Latest News

Monday, June 9, 2014

Berliturgi: Upacara atau Perayaan?

1a
diam pun bisa menjadi sebuah bukti nyata keterlibatan yang sadar dan aktif, terutama ketika hati sungguh dilibatkan di sana.

“Upacara-upacara liturgi bukanlah tindakah perorangan, melainkan perayaan Gereja sebagai sakramen kesatuan, yakni Umat kudus yang berhimpun dan diatur di bawah para Uskup” SC 26

Berliturgi: Upacara atau Perayaan?

Takdisangka bahwa dua artikel sebelum artikel ini tayang, INI dan INI, mendapat perhatian cukup besar. Ada pro dan kontra atas sebuah pembelajaran kiranya menjadi hal yang wajar. Semua itu menandaskan bahwa pendidikan berliturgi adalah sebuah upaya yang harus terus menerus dilakukan. Upaya ini tidak hanya ditujukan kepada umat, namun terutama kepada “para gembala sehingga semakin diresapi semangat dan daya Liturgi, serta menjadi mahir untuk memberi pendidikan Liturgi” (SC 14).
Dalam beberapa kesempatan, muncul sebuah gagasan mengenai liturgi sebagai upacara dan liturgi sebagai perayaan. Ada pandangan bahwa liturgi yang dirayakan dengan mengacu pada tata perayaan baku dianggap kuno, tidak up to date, dan bahkan dianggap sebagai sebuah upacara yang kaku. Sementara liturgi yang dirayakan menurut konteks zaman dan sesuai semangat kaum muda masa kini dipandang sebagai sebuah perayaan.
Bagaimana sih melihat liturgi itu? Apakah pandangan-pandangan seperti itu benar? Saya merasa, benar atau tidaknya pandangan itu sangat tergantung pada titik mana kita menempatkannya. Gereja sendiri, ketika kita membuka dokumen, SC misalnya, akan menemukan dua kata itu dipakai ketika berbicara tentang liturgi suci. Maka, tidak perlu kan menunjuk ini atau itu. yang perlu justru mendalami apa maksud Gereja mengenai kata upacara dan perayaan.
Nah, yukk kita sedikit demi sedikit mencoba mendalaminya.
Sebelum kita masuk ke bagian itu, saya mengajak untuk melihat konteks yang sedikit jauh. Saya mengajak untuk memulai dengan kata ungkapan dan perwujudan iman. Setiap orang beriman dituntut mengungkapkan dan mewujudkan imannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pengungkapan iman menunjukkan identitas lahiriah seseorang dan menyatakan secara nyata relasinya dengan yang ilahi. Liturgi merupakan ungkapan resmi iman seseorang. Resmi menekankan aspek kewajiban dan aspek formalitas (bentuk, pelayan dan doa-doanya). Catatan penting perlulah dibuat pada bagian ini. Liturgi adalah ungkapan resmi kita. Dalam hidup sehari-hari, sesuatu yang sifatnya resmi pastilah memiliki aturan-aturan. Pun pula dalam liturgi sebagai ungkapan resmi.
Mungkin kita masih mendebat, ngapain sih ada aturan-aturan dalam liturgi? Mengapa tidak diberi kebebasan saja? Bukankah aturan-aturan itu membuat liturgi menjadi kaku, tidak membebaskan? Sekali lagi, liturgi adalah ungkapan resmi. Aturan dibuat oleh Gereja karena itu adalah hak umat supaya “terhindarkan kesan bahwa liturgi itu menjadi milik pribadi, entah selebran atau komunitas di mana misteri-misteri itu dirayakan” (RS18). Artinya pengaturan liturgi adalah hak umat dan untuk menjamin liturgi terlaksana secara penuh dan tepat guna.
Ketika kita ngomong soal kebebasan dalam berliturgi, kita perlu mengerti apa yang dimaksud kebebasan oleh Gereja. Kebebasan dalam benak kita mungkin, kita bisa membuat ini dan itu menurut pola pikir kita. Yang lain tidak perlu ribut. Kalau dalam konteks berliturgi, yang penting bagian poko (liturgi ekaristi) tidak diutak atik. Yang lainnya bisa dibuat begini atau begitu. Gereja justru menunjukkan lho. Hati-hati dengan pengertian kebebasan. Jika tidak hati-hati justru bisa jatuh dalam penyelewengan. “Dalam Kristus, Allah tidak menjamin bagi kita suatu kebebasan semu yang memberi kita