenyum kecut ketika menjumpai pandangan seperti itu. Gereja jelas mengajarkan: “Liturgi mendorong umat beriman supaya sesudah dipuaskan ‘dengan sakramen-sakramen Paskah menjadi sehati sejiwa dalam kasih’. Liturgi berdoa, supaya ‘mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman’.” Jika kita belum tergerak untuk mengamalkan, maka persoalan ada pada hidup kita sendiri, bukan pada liturginya. Jika kita mengeluarkan kritikan: terlalu memperhatikan liturgi dan lupa pada praksis hidup, mengapa kita justru menghabiskan banyak waktu untuk mengutak-atik liturgi?
Saya yakin, ketika kita mampu menghayati liturgi dengan baik, rahmat itu akan menjadi daya dorong dan daya ubah untuk hidup kita. Jika belum, mari kita bertanya pada diri kita sendiri: Emang Kamu Misa? Atau jangan-jangan, sepertinya kita misa namun sejatinya Eh, Kita Menonton. Lha kalau nonton ya jangan berpikir soal daya ubah dan keterlibatan dalam kehidupan. Menonton itu puasnya ya ketika nonton. Bisa ampe nangis atau dengan semangat memberikan tepuk tangan. Sesudahnya?
Source : liturgikas.com

Post a Comment

Previous Post Next Post