peluang untuk berbuat apa saja yang kita kehendaki, melainkan suatu kebebasan yang dengannya kita boleh berbuat apa yang tepat dan benar” (RS 7). Nah, keliatan kan? Gereja mengajak kita sampai pada sebuah pemikiran, mengikuti aturan tidak sama dengan kita terbelenggu apalagi terkungkung di dalam tempurung rumah kita. Apakah dengan mengikuti aturan lalu iman kita bertumbuh dalam ketakutan akan aturan-aturan? Kiranya tidak. Karena kita diajak tidak hanya berhenti pada titik aturan itu tetapi kita masuki dan pahami apa yang dimaksudkan oleh Gereja yang Kudus. Kebebasan mengandaikan sebuah perbuatan yang tepat dan benar. Dengannya, hati tidak disingkirkan. Dengannya hati justru mendapatkan tempatnya karena kita tidak hanya melakukan aturan begitu saja. Dengan pemahaman yang benar, hati justru mendapatkan tempat istimewa.
Gereja pun sadar bahwa ketaatan lahiriah semata justru bertentangan dengan semangat liturgi suci. Untuk itu, tata lahiriah harus dibarengi dan diterangi dengan iman dan kasih, melaluinya kita dipersatukan dengan Kristus dan satu sama lain.
Selain ada ungkapan iman, ada pula perwujudan iman. Perwujudan iman menunjukkan kwalitas iman yang dinyatakan dalam menjalani hidup baik secara personal maupun relasional. Personal menunjuk pada aspek tanggung jawab dan relasional menunjuk pada aspek tingkat kwalitas relasi dengan sesama. Iman mempengaruhi dan mendasari perbuatan.
Pengungkapan dan perwujudan sama pentingnya dan tidak boleh menekankan salah satu aspek saja. Pengungkapan mendapat dasarnya dalam perwujudan. Perwujudan mendapat inspirasinya dari pengungkapan.
Berliturgi bukan soal wajib dan tidak, boleh dan tidak, melainkan soal konsekuensi dari jati dirinya sebagai orang beriman. Liturgi menyatakan jati diri sebagai orang beriman. Maka tidak mungkin beriman tanpa berliturgi.Liturgi bagaikan charger untuk iman. Karena liturgi, iman terus diteguhkan, dikuatkan, dibaharui dan akhirnya terus hidup dan mempengaruhi seluruh kehidupan.
Lalu, berliturgi itu sendiri apa sih? Berdasarkan SC 2, 7, 10, Liturgi disebut sebagai perayaan misteri keselamatan Allah (penebusan dan pengudusan oleh Allah dan pemuliaan oleh manusia) yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus, Sang Imam Agung bersama Gereja-Nya di dalam ikatan Roh Kudus.
Dilihat dari sisi pelaksananya, liturgi dapat disebut sebagai perayaan Tuhan dan perayaan iman. Disebut perayaan Tuhan karena dalam liturgi, Allah yang berinisiatif menjumpai manusia. Allah yang mencari dan mengundang; bukan manusia yang mencari Allah. Maksud Allah mengundang manusia untuk berpartisipasi dan berperan serta dalam hidupNya. Dan disebut perayaan iman, karena dalam liturgi manusia terlibat dengan menanggapi undangan Tuhan untuk terlibat dalam perjamuanNya.
Karena itu, dari peristiwanya, liturgi menjadi medan sebuah perjumpaan, yaitu perjumpaan antara Allah dan manusia. Perjumpaan itu membawa anugerah keselamatan bagi manusia. Anugerah ini mengalir pada setiap orang yang merayakan dan yang didoakannya, lepas dari disposisi batin orang yang bersangkutan, sebab sakramen bekerja dengan ex opere operato. Disposisi batin lebih menunjuk pada sisi kepantasan dan kelayakan orang saat mengambil bagian dalam perayaan.
Dalam konteks pembicaraan inilah, kita tempatkan kata berliturgi secara sadar dan aktif. Kata sadar dan aktif menegaskan aspek PEMAHAMAN (akal budi) dan KETERLIBATAN (hati) semua umat beriman. Pemahaman menegaskan sisi pengetahuan, dimana semua umat beriman bisa memahami liturgi yang mereka rayakan. Sedangkan keterlibatan menunjuk soal hati, yaitu hati yang terlibat secara penuh dalam liturgi.
Source : http://liturgikas.com/



No comments:

Post a Comment

Tags